Tale 104

1041 Words
Sampai apartemen, Jodi langsung istirahat di kamar barunya. Suasana yang seba nyaman, tidak semata-mata membuat Jodi merasa tenang. Pertemuannya dengan Maharani tidak lah sesulit yang ia kira. Namun ia sedang memikirkan, apakah kemudahan itu akan berlaku juga ketika ia bertemu dengan Jayadi nanti? Kata Maharani, masih sekitar 6-7 jam lagi sebelum Jayadi pulang. Itu pun kalau tidak ada rapat mendadak. Jujur, kegigihan Jayadi dalam menjalankan bisnisnya sangat patut diacungi jempol. Tidak semua manusia memiliki keahlian seperti Jayadi. Sayangnya, demi karirnya itu, ia sama sekali tidak pernah merasakan yang namanya memiliki keluarga. Ya, dilihat dengan mata awam, Jayadi memiliki keluarga yang lengkap, meski salah satu putranya sudah meninggal. Tapi Jayadi tak pernah benar-benar merasakan bagaimana rasanya memiliki keluarga. Karena di mata laki-laki itu, yang paling penting adalah, bagaimana mempertahankan bisnisnya supaya ia tak miskin, dan memiliki warisan melimpah untuk anak cucunya di masa depan. Begitu lah cara Jayadi mencintai keluarganya. Hanya saja, bukan cara seperti itu yang Jodi inginkan. Sama sekali bukan. Untuk apa Jodi bahkan membutuhkan warisan? Umurnya bahkan mungkin tidak akan lama lagi. Jodi hanya membutuhkan keluarganya di saat-saat terakhirnya. Memang tetap ada kemungkinan, jika ternyata Tuhan akan memberinya umur panjang. Siapa tahu saja akan ada keajaiban, sehingga penyakit kronisnya itu bisa sembuh. Tapi kemungkinan itu hanya 1000 banding satu. Rasanya hampir tidak mungkin. Jodi sedang memikirkan, apakah masih mungkin ia bisa meraih mimpinya itu? Merasakan memiliki keluarga yang sebenarnya? Dari pada kecewa karena bisa jadi itu tak terwujud, Jodi pun memutuskan untuk sedikit menurunkan level mimpinya. Tak usah lah ia merasakan memiliki keluarga yang sebenarnya. Melainkan ... cukup ia memperbaiki hubungan saja dengan kedua orang tuanya. Hanya itu. Setidaknya hal ini tidak akan menambah beban dosanya ketika sudah dijemput oleh malaikat maut nanti. Setelah meminum obatnya, Jodi pun langsung berbaring di atas ranjang king size itu. Masih ada cukup banyak waktu untuk menunggu. Membuat Jodi memutuskan untuk istirahat saja dulu. *** Jodi terbangun seperti orang yang baru saja dikejutkan. Jantungnya berdebar-debar sebangun tidur. Kepalanya pusing. Ia pikir itu hanya efek jet lag. Jodi menatap jam dinding. Astaga. Ternyata sudah cukup lama sejak Jodi tertidur. Sudah lima jam. Rasanya masih sangat sebentar. Tentu saja lagi-lagi karena jet lag. Jika di Indonesia, ini adalah dini hari, di mana itu merupakan saat tidur yang paling nyenyak nan dalam. Berarti ... sebentar lagi Jayadi akan pulang? Jodi pun langsung beranjak, ia harus segera bersiap-siap. Jodi langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai, ia mengenakan baju santai, namun tetap cocok digunakan untuk bertemu dengan kedua orang tuanya. Uhm ... bukan kenapa-kenapa sih sebenarnya. Jodi hanya berusaha menjaga wibawa kedua orang tuanya saja. Di rumah ini banyak orang bekerja. Jika Jodi berpenampilan asal-asalan, tentu akan mencoreng muka kedua orang tuanya di hadapan karyawan mereka sendiri. Jodi langsung keluar kamar setelah itu. Situasi masih sepi. Tapi ia bisa melihat ibunya, sedang minum teh di ruang keluarga. Jodi langsung menghampiri Maharani, dan duduk di sebelah wanita itu. Maharani menyambut kedatangan putranya dengan senyum merekah. "Kamu udah bangun, Sayang? Mana udah ganteng banget. Bagus lah kalau begitu. Nanti Papa pasti senang saat bertemu dengan kamu. Karena akhir-akhir ini Papa sedang memikirkan bagaimana caranya mulai mengajari kamu tentang perusahaan kita. Supaya kamu nanti nggak kaget ketika sudah terjun ke dunia bisnis. Eh, ternyata kamu malah nyusul ke sini. Rasanya doa-doa Mama Sama Papa sedang dikabulkan oleh Tuhan. So greatful rasanya. Mendengar ucapan ibunya itu, Jodi sulit untuk menimpalinya dengan senyuman. Belum apa-apa, tapi ia sudah mendapatkan satu halangan. Padahal tujuannya ke sini hanya untuk memperbaiki hubungan dengan kedua orang tuanya. Tapi ia malah terancam mulai diajari tentang meng-handle perusahaan. Tentu saja hal itu pasti akan menghambat misinya. Karena Jodi benar-benar tak suka segala sesuatu yang berhubungan dengan bisnis orang tuanya. Jodi sama sekali tak mempersiapkan diri untuk kemungkinan seperti ini. Perasaan Jodi tak enak. Merasa bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Di saat bersamaan, terdengar derap langkah para asisten berseragam khas termasuk Chloe juga salah satunya. Mereka berlari berbondong-bondong menuju ke pintu masuk. Hal itu langsung mencuri perhatian Jodi, yang langsung menatap, bertanya-tanya kenapa mereka seperti itu. "Itu dia. Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga!" seru Maharani. "Ayo sayang ... berdiri. Kita juga harus menyambut kedatangan Papa kamu. Jangan hanya para maid yang melakukannya. Ayo!" Astaga ... apakah seperti ini setiap hari? Tiap kali ayahnya pulang ... semua orang harus menyambutnya? Astaga ... tidak kah itu agak sedikit berlebihan? Tapi karena kedatangan Jodi adalah dengan membawa maksud baik, Jodi pun berusaha tetap pada pendiriannya. Jodi terdiam. Ia baru saja dipukul oleh sebuah kenyataan yang sulit ia terima. Sementara pikirannya masih semrawut, menerka kira-kira bagaimana tanggapan Jayadi nanti atas kedatangannya? Jodi bisa melihat dari posisi berdirinya, sang ayah baru saja masuk ke dalam apartemen ini, dengan dikawal oleh beberapa bodyguard. Jodi tak mengerti. Bagaimana bisa Jayadi tahan dalam kehidupan yang seperti ini? Jayadi datang dengan langkah tegas dan tatapannya yang tajam. Langkah Jayadi seketika melambat ketika ia ... akhirnya menyadari ketidak biasaan yang ada di sana. Tentu saja, Jodi lah yang merupakan ketidak biasaan itu. Jodi pun menatap ayahnya itu. Hanya saja ia tidak menatap dengan tajam. Melainkan tatapan hormat dan segan. Jayadi akhirnya berhenti berjalan di hadapan istri dan juga putranya itu. Jayadi mengangguk, entah apa maksudnya. "Papa harap ini merupakan pertanda baik. Kedatangan kamu secara tiba-tiba, pasti bukan tanpa alasan." Jodi mengangguk. "Aku datang karena rindu pada Mama dan Papa. Hanya itu," jawab Jodi tegas. "Sejak kapan kamu jadi sosok melankolis seperti ini?" Jayadi tampak asing dengan sikap baru Jodi yang menurutnya aneh. Padahal biasanya sosok Jodi yang ia kenal adalah anak gang cenderung rebel, suka seenaknya sendiri. "Sebenarnya sejak dulu aku adalah tipe yang melankolis, Pa. Hanya saja tertutupi oleh kebandelan aku. Aki sebenarnya sering merindukan Mama dan Papa. Tapi aku tahan. Sementara saat ini, rasanya aku udah nggak sanggup menahan lagi. Dan jadi lah aku menyusul kalian saja ke sini." Jayadi masih menatap heran pada putranya itu. "Yah, terserah kamu saja. Tapi ada satu hal yang perlu kamu ingat, jika kamu berada di sini, maka tidak ada orang yang bermalas-malasan. Pantang berada di sini, jika tidak ada gunanya." Jodi pun tertegun. Sudah terbayang dalam benaknya, jika Jayadi sudah merencanakan banyak hal Untuknya, di dalam otak ayah kandungnya itu. Jodi hanya sedang mempersiapkan diri untuk tidak terlalu terkejut menghadapi apa pun kenyataan yang akan terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD