Tale 54

1456 Words
Seakan sudah pasrah dengan keadaan yang ia alami. Kini Garlanda tidak lagi berusaha menolak. Ia lelah. Karena berusaha Menolak sekuat tenaga pun, ia tidak akan bisa menghentikan takdir apa pun yang sudah digariskan Padanya. Keluar dari tubuh Hun, Garlanda sudah langsung dipindahkan lagi. Dan lagi - lagi .... Menghadapi kesakitan yang sama. *** Nim sudah merasakannya. Ia akan keluar. Bayi itu sudah akan lahir. Dengan pelan Nim menyangga perutnya. Dia mencoba untuk tenang. Menunggu sampai kontraksi yang lebih hebat datang. Sesekali Nim menengok kanan kiri. Mencari orang untuk sekedar berbagi. Mengeluhkan kontraksi yang dialaminya. Tapi kosong. Tak ada orang. Kakak - kakak belum ada yang pulang. Tentu saja. Karena ini masih siang. Mana mungkin mereka siang - siang begini pulang. Ah ... sudah lah. Lagi pula kontraksinya belum terlalu kuat. Nim hanya merasakannya sekitar satu jam sekali. Sebenarnya sejak memasuki bulan ke - 9, Nim sudah sering merasakan rasa ini. Rasa kencang yang mendadak tiba lalu pergi sesuka hati. Tapi Nim yakin bahwa ini bukan kontraksi palsu. Karena Nim sudah melihat ada flek di celana dalamnya. Nim melanjutkan aktivitasnya memasukkan baju - baju ke mesin cuci. Sudah lama sekali ia tak mencuci sendiri. Meski hanya dengan mesin cuci, tapi selama ini kakak - kakak tak pernah membolehkannya melakukan itu sendiri. Nim pun hanya pasrah. Lagipula ia senang karena diperlakukan seperti bos. Untuk kali ini, Nim sebenarnya hanya ingin menyibukkan diri. Membuang waktu. Untuk mengalihkan rasa sakit saat kontraksi datang. "Ukh ...," lenguh Nim setelah ia selesai memutar tuas mesin cuci. Kini kedua tangannya bertengger ke pinggang. Nim berjalan pelan menuju ruang TV. Sambil menonton TV dan bermain game. Menunggu sampai bajunya selesai dicucikan mesin cuci. Dengan nyaman Nim berbaring di sofa panjang. Sebelum mengambil PSP - nya, ia menyempatkan diri untuk berkomunikasi dengan bayinya. Lagi. Tentu Nim sudah terbiasa dengan keberadaan makhluk itu di perutnya. Berbeda sekali dengan dulu saat dia dinyatakan positif hamil. Ia memang sempat menolak kehamilannya. "Nanti jangan menyiksaku, ya! Tidak apa - apa sakit. Asal jangan terlalu lama keluarnya. Atau aku tidak akan mengeluarkanmu. Mengerti!" ancamnya sembari mengelus perut. Tendangan - tendangan halus tiba - tiba Nim rasakan. Ia tersenyum. Anaknya selalu merespons saat dia bicara. Sebuah kontraksi kembali datang. Membuat Nim berjengit sakit. Nim berusaha mengatur napas. Hingga lima menit kemudian kontraksi itu berhenti lagi. Nim memerhatikan jam dinding sekarang. terakhir ia merasakan kontraksi adalah sekitar setengah jam lalu. Dan barusan ia merasakannya lagi. Nim yakin waktu persalinannya tidak akan lama lagi. Dengan perlahan, Nim beranjak dari sofa. Sebelum benar - benar berdiri, Nim mengelus perutnya. Nim sedikit menekan pada bagian bawah perutnya. Di bagian yang paling terasa sakit saat kontraksi datang. "Huff ...." Nim berdiri pelan. Salah satu tangannya berpegangan pada senderan sofa. Untuk membantunya berdiri dengan seimbang. Nim menuju mesin cuci lagi. Waktu putarnya sudah habis. Nim memutar kran, menunggu air memenuhi mesin cuci lagi. Setelah penuh sesuai yang diharapkannya, Nim kembali memutar mesin cucinya. Ponsel Nim berbunyi. Membuatnya sedikit terjingkat. Nim lupa di mana menaruh benda itu. Ia segera terburu mencarinya. "Halo ...," jawabnya. Itu telepon dari Na. "Kau sedang apa?" "Aku sedang santai," jawab Nim bohong. "Aku sedang menunggu waktu kelahiran anakku." Kali ini Nim jujur. Na menunggu agak lama. Mencoba mencerna perkataan Nim. Tapi ia tetap tak mengerti. "Anakku akan lahir, Na. Aku sedang merasakan kontraksi sekarang." "Apa?" "Jangan panik. Kau santai saja. Kalau kurasakan dari kontraksinya, sepertinya dia baru akan lahir nanti malam, atau besok dini hari." "Apa ada orang di dorm?" "Ada. Aku." "Aku sedang tidak bercanda, Nim. Kau sendirian?" "Iya aku sendirian. Sudahlah kau santai saja. Anak ini masih mencari jalan lahir. Kau tenang saja. Kata bidan, prosesnya agak lama. Ya sudah, ya. Pai pai ...." Nim mengakhiri teleponnya secara sepihak. Sekarang sebuah seringaian iblis menghiasi wajahnya. Entahlah. Kenapa bisa - bisanya ia sesantai itu. Padahal kontraksinya sudah semakin sering datang. Seperti saat ini. Saat Nim terpaksa terdiam sambil mendesis sakit. Rasanya seperti ditekan ke bawah dengan sangat kuat. Sore datang. Nim mondar mandir di bawah tangga. Kata bidan dengan berjalan - jalan seperti itu, akan sangat membantu cepatnya proses kelahiran. Ya meskipun sakitnya bertambah setiap kali Nim melangkah. Nim tak peduli. Yang jelas ia tak ingin kesakitan terlalu lama nanti. Ia ingin anaknya keluar tanpa ia harus teralalu lama mengejan. Ia yakin Kakak - kakaknya akan melihat semua. Sebenarnya Nim malu. Nim terhenyak merasakan sebuah cairan yang keluar. Apa itu? Cairan itu tak begitu encer. Tapi tidak lengket. Bahkan terasa sangat licin. Apa itu darah? Entahlah. Nim juga tak tahu. Nim kini berjalan menaiki tangga. Menuju kamarnya. Tanpa ragu, Nim membuka seluruh pakaiannya. Lalu ia berdiri di depan cermin. Bisa dilihatnya tubuhnya yang sudah jauh berbeda dari dulu. Meski dulu ia tak memiliki abs, tapi setidaknya dulu perutnya rata. Tidak seperti sekarang. Membuncit sempurna. Bahkan pusarnya sampai ikut menonjol karena tertekan dari dalam. Nim juga bisa melihat stretch mark di sekitar, perut, pinggang dan pahanya. Nim mulai berbalik membelakangi kaca. Ia mencoba melirik liang lahirnya. Benar. Ada bercak darah di sana. "Awas nanti kalau kau keterlaluan menyakitiku!" ancamnya lagi pada sang anak. Nim bergerak pelan ke ranjang. Masih dengan telanjang. Ia menghubungi manajer sekarang. "Huff ... Huff ...." Gerakan Nim tertahan saat kontraksi yang lebih hebat mulai dirasakannya. Nim segera memencet kontak managernya. Dia hanya bisa menghubungi manajer sekarang. Setidaknya manajer akan tenang. Kalau dia menelpon kakak - kakaknya, bisa - bisa mereka panik dan menghancurkan semua jadwal. Atau lebih parahnya mereka akan membongkar bahwa sekarang Nim tengah hamil tua dan akan segera melahirkan. Nim tentu tak mau itu terjadi. "Ram ...," Nim menelepon manajernya. "Kenapa? Napasmu terdengar aneh." "Katakan pada mereka ... ergh ... aku ... ah .... Aku mau melahirkan. Perutku sakit. Tapi usahakan jangan kacau, ya! Aku akan turun ke bath-up sekarang juga. Tidak datang juga tidak apa - apa. Kurasa aku bisa mengatasi sendiri. Atau kau saja yang pulang. Atau terserah lah .... auwhhh ...." Tak peduli dengan perasaan manager yang sedang super was - was, terkejut dan juga tertekan sekarang. Tanpa menunggu apa - apa lagi. Nim hendak berjalan ke kamar mandi. Tapi sayang sekali. PRAK .... Bunyi apa itu? Nim merasakan air hangat yang merembes di kakinya. Air ketubannya pecah. Dan rasa sakit yang menyerangnya semakin intens. Membuat Nim dengan pasrah terduduk lemas di karpet kamarnya. "Baby ... sakit ...," rintihnya. Kedua tangannya bertengger di perut. Memberi sentuhan pada anaknya. Siapa tahu rasa sakitnya akan berkurang. Tapi sayang. Sepertinya Nim harus rela terus kesakitan mulai sekarang. Nim mulai merangkak sebisanya menuju bath up. Sisa sisa air ketuban sesekali keluar dari analnya. Bercampur dengan lendir darah. Nim naik ke bath up dan memposisikan dirinya senyaman mungkin. Nim mulai memutar keran dan memadukan air dingin dan air hangat. Mungkin bisa membuatnya sedikit lebih nyaman. "Ya Tuhan!" rintihnya lagi. "Baby ... don't be naughty." Nim mencoba berkomunikasi dengan bayinya lagi. "Argh ...." Bayi Nim sudah mulai mengajaknya untuk mengejan. Secara otomatis mengejan dengan sendirinya. "Nim ...!" seru beberapa orang yang tiba-tiba datang berjubel di pintu kamar mandi Nim. Nim tak merespons apa - apa. Ia hanya sibuk menendang - nendangkan kakinya saat ia mengejan. Gerakan itu sangat refleks. Membuat air di bath up terciprat keluar. Bau - bau khas orang melahirkan sudah tecium di seantero ruangan ini. Nim mencoba menstabilkan kakinya lagi. Menekuknya lagi. Melebarkannya. "Eeerrghhhh ...." Nim mengejan. "Eeerrrghhhh ...." Nim terus mengejan sampai tubuhnya bergetar tak karuan. Tanpa ragu Mao ikut terjum ke dalam bath up. Duduk di belakang Nim dan menopang tubuhnya. Lim tak mau kalah. Ia mengambil posisi di depan Nim. Melihat liang Nim yang sudah menganga lebar. "Kalian di luar saja. Biar aku dan Lim saja yang menemani Nim." Semua segera menurut. Takut menganggu. Lagi pula mereka tak tega melihat Nim yang terlihat begitu kesakitan. "Aaaaargh ...," teriak Nim. "Mao sakit ...." "Nnnggghhhhh." Nim mengejan lagi. Tanpa ragu Mao mengulurkan tangannya. Menjangkau liang Nim. Meraba - raba kepala bayi Nim yang sudah mulai menyembul terlihat. Dengan bermaksud membantu, Lim memasukkan jari-jarinya ke sana. Membantu lubang Nim untuk terbuka lebih lebar. "Arrghhhhhh ...." "Ayo Nim, Pushh!" "Errrghhhhh ...." Perut Nim terlihat terkumpul ke bawah karena kontraksi. "Errghhhhh ...." Ah ... kepala bayinya sudah keluar sekarang. Nim terkulai lebah di pelukan Lim. Napasnya naik turun tak keruan. Perutnya juga masih terlihat sangat besar. Mengingat memang baru kepala bayinya saja yang keluar. "Ya Tuhan ... Ya Tuhan ...," rintih Nim. Tangan Nim meraba - raba ke bawah. Ingin menyentuh bayinya. Nim menarik napas lalu ia segera mengejan lagi .... Tangannya masih betah bertengger di atas kepala bayinya. "Errghhhh ...." Nim mendorong pelan. Di durungan kedua Nim mendorong lebih Kuat. "Mmmmmghhhhhh ...." Hosh hosh hosh .... Mao menarik bayi itu dan segera meletakkannya di pelukan Nim. Lenguhan penuh syukur tersengar dari setiap hembusan napas Nim. Ia memeluk erat bayi perempuan yang bahwa tali pusatnya belum dipotong itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD