Tale 28

1033 Words
Satu Januari, 2010. “Pasien Chico Radika Diaz!” seru seorang suster dari dalam sebuah ruangan. Aku dan Chico langsung berdiri dan masuk ke ruangan dokter Ifan. Sudah sekitar satu jam kami terdiam di ruang tunggu untuk menunggu hasil check up. Dokter Ifan mempersilakan kami berdua duduk di hadapannya. Aku genggam tangan Chico, supaya dia tidak terlalu gugup. Dokter Ifan hanya menggeleng pelan dan segera memberikan amplop coklat berisi kartu mati. Chico membuka amplop itu dengan tidak semangat, membaca isinya dengan teliti. Perlahan air mukanya berubah. Kemudian dia menatapku, memberikan sebuah senyuman yang tak dapat diartikan. Aku segera mengambil hasil pemeriksaan yang masih ada di tangannya. Stadium akhir. Kueratkan genggamanku pada jemarinya. Chico masih tersenyum ke arahku, masih dengan senyuman yang sama. *** Tiga Februari, 2010. Jepretan - jepretan random sudah tersimpan di dalam kameraku. Masih monoton. Chico sedikit lebih banyak mengulum senyum hari ini. Setiap pose yang terambil darinya, pasti sedang tersenyum. Tidak sok cool seperti biasanya. Lapangan sedang sepi. Tumben Minggu - minggu nggak ada yang main. Biasanya juga rebutan. “Yulia, ini terakhir. Setelah pulang dari sini, stop sms aku, stop telepon aku, dan jangan berusaha temuin aku.” Apa? Bibirku kelu. Ingin rasanya aku mengelak. Tapi tak sepatah katapun keluar dari mulutku. “Jangan lakuin itu semua sampai kamu denger kabar, ya!” lanjutnya. “Chico ….” Aku ingin sekali bertanya, kenapa harus begitu? Maksudnya apa? Tapi tetap saja kata - kata itu tertahan di tenggorokan. “Kayaknya udah akan berakhir, Yul! Kisah kita! Aku cuman minta sama kamu buat nurutin kemauan aku kali ini aja.” “….” “Aku nggak pengen kamu lihat aku dalam keadaan terburukku. Aku lakuin ini demi kamu, Yul! Please, turutin aku, ya!” Kutarik napasku dalam - dalam. Aku nggak ingin menangis sekarang. Jangan sampai aku menangis. Kamera yang semula sudah kumatikan, sekarang kukeluarkan lagi dari tas. Kuaktifkan lagi. “Kalau gitu kita foto lagi, yang banyak!” ucapku. Suaraku bergetar hebat. Sepertinya sulit untuk tidak menangis. Chico yang tadi masih biasa aja, kenapa tiba - tiba mengagetkanku dengan kata - kata tadi. Dan kenapa kisah monoton kita yang seharusnya masih panjang, harus berakhir secepat ini? Waktu berlalu begitu cepat. Aku nggak ingin hari ini berakhir. “Yulia, kita harus pulang! Udah sore!” Kutatap Chico. Dia. Sosoknya yang sempurna di balik tubuh ringkih dan pucat itu. Dia. Cinta pertamaku. Dia pacar pertamaku. Dan dia akan menjadi cinta terakhirku, juga pacar terakhirku. Bila dia harus pergi, bukan berarti kita berpisah. Aku dan dia ditakdirkan untuk bersama. Kita selamanya, Chico. Tanpa ragu, aku segera memeluknya erat. Ya Tuhan ... apa benar ini terakhir kalinya? Apa firasat Chico itu benar? *** Empat Februari, 2010. Kemarin waktu terasa begitu cepat berlalu. Tapi kenapa hari ini justru kebalikannya. Penjelasan Bu Indah di depan sama sekali tak ada yang masuk ke otak. Jangankan ke otak, ke telinga aja nggak. Mataku memang terlihat fokus memperhatikan, namun pikiranku menuju objek lain. Istirahat pertama tadi, nggak ada Chico yang biasa menemaniku menghabiskan bekal seperti biasa. Aku juga belum dapat kabar. Itu artinya, dia masih ada. Lima belas menit menit lagi, istirahat kedua. Lima belas menit terlama dalam sepanjang sejarah hidupku. Seorang cowok masuk kelas. Aku nggak kenal dia, tapi aku tau dia anak IPA. Dia memberikan berkas-berkas surat izin pada Bu Indah. “Yulia Ramadhani, dipanggil kepala sekolah ke ruangannya sekarang!” DEG. Tanpa pamit aku langsung berlari sekencang mungkin. Air mataku menetes dengan derasnya tanpa diminta. Aku harap ini hanya panggilan biasa saja. Kepala Sekolah pasti mau menegurku karena belakangan nilaiku sering turun. Ini nggak ada hubungannya sama Chico. Dugaanku salah. Ada Papa dan Mama di ruang kepala sekolah. Mama langsung memelukku. Papa juga menyusul Mama untuk melakukan hal yang sama. Suara isakanku merajai ruangan. Bel istirahat ke dua baru saja berbunyi. Anak-anak yang melintas hanya memandangi kami dengan heran. Chico, aku harus gimana setelah ini? *** Dua Belas Desember, 2010. Akun f*******: Chico kuhapus. foto - foto kami di handphone juga sudah kuhapus. File - file kami di kameraku juga sudah terhapus semua. Hanya tersisa kisah monoton kita di dinding. Mama meletakkan kepalaku di pangkuannya. Sejak pagi tadi, Mama sudah di sini, di kamarku untuk menemaniku. Beliau mengelus rambutku pelan. Selalu saja begini di setiap hari libur. Hari minggu yang kelam. Ralat. Semua hari adalah kelam bagiku sejak kepergian Chico. Semuanya terasa hampa dan kosong. Waktu sekolah aku sekolah, waktu makan aku makan, waktu belajar aku belajar. Hanya seperti itu saja hidupku. Monoton. Semonoton kisah kami. Terkadang hidupku terasa berwarna saat aku bisa dengan bebas memegang akun f*******: Chico. Aku juga nggak tau kenapa. Yang jelas hatiku terasa damai dan tenang setelah melakukannya. Kupejamkan mataku agar Mama mengira aku sudah tidur. Benar. Karena sekejap kemudian Mama membaringkan aku di ranjang. Mungkin sekarang beliau sedang mengamati wajahku dengan ekspresi sedih. Namun sedikit lega karena aku sudah menghapus akun Chico di hadapannya tadi. Itu artinya, aku tidak akan bertindak gila lagi dengan log in akun f*******: Chico setiap hari. Aku mendengar suara ketukan sepatu yang melangkah menjauh. Kubuka mataku sedikit. Oh ... Mama sudah pergi. sekarang mataku terbuka lebih lebar. Langsung saja kuambil handphone - ku. Mama, maafin Yulia. Yulia nggak bermaksud membohongi Mama. Yulia melakukan ini untuk kebaikan Mama. Yulia nggak pengen Mama sedih terus - terusan mengetahui kebiasaan baru Yulia yang aneh. Tapi Yulia udah terlanjur nyaman dengan keadaan ini. Yulia nggak bisa bila harus menghentikannya. Akun f*******: Chico kuaktifkan lagi. Kopian semua foto - foto kita masih tersimpan rapi dalam album Chico di f*******:. Kubuka pintu kamar. Aku berjalan mengendap - endap agar tidak ketahuan Mama. Untung Papa sedang ada rapat di luar kota. Langsung saja aku mengambil kamera dan berjalan secepat yang aku bisa. Sampai di luar, aku segera berlari. Ini destinasiku. Lapangan. Hari ini kosong. Nggak ada anak komplek yang main ke sini. Gawang utara. Tempat kencanku dengan Chico. Masih monoton berdiri di sana dengan angkuhnya. Seutas senyum mewarnai wajahku. Kuambil beberapa fotoku sendiri di situ. Chico, tokoh dalam kisah monoton kita memang hanya tinggal aku. Tapi kamu tetap ada dalam cerita. Kamu tetap menjadi peran utama bersamaku. Karena kisah monoton kita diawali oleh Chico dan Yulia, maka akan terus seperti itu sampai akhir nanti. Kita adalah kita dalam kisah monoton kita. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD