Tale 46

1055 Words
31 Juli 2030. Kali ini bayiku berhasil membuatku menyentuhnya. Ia juga berhasil membuatku tersenyum. Enam bulan di dalam sana, ia mulai aktif bergerak. Dan itu lah yang membuatku merasa bahagia. Akhir - akhir ini aku sering mengelusnya. Tak seperti dulu yang bahkan tak pernah peduli padanya. Berbeda dengan Vai yang selalu senang semenjak tahu ia akan punya bayi. Ia bahkan tak tahu dari mana asalnya bayi itu. Aku tak memberitahunya. Aku takut ia membenci anaknya. Huff ... aku masih ragu untuk memiliki anak ini. Tapi bahkan ia sudah 6 enam bulan. Meski aku belum sepenuhnya mencintainya, tapi ia tetap anakku. Makanya aku berusaha menyayanginya. Ukuran perutku tak terlalu besar bila dibandingkan dengan milik Vai. Ukuranku normal, karena memang hanya ada satu bayi di dalamku. Sedangkan Vai punya dua. Semenjak kandunganku mulai terlihat, aku membawa segala peralatan praktik ke apartemen. Termasuk alat USG dan alat opersi lengkap. Untuk jaga - jaga bila terjadi sesuatu yang buruk. Nanti kalau bayi kami sudah lahir, mungkin kami bisa sekalian buka praktik di sini. "Lav ... kau ada kerjaan hari ini, ya?" tanya Vai saat aku melintas. Aku sudah siap mengenakan pakaian midwife - ku. "Iya ... hanya sebentar. Air ketubannya sudah pecah, jadi bayinya akan segera lahir." "Cepat lah pulang, ya," pesannya. "Iya." *** Sendirian di dalam rumah. lagi - lagi Vai mengajak bayinya bicara. Bayinya pun sangat aktif. Selalu bergerak setiap waktu. Membuat Vai jarang bisa tidur. Namun ia sangat menikmati semua ini. Vai sendiri baru tahu bahwa kakaknya juga hamil. Karena memang kandungan Lav baru terlihat semenjak sebulan yang lalu. Kakaknya memang terlalu kurus. Berbeda dengan Vai yang memiliki badan tipe anak sehat. Karena ada dua bayi di perutnya, kulitnya pun semakin kencang tertarik. Membuatnya sering sakit punggung. Sering lelah bila berdiri terlalu lama. Malas berjalan. Dan lain - lain. Tapi sekali lagi, Vai sangat menikmati semuanya. Ia senang hamil. Rasanya menyenangkan saat bayinya mengajak komunikasi. Vai selalu bahagia. Ia kadang heran melihat kakaknya jarang sekali melakukan hal yang sama dengannya. Tapi ia juga tak ingin ikut campur. Ia yakin pasti kakaknya juga sangat menyayangi bayinya. *** 15 September 2030. Vai sudah satu minggu overdue. Ia belum menunjukkan tanda - tanda akan melahirkan. Tak ada flek atau apapun. Aku rajin memeriksanya. Memastikan tak terjadi apa - apa. Perut Vai semakin besar. Ia juga semakin terlihat bahagia. Ia bahkan tertawa lebar saat bayinya selalu menendang. Tidak sepertiku yang belakangan merasa sebal bila bayiku menendang. Karena sekarang raanya cukup mengganggu. Tapi aku sudah mencitainya. Mencintai bayiku. Vai konsentrasi menatap layar monitor, di mana terdapat bayinya di sana. Aku memindah posisi kamera di bagian perutnya yang lain, untuk melihat bayi Vai yang satunya. "Woah ... baby bertambah besar," takjubnya. "Tentu saja. Ia tumbuh dengan baik di sini." Kutepuk - tepuk pelan perutnya. Seraya membersihkan sisa gel di sana. "Sekarang ganti aku yang melihat bayi Lav, ya?" "Hihi ... tak usah, Vai. Bayiku sehat - sehat saja." "Mhm ... kenapa aku tidak boleh melihat bayi Lav?" "Tidak usah. Nanti kalau ia sudah lahir, kau juga akan melihatnya, kan?" "Iya juga ya ...." Vai masih ingin menjawab, namun bingung harus berkata apa. *** Lav berdiri dan membereskan beberapa peralatan yang masih berserakan. Lagi - lagi ia mengernyit kala sakit kembali menyerang area perutnya. Lav belum bisa memastikan itu kontraksi. Karena ia memang sering mengalami selama memasuki usia kandungan 9 bulan ini. Namun hari ini ia sudah berkali - kali merasakan. Jadi bisa jadi ia memang akan melahirkan. Padahal bila dhitung ia masih kurang satu minggu untuk mencapai 9 bulan. "Lav kenapa?" tanya Vai khawatir. "Tak apa .... bayiku bergerak." "Oh ...." Malam hari. Vai sendirian menonton TV. Lav tak kelihatan. Padahal ia tak ada job. Ia hanya berada di kamar sendirian. Vai sebenarnya lapar. Tapi ... Lav pasti lelah. Ia tak berani mengganggu, hanya sekadar minta makan. *** Lav POV. Benar dugaanku. sepertinya malam ini juga ia akan lahir. Sakitnya benar - benar terasa semenjak sore tadi. Kuraba liang lahirku. Sudah sekitar 8 cm. Air ketubanku sudah pecah sejak dua jam yang lalu. Proses berjalan cukup cepat. Tapi terasa lama untukku. Saat ini aku hanya mengenakan satu potong kemeja tipis yang kubiarkan terbuka. Aku mulai bergerak bangun dari ranjang. Melangkahkan kakiku ke kamar mandi. Sampai sana aku segera menuju bathup, memposisikan diri senyaman mungkin, seraya menyalakan keran air hangat. Kulihat arlojiku. Hampir jam 10. Vai pasti lapar. Air hangat sudah setinggi dadaku. Water birth kupilih sebagai metode persalinanku. Mengingat aku sendirian, dan untuk mengurangi rasa sakit. Meskipun sakitnya masih sangat terasa. Sekarang aku paham kenapa pasien - pasienku selalu menangis saat melahirkan. Karena rasanya seperti ini. Aku tak habis pikir bagaimana bisa ada orang yang memiliki banyak anak? Sementara saat melahirkan mereka bahkan sulit untuk mangatur napas. Lalu bagaimana dengan Vai nanti? Kuatur napas sebisaku. Kurasakan bayiku bergerak kasar. Tubuhku menggeliat mengikuti pergerakannya. Aku kembali memeriksa liang lahirku. Sudah lengkap. Bayiku memberi signal padaku untuk membantu mendorongnya. Tapi baru dorongan kecil. Karena ia masih berusaha menuruni pelvis. Belum sampai pada mulut jalan lahir. Seseorang mengetuk pintu. "Lav ...." Ah ... suara Vai. "Lav, kau di dalam?" tanyanya. "V - Vai ...." Suaraku bergetar. "Lav, kau tak apa?" "Aku tak apa. Kenapa? Kau lapar?" "Tidak, kok. " "Masuk lah, Vai ...." Vai segera menuruti kemauanku. Ia membuka pintu, berdiri canggung di ambang pintu. Aku berusaha tersenyum padanya. "Tak apa, Vai. Bayiku akan segera lahir," kataku. "Benar kah?" "Iya." "B - bagaimana?" "Tidak apa - apa. Aku bisa sendiri. Vai tidak perlu melakukan apa - apa. Vai pasti lapar, kan?" Aku berusaha mengalihkan perhatiannya. Vai mengangguk polos. Aku membali tersenyum. "Maaf karena tidak bisa membuatkanmu makanan malam ini. Di kulkas masih ada beberapa potong nugget dan spam. Vai bisa goreng sendiri, kan?" Vai lagi - lagi mengangguk. "Ya sudah, sana segera makan. Kasihan bayi - bayimu sudah kelaparan." Tak seperti biasanya. Ia tak segera menurut. Pasti ia khawatir padaku. Ergh ... sakit sekali. Perutku mengencang dan mengeras. Aku bisa merasakan sebuah sensasi panas di liang lahirku. "Vai ... cepat lah makan! Aku tidak apa - apa. Aku akan keluar setelah bayiku lahir." Aku masih berusaha meyakinkannya. Kali ini Vai berhasil menurut. Syukur lah. Aku tak ingin ia melihat bayiku keluar. Ia pasti akan takut. Mengingat sebentar lagi Vai akan melahirkan. Dorongan untuk mengejan itu benar - benar kuat. Aku segera melakukannya sebisaku. Napasku terengah tak keruan. Kedua tanganku berpegangan erat pada bibir bathup. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD