Tale 94

1008 Words
Nada tunggu tak pernah terdengar semenyebalkan ini. Terlebih, tak kunjung ada respons dari seseorang yang dihubungi. Setiap nada tunggu berakhir dengan dijawab oleh operator, Pak Irwan selalu bergantian menghubungi nomor yang satu lagi. Masih sama, tidak ada respons sama sekali. Apa yang sebenarnya mereka lakukan? Mereka pasti sudah sampai di bandara, dan sedang menunggu jadwal keberangkatan. Lalu apa yang menghalangi mereka dari mengangkat telepon? Tidak mungkin mereka sudah berada dalam pesawat. Jika memang benar begitu, ketika Pak Irwan coba menghubungi mereka, tidak akan ada nada sambung, bukan? Geram dengan tidak adanya jawaban, Pak Irwan akhirnya memutuskan untuk mengetik pesan saja. Supaya mereka baca. Sepertinya cara ini akan lebih efektif untuk berkomunikasi dengan pasangan yang sungguh sangat luar biasa ini. 'Pak Jayadi dan Ibu Maharani Aditya. Saya Pak Irwan. Dulu saya pernah Anda pekerjakan sebagai guru privat Jodi dan mendiang Aldi. Sekarang saya juga adalah gurunya Jodi di SMA. Mohon maaf sebelumnya jika mengganggu waktu Anda. Tapi di sini saya ingin memberi tahukan sebuah informasi penting. Putra Anda Jodi, sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Kondisinya kurang baik. Putra Anda mengidap Leukemia yang sudah parah stadiumnya. Tolong kembali untuk menemani putra Anda berjuang melawan penyakitnya. Pesan ini saya akhiri. Saya harap Anda akan segera memberi respons. Terima kasih.' Pak Irwan mengetik semua itu dengan menahan emosi. Sebenarnya ia ingin sekali mengetik kata kasar. Tapi ia tahan. Karena ia tidak ingin memperkeruh suasana. Pak Irwan pun akhirnya kembali diam, dan menunggu. Berharap baik Jayadi ataupun Maharani, segera membaca dan memberikan respons atas pesan yang sudah ia tulis dan kirim barusan. *** Di dalam sebuah ruang tunggu penumpang kelas bisnis, pasangan suami istri itu sedang menyibukkan diri demi menghabiskan waktu sebelum saat mereka take off tiba. Jayadi membaca koran yang disediakan di sana. Sementara Maharani terlihat gelisah. Masih memikirkan bagaimana kondisi Jodi. Apakah ia baik-baik saja? Apa yang sebenarnya hendak disampaikan ketika ia mendapat panggilan dari nomor rumah tadi? Maharani juga memanjatkan doa, memohon semoga Jodi baik-baik saja. Tidak seperti apa yang ja pikirkan, dan sedang ia sangat takutkan. Maharani mengernyit ketika ia merasakan getaran dari dalam tas. Ada telepon lagi. Maharani diam-diam menatap Jayadi. Laki-laki itu sedang asyik dengan kegiatannya. Ia sama sekali tidak sedang memperhatikan Maharani. Oleh karena itu, Maharani dengan cepat mencuri kesempatan untuk segera mengambil ponselnya di dalam tas. Syukur lah, ia tidak lupa menonaktifkan nada dering. Hanya menyisakan mode getar tiap kali ada notifikasi masuk. Maharani berharap, yang meneleponnya adalah nomor rumah seperti tadi. Tapi ternyata tidak. Yang menelepon adalah nomor asing. Siapa orang ini? Apa ia seseorang yang sedang berusaha melakukan praktik penipuan? Karena takut, Maharani pun hanya mendiamkan saja telepon itu. Tak lama kemudian, panggilan berakhir. Maharani pun kini bisa bernapas dengan lega. Maharani coba mengambil majalah fashion di sana. Berharap kegiatan itu bisa sedikit menghiburnya. Baru juga Maharani kembali duduk, perhatiannya justru teralih pada Jayadi yang baru saja merogoh ponsel dalam sakunya. Jayadi juga mendapatkan telepon masuk ternyata. Tapi Maharani tidak curiga apa-apa. Tidak menebak bahwa seseorang yang baru saja meneleponnya, dan seseorang yang sekarang sedang menelepon Jayadi, adalah orang yang sama. Jayadi menatap layar ponselnya sekilas. Mengernyit. Kemudian meletakkan ponselnya kembali. "Siapa ini? Ada nomor nggak dikenal telepon," ucap Jayadi kemudian. Baru lah Maharani juga mengernyit. Kenapa bisa kebetulan begini? Ia dan Jayadi sama-sama menerima panggilan dari nomor tak dikenal. Maharani mulai berpikir bahwa bisa jadi seseorang itu, sama dengan seseorang yang sudah menelepon Maharani barusan. Tapi Maharani juga tidak terlalu yakin. Bisa jadi tidak sama juga, kan. Maharani pun mulai fokus pada majalahnya lagi. Namun tak lama kemudian, ia dibuat heran dengan adanya telepon masuk lagi ke ponselnya. Masih dari nomor yang sama seperti tadi. Maharani berpikir kembali. Bisa jadi seseorang yang menelepon dirinya dan Jayadi adalah benar-benar orang yang sama. Setelah meneleponnya tapi tak diangkat, kemudian ia menelepon Jayadi, dan sekarang kembali melakukan panggilan ke ponselnya. Maharani membiarkan saja dulu, hingga akhirnya panggilan kembali berakhir. Perasaan Maharani kembali tak enak. Setelah ini ia akan coba berpamitan pada suaminya untuk ke toilet. Ia akan diam-diam melakukan panggilan ke rumah untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Kalau tidak, sampai kapan pun ia tidak akan bisa tenang. Maharani melirik Jayadi. Yang kini kembali melihat ponselnya. Ada panggilan masuk lagi. Iya, kan? Semakin besar kemungkinan bahwa si penelepon adalah orang yang sama. Siapa tahu itu adalah nomor orang yang sedang berusaha memberi kabar pada mereka. Tapi siapa seseorang itu? Dan apa juga kabar yang akan ia sampaikan? Dengan jantung berdebar, Maharani memasukkan ponselnya ke dalam saku. Ia lalu berdiri, menghampiri Jayadi. "Pa, aku pamit ke toilet sebentar, ya." Jayadi menatap sang istri. "Iya, jangan lama-lama. Ini orang kenapa sih? Kok telepon lagi. Niat amat mau nipu!" Jayadi memberi izin pada Maharani, sekaligus mengomeli si penelpon yang entah siapa itu. Maharani pun segera beranjak dari sana secepat mungkin. Tentu saja ia tidak benar-benar me toilet. Ia hanya sedang berdiri mematung di depan pintu ruang tunggu kelas bisnis itu. Tak tunggu apa-apa lagi, Maharani segera mendial nomor rumah. Nada tunggu mulai terdengar. Maharani menggigit kukunya menunggu jawaban. Namum hingga nada tunggu berakhir, tak kunjung ada yang mengangkat. Sebuah hal yang aneh. Karena biasanya Mbah Jum sangat tepat waktu ketika ada telepon berdering. Sebuah keanehan yang semakin membuat Maharani curiga. Perasaannya semakin tak enak. Berakhirnya nada sambung itu, bertepatan dengan masuknya sebuah pesan dari nomor ... itu adalah nomor yang sejak tadi berusaha menghubunginya. Maharani menimbang-nimbang apakah ia akan membaca pesan dari orang itu atau tidak. Uhm ... sepertinya tidak akan masalah jika hanya membaca sebuah pesan, bukan? Maharani pun akhirnya memutuskan untuk membaca saja pesan itu. Ia memberanikan diri untuk membukanya. Dan mulai membacanya. Ia baca secara runtut, dari mulai perkenalan, hingga berakhir pada informasi yang disampaikan oleh Pak Irwan. Tentu saja Maharani ingat Pak Irwan. Seorang guru yang sangat dekat dengan kedua putranya. Kedua mata Maharani langsung berkaca-kaca. Dan air matanya perlahan menetes. Astaga ... ini kah jawaban dari ketakutan dan kerisauannya? Jadi ... ternyata putranya sedang sakit parah seperti itu? Tanpa menunda, Maharani langsung berhambur kembali ke dalam ruang tunggu. Ia harus segera memberi tahu suaminya tentang hal ini. Supaya mereka bisa segera kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD