Tale 23

1402 Words
Garlanda masih belum bisa membuka matanya ketika jiwanya kembali ke dalam raganya sendiri. Ia jadi curiga. Jangan - jangan kedua orang tuanya telah melakukan sesuatu pada tubuhnya sehingga ia tidak bisa sadarkan diri seperti ini. Wajar jika Garlanda curiga, karena selama ini kedua orang tuanya tak pernah sekali pun memperlakukannya dengan baik. Bisa jadi mereka sudah lelah dengan segala aduan dari Garlanda yang menurut mereka tidak masuk akal. Padahal Garlanda hanya berusaha menyuarakan apa yang ia alami, apa yang ia rasakan. Ia hanya ingin mereka percaya dan membantunya untuk sembuh dari penyakitnya yang aneh. Rasa kantuk kembali menyerang Garlanda dengan begitu hebatnya. Sehingga pemuda itu tak kuasa untuk terus terjaga dalam mata tertutup seperti itu. Garlanda pun kembali ke dalam dunia mimpi. Dan ia terbangun dalam tubuh yang lain, juga cerita kehidupan yang lain. Ke dalam tubuh seorang pemuda bernama Sher. Pemuda yang nestapa, begitu menyimpan banyak sesal dalam kehidupannya, yang membuat ia menjadi sosok manusia tanpa semangat dan selalu putus asa. *** Sher sudah berada dalam posisi sempurna untuk melahirkan. Semuanya sudah siap. Pembukaannya pun telah lengkap. Rasa sakit yang menyerangnya juga sudah klimaks. Namun Sher belum mau berusaha mengeluarkannya. Ia masih tak mau menerima semua ini. Ia hanya menggeliat gelisah mengikuti rasa sakit yang menyerangnya. Perut besarnya terasa keras dan kencang. Bayinya sudah siap lahir. "Sher ... mengejan lah, ayo!" Lim terus membujuknya. Sher menggeleng kasar. "Untuk apa? Untuk apa hal itu dilakukan? Aku tak apa - apa. Tidak ada yang terjadi saat ini ...." Suaranya tercekat menahan sakit. Ia masih terus menolak kenyataan. Ia tidak mau mengakui bahwa dirinya hamil dan akan segera melahirkan. Makanya ia merasa tak harus melakukan apa - apa. Meski rasa sakit itu begitu nyata adanya,seakan membelah tubuhnya dengan begitu kuat. "Sher ... ayo lah ... kau bisa mati ...." "Mati katamu?" Sher menyeringai. Kedua matanya menatap dengan nanar, dan kini tercipta sebuah senyuman miris di wajahnya. "It ' s better than living like this ... arghhh ...." Kontraksi itu menyerang tanpa ampun. Sher kembali menggeliat kasar. Darah menggumpal keluar dari liang lahirnya. Lim segera mengelapnya menggunakan kain steril. Sudah yang kesekian kalinya Sher mengeluarkan gumpalan darah itu. Sementara air ketubannya sudah pecah sejak tadi pagi. Dan itu memperburuk rasa sakit yang Sher rasakan. Lim membantu menekan - nekan pelan perut Sher. Berharap bayinya akan segera lahir tanpa Sher harus megejan. Sher hanya bergeming. Ia bahkan tak sudi melihat apa pun yang dilakukan Lim. Yang ada di pikiran dan hatinya hanya benci. Ia benci menjadi seperti ini. Lim memerintah seorang maid untuk kembali mengganti air di baskom. Karena selain sudah dingin, air itu telah berganti warna semerah darah. Cairan berwarna keruh, sisa ketuban juga masih keluar tiap kali tubuh Sher mengejan secara alamiah. Lim tak ingin memaksa lagi. Mungkin memang bayi itu harus keluar dengan sendirinya. Bayi itu berusaha sendiri dengan hanya sedikit bantuan dari Sher. *** Hampir malam. Bayi itu akhirnya terlihat. Rambutnya hitam tebal. Lim bersiap meletakan tangannya di depan liang lahir. Sher sudah tak bisa tenang. Sakitnya luar biasa. Sesekali bagian pinggangnya terangkat karena ia tak bisa menahan sakit. Lim sudah memberitahunya untuk tak melakukan itu, atau lubangnya akan robek. Tapi Sher tak peduli. Dan sekarang memang begitu keadaannya. Sher sudah menerima infus sejak setengah jam yang lalu karena ia terus memucat. Ia kehilangan banyak darah. Tak sampai satu jam akhirnya bayi itu lahir. Perempuan. Lim segera memotong tali pusar yang menguhubungkannya dengan Sher. Lim membawa bayi itu untuk dibersihkan. Belum selesai, seorang maid tergopoh menghampirinya. "Lim ... Sher ... dia ... dia tidak bernapas!" "Apa?" Lim segera menghampiri Sher. Ia menyerahkan bayi itu pada seorang maid. Diperiksanya denyut nadi Sher yang sangat lemah. Lim tentu saja khawatir. Tapi ia tak kehabisan akal. Ia segera menancapkan jarum dengan selang ke lengannya. Ia harus mendonorkan darahnya pada Sher, atau adiknya itu akan mati. *** Begitu nyatanya rasa sakit dan kesedihan yang turut dirasakannya, Garlanda tak tahan terus berada di dalam tubuh pemuda bernama Sher itu. Entah bagaimana caranya ia terlepas begitu saja dari kehidupan Sher. Dan kini sudah kembali dalam raganya sendiri. Meski masih belum bisa membuka mata, namun ia lega. Lebih baik seperti ini dari pada menjalani kehidupan dan kesakitan yang Sher rasakan. Hingga saat ini Garlanda bahkan masih harus terus mengatur pernapasannya, seolah - olah rasa sakit itu masih bisa ia rasakan. Sayangnya, lagi - lagi kelegaan yang ia rasakan tidak lah lama. Karena ia kembali begitu sering tertidur. Ia jadi semakin yakin bahwa kedua orang tuanya sudah melakukan sesuatu pada tubuhnya. Karena ini terlampau aneh untuk tidak dicurigai. Apa ia sudah disuntik obat tidur atau obat bius atau semacamnya? Garlanda pun kembali terlelap dalam. Dan kini ia masuk ke dalam tubuh seorang laki - laki lagi. Sialnya masih dalam persoalan yang sama. Kalau begini namanya seperti jatuh tertimpa tangga. Keluar dari kandang buaya, malah masuk kandang singa. Ingin rasanya Garlanda segera pergi dari kehidupan ini. Seperti apa yang ia lakukan ketika kabur dari tubuh Sher tadi. Tapi Garlanda tak tahu caranya. Ia sudah coba memejamkan mata, sudah coba melakukan apa yang ia lakukan sebelum pergi dari tubuh Sher tadi. Tapi tidak berhasil. Ia masih tetap berada dalam tubuh ini. Dalam tubuh pemuda malang bernama Lua. *** Lua berjinjit mencari gula di lemari atas. Ia segera mengambil saat botol kecil itu terlihat. Seperti biasa, satu sendok sudah cukup manis. Seduhan teh itu kemudian ia bawa ke samping jendela. Lua mulai duduk di sana. Terhitung sejak ia positif, ini sudah hampir bulan ke - sepuluh. Dielusnya perut itu. Besar sekali. Kata Ayah ada tiga bayi di dalam sana. Memang tak bisa dipungkiri. Mungkin itu benar. Lua selalu cepat lelah. Kadang ia malas berjalan. Kadang ia justru tidur di sofa depan TV. Karena ia tak bisa naik ke lantai atas untuk tidur di kamarnya. Memang merepotkan. Tapi Lua sudah memutuskan. Jadi ia juga berusaha menerima sepenuh hati. Ini demi kebahagiaan kedua orangtuanya. Ia tak bisa menolak. Sungguh tak bisa. Hampir jam lima. Ibu akhirnya pulang dari rumah sakit tempatnya praktik. Ia datang dengan senyum merekah. "Ini untukmu. Yang kemarin sudah habis, kan?" Ibu menyerahkan sekotak s**u ibu hamil untuk Lua. Lua tersenyum menerimanya. "Terima kasih, Bu." "Apa punggungmu sakit terus hari ini? Perlu Ibu pijat?" "Tak apa, Bu. Hanya sakit seperti biasa. Tak ada yang perlu dikhawatirkan." Ibu menuntun anaknya itu menuju ke sofa. Tempat favorit Lua setelah kandungannya memasuki bulan ketujuh dulu. Saat perutnya terus berkembang hingga sebesar sekarang. Sebelum Lua duduk, ibunya menata beberapa bantal di sandaran sofa. Agar Lua bisa duduk lebih nyaman. Lua duduk di sana dengan canggung. Sementara Ibu dengan santai duduk di sebelahnya. Lalu mulai mengelus perutnya. "Ibu sungguh senang mereka tumbuh dengan baik. Terimakasih ya, Sayang!" ucapnya. Lua tak tahu harus menjawab apa. Ibu dan Ayah selalu rutin mengatakan ini padanya. Ia bingung. Meskipun ia melakukan ini dengan ikhlas, tapi tetap saja ada rasa mengganjal yang membuatnya sedikit muak. Tapi ini demi orang tuanya. Lua sedikit bergerak saat bayinya juga bergerak. Ia yakin di dalam sana sempit. Mereka tidur bersama dalam satu tempat yang tak terlalu besar. Tentu saja rasanya tak nyaman. Mungkin itu sebabnya mereka sangat aktif. Meski Lua hampir tiap hari tak bisa tidur karena itu, ia tetap senang mengalami semua ini. "Bu ...." "Kenapa, Sayang?" "Tidak ... kurasa ... bukannya aku sudah overdue? Jadwal mereka lahir adalah dua minggu kemarin, kan?" Ibu tersenyum. "Tak ada istilah overdue, Sayang. Setiap manusia punya ukuran sendiri - sendiri. Mereka bisa lahir kapan saja. Perkiraan tak bisa seratus persen benar." Lua menunduk kali ini. Ia tak bisa duduk dengan benar setelah perutnya membesar. Kakinya selalu ikut membuka lebar saat ia duduk. Bahkan sekarang ia tak bisa melihat kakinya sendiri. Terhalang oleh perut tentunya. Ibu berjalan pelan menuju nakas. Ia mengambil sebuah krim. Ia duduk berjongkok di hadapan Lua. Mulai membuka kaos anaknya, kemudian mengoles krim itu dengan lembut di sekitar area pinggang dan perut bawah Lua. "Stretch mark - nya parah sekali, Sayang. Lotion ini tak banyak membantu sepertinya." "Tak apa, Bu!" "Tidak bisa begitu, Sayang. Stretch mark itu mengganggu. Keindahan kehamilanmu jadi berkurang karena ini." DEG .... Lua diam. Ibu mulai lagi. Baik lah. Yang dikatakan Lua tak ada yang benar. Memang kedua orangtuanya meminta ia hamil, bukan karena menginginkan bayinya. Mereka hanya senang melihat Lua seperti itu. Tidak. Bukan hanya itu. Mereka berdua seperti terobsesi akan kehamilan. Karena Ibu sudah terlalu tua, akhirnya mereka meminta Lua. Ialah harapan mereka satu - satunya. Sekali lagi, Lua terlalu penurut. Tak pernah bisa menolak keinginan orang tuanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD