Tale 96

1344 Words
Baru juga Pak Irwan hendak menghubungi Fariz, tapi terdengar derap langkah mendekat, yang lumayan ramai sepertinya. Pak Irwan langsung menoleh. Demikian pula Mbah Jum, Pak Muklas, dan juga Mr. Baggie. Ternyata yang datar adalah mereka yang hendak dihubungi oleh Pak Irwan. Siapa lagi kalau bukan sahabat-sahabatnya Jodi; Fariz, Iput, dan Ayla. Pak Irwan tersenyum bangga melihat kedatangan mereka. Kedua matanya sampai berkaca-kaca. Sebegitu kuat ikatan persahabatan antara mereka berempat. Bahkan belum juga Pak Irwan mengabari hal ini pada mereka, tapi mereka sudah tahu, bahkan sudah sampai di sini. Mbah Jum, Pak Muklas, dan Mr. Bagie pun turut tersenyum bahagia atas kehadiran mereka. Fariz dan Iput rasanya tak percaya. Semakin dekat jarak mereka, semakin melambat pula kecepatan langkah mereka. Seolah mereka menolak mempercayai apa yang sudah bisa mereka lihat dari kejauhan. Seakan tak terima, jika firasat Ayla ternyata benar. Tak terima juga, kenapa justru Ayla yang merasakan duluan ada yang tidak beres dengan Jodi. Kenapa bukan mereka duluan yang merasakan hal itu? Bisa-bisanya mereka sangat cuek, sangat tidak peka pada kondisi Jodi. Selambat apa pun langkah mereka, tapi jarak akhirnya tetap tertempuh. Dan kini mereka telah bisa melihat Jodi dengan jelas, di dalam ruangan berdinding kaca tebal tembus pandang itu. Air mata mereka langsung lolos. Ayla berusaha menahan diri supaya isakannya tidak mengganggu. Sementara Fariz dan Iput hanya terdiam, namun dengan air mata yang mengalir di pipi. Kini mereka sudah berada tepat di depan dinding kaca. Fariz menyentuh dinding itu seolah-olah sedang menyentuh Jodi di dalam sana. Yang membuat mereka terkejut, selain kondisi Jodi, adalah dengan keberadaan Pak Irwan di sini. Bagaimana bisa sang guru sudah berada di sini duluan? Di sekolah tadi jam pelajaran Pak Irwan kosong. Jadi ini dia alasan di balik kosongnya jam pelajaran, si guru paling rajin. "Pak Irwan ... saya benar-benar nggak ngerti. Tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi? Semua yang terlihat di sini sama sekali melenceng dari apa yang saya bayangkan. Saya memang sudah mendengar Jodi berada di ICU dari reception di depan. Kami lega karena akhirnya menemukan Jodi setelah berkelana mencari namanya dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Kami sudah cukup terkejut dengan fakta Jodi berada di ICU. Tapi semakin terkejut saat tahu dia ternyata nggak sadarkan diri seperti itu. Juga dengan keberadaan Pak Irwan di sini, yang sudah lebih dulu mendengar kabar Jodi dibandingkan kami." Fariz tidak ragu menyuarakan seluruh pertanyaan yang terpatri dalam otaknya. Ia harus segera tahu alasan di balik itu semua. "Benar, Pak. Tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi?" Iput pun ikut menuntut penjelasan. "Kapan hari saat kami jenguk, Jodi bilang dia baik-baik saja. Tapi kenapa sekarang jadi begini? Kami tak percaya saat Ayla bilang ada yang nggak beres dengan Jodi. Tapi kami lebih memilih untuk nggak percaya sama Ayla. Karena Jodi bilang dia akan segera sehat. Kami sakit hati, karena ternyata bahkan firasat Ayla jauh lebih kuat dibanding saya dan Fariz yang mengaku sebagai sahabat Jodi." Iput tampak begitu terluka. Tampak begitu bersalah. Sementara Ayla hanya diam, memandangi Jodi di dalam sana. Begitu ingin menyentuh Jodi, namun tidak bisa. Ia sekadar mendengarkan ucapan demi ucapan. Namun sama sekali tak berminat untuk ikut bicara. Karena semua pertanyaannya sudah diwakili Oleh Fariz dan Iput. "Maafkan saya karena terlambat memberi tahu kalian tentang ini. Saya tadi sebenarnya sudah hendak menghubungi kalian. Tapi ternyata perasaan kalian lebih kuat satu sama lain. Pertama-tama, saya akan mengatakan bahwa saya dan Jodi sebenarnya sudah saling mengenal jauh sebelum kalian kenal. Saya dulu adalah guru les-nya Jodi dan juga mendiang kembarannya. Kamu begitu dekat, hingga Jodi sering bercerita tentang banyak hal pribadi pada saya. Termasuk bagaimana irinya dia pada kembarannya sendiri Aldi. Berangkat dari sana, hubungan saya dan Jodi menjadi lebih dekat, hingga bisa dikatakan kami adalah sepasang sahabat. "Jodi dulu anak yang terbuka. Dia selalu menceritakan apa pun pada saya. Tapi semua berubah sejak Aldi meninggal dunia. Jodi menyalahkan dirinya sendiri atas kecelakaan itu. Jodi menjadi pribadi yang tertutup, bahkan pada saya. Jodi sudah cukup merasa bersalah. Tapi dia terus disalahkan oleh kedua orang tuanya. Terutama oleh ayahnya. Sehingga batin Jodi memberontak, dan Jodi berubah menjadi anak yang tidak tahu aturan. Itu lah yang membuat saya merasa harus bersikap tegas pada Jodi. Karena saya nggak mau Jodi semakin kehilangan arah. "Tapi ternyata keputusan saya itu kurang tepat. Karena apa yang saya lakukan, justru membuat Jodi semakin kesepian, dan merasa tak punya teman. Untung lah selama itu, ada kalian yang selalu mengisi hari-hari Jodi sehingga masih memiliki sedikit episode menyenangkan. Jujur, saya sebenarnya juga baru tahu tentang penyakit Jodi. Kapan hari kami kembali terlibat obrolan intim setelah 2 tahun berlalu. Dan Jodi mengaku dia sedang sakit parah, merasa tidak punya harapan. Tapi dia bahagia karena busa jadi ia akan segera menyusul saudara kembarnya. Tapi ... saya langsung menegur dia saat itu juga, supaya tidak berpikir terlalu jauh. "Yang saya sesali adalah ... saya seharusnya langsung membongkar saja tentang penyakit Jodi itu pada semua orang terdekat Jodi. Tapi saya malah membiarkan dulu Jodi berpikir kapan ia akan siap untuk memberi tahu semua orang. Dan hingga hari ini terjadi, Jodi belum memberi tahu siapa pun. Tapi kata Mbah Jum, tadi sebelum Jodi jatuh nggak sadarkan diri, Jodi sebenarnya sudah bilang kalau dia mau mengatakan sesuatu yang serius. Saya yakin, Jodi sudah hendak mulai terbuka. Ia memulai untuk memberi tahu Mbah Jum terlebih dahulu. Namun dia justru ambruk setelah itu." Mendengar penjelasan panjang Pak Irwan, Fariz dan Iput rasanya semakin tak percaya. Perasaan mereka campur aduk. Antara terkejut dengan keberadaan fakta yang begitu mengejutkan. Baru sadar bahwa ternyata banyak sekali hal yang tidak mereka ketahui dari seorang Jodi. Mereka bahkan baru tahu jika Jodi ternyata memiliki seorang saudara kembar yang sudah meninggal. Baru tahu jika Jodi dan Pak Irwan ternyata sudah saling mengenal sejak lama. Dan yang paling membuat terkejut, fakta tentang Jodi yang menyembunyikan penyakitnya. Mereka teramat sangat sedih. Harusnya mereka lebih peka sebagai sahabat. Harusnya mereka lebih peduli, sehingga Jodi pun bisa menceritakan semua hal dengan nyaman, tanpa harus menjaga semuanya sebagai rahasia. Dan bahkan membutuhkan waktu untuk sekadar berterus terang. "Tolong katakan ... Jodi sebenarnya sakit apa, Pak?" Fariz memberanikan diri untuk menanyakan hal itu. Berat rasanya bagi Pak Irwan untuk menjawab pertanyaan itu. Tapi, mau tak mau ia harus menjawab. "Leukemia. Salah satu jenis penyakit kanker yang menyerang sel darah." Situasi pun seolah-oleh membeku beberapa saat. Sulit rasanya untuk mempercayai jawaban Pak Irwan. Tapi melihat kondisi Jodi seperti itu di dalam sana, tidak ada yang tidak mungkin dari apa yang sudah dijelaskan oleh Pak Irwan. Ayla semakin keras saja isak tangisnya. Sementara Fariz dan Iput kembali menatap Jodi di dalam sana. Air mata mereka kembali menetes tanpa diminta. Begitu sedih, begitu merasa sakit, begitu prihatin dengan kondisi Jodi. Tapi dibaaat bersamaan juga kesal, kenapa Jodi tidak memberi tahu mereka lebih awal. "Kalian adalah orang-orang terdekat Jodi selama dua tahun ini. Jika kalian tahu ada orang lain yang dekat dengan Jodi, tolong beri kabar pada mereka. Supaya semakin banyak orang yang berdiri bersama Jodi, untuk melawan penyakitnya. Untuk meyakinkan Jodi bahwa dia nggak sendirian lagi. Dia punya banyak orang di sisinya, yang semuanya sayang sama dia." Pak Irwan melanjutkan kata-katanya. Seketika Fariz dan Iput teringat pada Mbak Titi. Dan Ayla seketika menunduk, karena nanti jika Mbak Titi sudah datang, dia harus bisa menahan cemburunya. "Lo ada nomor hp Mbak Titi nggak, Put?" tanya Fariz. Iput langsung menggeleng. "Nggak ada lah. Coba cari aja di hp Jodi. Pasti ada nomornya." Fariz langsung bicara pada Pak Irwan lagi. "Jodi sebenarnya punya pacar, Pak. Namanya Mbak Titi. Tolong beri tahu dia saja. Karena Jodi sepertinya sayang banget sama Mbak Titi itu. Pasti Mbak Titi bisa membantu menguatkan Jodi. Cari nomor Mbak Titi di hp Jodi." "Ah, iya-iya." Pak Irwan mengerti, dan segera mencari hp Jodi di dalam salah satu tas yang dibawa dari rumah anak itu. Meski sebenarnya Pak Irwan heran, ternyata Jodi punya pacar. Ia sama sekali tak tahu. Atau lebih tepatnya, ia sama sekali tidak menyangka. Tapi bagus lah jika memang punya, sehingga akan ada satu orang lagi yang akan berdiri bersama Jodi. Dan semoga saja si Titi itu setia, tidak akan pergi, meski setelah tahu jika Jodi sakit parah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD