4. COWOK OTAK NGERES

2002 Words
Erlan tengah fokus pada pekerjaan yang rasanya tidak pernah habis. Sejak ditinggal oleh kakak perempuannya yang fokus sebagai ibu rumah tangga, Erlan mengelola usaha ini sendirian, dan terkadang kelimpungan. Ada saja pekerjaan yang menuntutnya untuk segera diselesaikan dan membuat Erlan kesulitan menikmati waktu untuk dirinya sendiri atau berkumpul dengan teman-temannya. Seperti hari ini, ia harus memeriksa hasil laporan wedding yang baru saja selesai digelar. Bukan satu, wedding organizer-nya harus meng-handle tiga klien dalam waktu yang hampir bersamaan. Bukannya tidak bersyukur, sebagai manusia biasa terkadang Erlan juga jenuh. Tapi ketika mendengar kliennya puas karena mewujudkan dream wedding mereka, Erlan merasa bangga dan ikut bahagia. Apalagi tim yang ia miliki juga sangat loyal dan berdedikasi tinggi, sehingga bisa menjadi penambah semangat bagi Erlan dalam mengelola Contento Wedding Organizer. Suara ketukan pintu membuat Erlan menghentikan jarinya yang tengah bergerak lincah di atas keyboard. Pria itu mendongak dan melihat Tini, karyawannya muncul dari balik pintu. “Maaf Mas Erlan, ada tamu yang mau ketemu sama Mas Erlan.” Ucap Tini. Kedua alis Erlan tertaut dan menatap Tini dengan penasaran. “Tamu? Saya nggak ada janji sama siapapun. Siapa tamunya?” “Perempuan, Mas. Namanya Merlin, tadi bilang kalau sebut nama dia saja dan Mas pasti tahu.” Erlan mengangguk ketika mendengar nama yang disebutkan oleh Tini. “Ah, iya suruh masuk ke ruangan saya. Saya kenal kok sama dia.” “Baik Mas, kalau begitu saya permisi.” Tidak lama setelah kepergian Tini, sosok tamu yang dimaksud langsung muncul dengan tampilan yang membuat mata para lelaki terbelalak lebar. Mengenakan dress super ketat dan mini, Merlin berjalan menghampiri Erlan. “Hai sayang,” sapa Merlin yang langsung menghampiri Erlan di tempat duduknya dan langsung memberi pria itu ciuman di pipi. “Kangen.” Erlan segera beranjak dari kursi kerjanya, dan mengajak Merlin duduk di sofa khusus tamu. Merasa diabaikan membuat wanita itu memasang raut kesal. “Kamu kok nggak seneng sih kalau aku datang ke sini?” keluh Merlin ketika b****g sudah mendarat di sofa, tepat sebelah Erlan. “Mer, aku sudah bilang jangan datang ke tempat kerjaku. Bedakan mana yang menyangkut hal pribadi dengan pekerjaan.” Ucap Erlan. “Memang kenapa kalau aku datang ke sini? Kamu nggak pernah balas pesan sama angkat telpon, ya aku cari kamu ke sini.” “Aku nggak ada kewajiban buat melakukan hal yang kamu sebutin tadi. Kita hanya teman, teman untuk hang out, nggak lebih. Kamu jangan menganggap lebih sikapku yang memang akan ramah sama semua wanita. Jangan merasa spesial karena aku memperlakukan semua teman seperti ini.” “Terus, sikap kamu yang cium, peluk aku itu, cuma kamu anggap biasa aja?” suara Merlin meninggi. “Aku bukan cewek murahan yang bisa kamu permainkan.” “Wow, kenapa kamu jadi marah begini?” Erlan mendekati Merlin lalu berbisik. “Bukannya kamu seperti itu sama semua laki-laki? Kenapa kamu cuma marah sama kamu, dan nggak menuntut tanggung jawab sama mereka yang bahkan ngajak kamu tidur bareng?” Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi Erlan. Merlin nampak marah dan tidak terima dengan tuduhan dari pria di hadapannya. “Jangan sembarangan ya, aku nggak seperti yang kamu kira. Aku Cuma dekat sama kamu, tapi kamu yang main-main sama aku.” Erlan meraba pipinya yang terasa panas akibat tamparan keras dari Merlin. Namun pria itu masih bisa tersenyum ketika wanita di hadapannya mencoba membela diri. Kemudian Erlan beranjak dari duduknya, lalu mengambil ponsel di atas meja kerjanya. Sejenak pria itu fokus melihat ponsel, tidak lama Erlan menunjukkan sesuatu pada Merlin. “Apa itu?” Tanya Merlin sambil berusaha mengambil ponsel Erlan. “Liat saja, nggak usah kamu pegang. Masa gambar sejelas itu nggak kamu liat. Ini ponsel mahal, gambarnya jernih.” Bukan itu masalahnya, Erlan tidak mau ponselnya dibanting oleh Marlin ketika wanita itu emosi saat tahu gambar apa yang ditunjukkan oleh Erlan. Wajah Merlin memerah ketika melihat sepasang wanita dan laki-laki tengah saling cium dan b******u. Sangat jelas kalau itu adalah dirinya dan apa yang dikatakan oleh Erlan, tidak bisa dielak lagi. “Gimana?” tanya Erlan santai. Merlin beranjak dari duduknya dengan raut wajah emosi. “Harusnya kamu bangga, dari sekian laki-laki yang dekat sama aku, justru aku memilih kamu.” Erlan tersenyum mengejek mendengar ucapan Merlin yang begitu percaya diri. “Aku beruntung karena nggak pernah bermain rasa setiap dekat dengan wanita.” Tidak terima dengan ucapan Erlan yang meremehkan dirinya, Merlin memilih pergi dengan emosi yang hampir meledak. Wanita itu membanting pintu hingga menimbulkan suara yang keras dan tentu saja akan membuat karyawan Erlan penasaran apa yang terjadi dengan atasan mereka. Hal seperti ini yang Erlan takutkan jika teman wanitanya salah paham dengan sikapnya yang friendly. Mereka akan menganggap Erlan memberi harapan dan ujung-ujungnya menuntut status pada dirinya. “Wanita memang paling susah ditebak isi kepalanya,” gumam Erlan dan kembali melanjutkan pekerjaannya. *** Giana baru kembali dari makan siang di luar. Biasanya ia memilih tetap stay di toko saat istirahat makan siang, tapi karena teman lamanya sedang berkunjung ke Jakarta, akhirnya Giana bertemu dengan temannya tersebut sambil makan siang bersama. Suasana toko cukup ramai pengunjung dan melihat bagaimana sibuknya para karyawan yang sedang melayani beberapa pengunjung. “Mbak Gi, tadi ada yang nyari.” Ternyata Riska mengekori Giana yang sudah masuk ke ruangannya. “Orangnya ganteng.” “Ada yang nyari,? Kamu nanya namanya siapa?” Wanita itu meletakkan tas di atas meja, lalu membuka jaket yang ia pakai. “Tadi udah nanya tapi nggak mau bilang. Katanya lain kali datang ke sini lagi.” Giana penasaran tapi tidak terlalu ambil pusing. “Dia ke sini cuma cari aku aja atau sambil belanja?” “Sambil belanja, borong banyak pastry untuk karyawannya.” “Apa si nyebelin Erlan yang datang ke sini?” Giana bertanya dalam hati pada dirinya sendiri. “Oh iya udah nggak apa-apa. Kalau penting, nanti juga ke sini lagi.” Sahut Giana santai. “Ya sudah kamu bisa balik kerja lagi.” “Baik Mbak Gi.” Selepas kepergian Riska, Giana kembali dilanda rasa penasaran. Siapa pria yang datang dan menanyakan dirinya tanpa mau menyebutkan nama. “Ckck, sok misterius banget sih,” gurutu Giana. Tepat pukul delapan malam, Giana sudah sampai di rumah. Mobil Jazz berwarna putih Giana berhenti di depan gerbang rumahnya yang tertutup. Ia terbiasa membuka pagar sendiri tanpa meminta Maria yang melakukannya. Biasanya Maria sudah tidur ketika Giana baru pulang dari toko. Giana mematikan mesin mobilnya, lalu membuka sabuk pengaman untuk segera turun dari mobil. Namun, pandangannya teralihkan ketika melihat sebuah mobil berwarna hitam terparkir di depan gerbang rumah Erlan. “Mobil siapa ya? Perasaan mobil Erlan bukan yang ini. Mobil orang tuanya juga nggak mungkin karena sudah balik ke Bandung.” Gumam Giana. “Ah ngapain gue pusing perkara mobil di depan gerbang rumah Erlan sih.” Giana turun dari mobil lalu membuka kunci pagar rumahnya. Ditengah-tengah fokusnya membuka pagar, suara di rumah sebelah membuat Giana mengalihkan pandangan. Benar saja, Erlan muncul dari dalam rumah dengan seorang wanita. Giana pura-pura tidak peduli dan fokus sama keperluannya. Erlan menyadari kehadiran Giana dan pria itu nampak sangat cuek. Seakan tidak peduli jika Giana semakin tidak suka padanya karena dianggap berganti-ganti teman wanita. “Aku pulang dulu ya.” Ucap wanita itu dengan nada manja. “Makasih udah ajak aku ke tempat tinggal kamu yang baru. Tapi aku lebih suka kamu tinggal di apartemen.” “Ini pilihan Mamaku jadi aku nurut aja.” Jawab Erlan sambil curi-curi pandang ke arah Giana yang sudah kembali ke dalam mobil. “Ya sudah, bye Erlan.” Satu kecupan mendarat di pipi Erlan. “Sampai jumpa nanti.” Tiba-tiba, Erlan melumat bibir wanita itu hingga membuat si wanita terkejut namun menikmatinya. Sekian detik akhirnya Erlan melepaskan pangutannya. Erlan tersenyum ramah. “Hati-hati ya.” Pria itu terkejut ketika Giana mengendarai mobilnya dengan cepat padahal hanya membawanya masuk ke garasi. Erlan tersenyum karena yakin Giana sedang kesal melihat dirinya yang bersikap mesra dengan wanita lain. “Dia gemesin banget,” gumam Erlan lalu kembali ke dalam rumahnya. Giana turun dari mobil dengan wajah kesal. Ia seperti itu karena melihat hal yang lagi-lagi menodai matanya. Ia masuk ke rumah, sambil sibuk menggerutu tanpa peduli dengan Maria yang duduk di sofa ruang tv. “Dasar m***m, bisa-bisanya ciuman bibir di pinggir jalan. Otaknya ketinggalan di mana sih tetangga menyebalkan ini?” Maria menatap aneh pada putrinya yang baru saja pulang. “Kamu kesambet? Kok ngomel sendirian?” “Aku tu sebel banget sama Erlan. Mama tau nggak apa yang barusan aku liat di depan?” “Apa?” “Si Erlan ciuman bibir sama cewek di depan rumahnya. Emang nggak bisa ya ciuman di dalam rumah aja, nggak usah dipamerin begitu. Dikira keren apa m***m di pinggir jalan.” “Terus kamu pelototin Erlan lagi ciuman?” “Nggaklah, Ma. Kurang kerjaan liatin begituan.” “Ah biasa aja sih kalau menurut Mama. Kamu aja yang kelamaan jomlo makanya kesel liat orang mesra-mesraan.” Maria sekaan tidak berpihak pada anaknya. “Anak Mama aku apa Erlan sih? Padahal baru kenal dua hari kok kuat banget aura cowok itu narik perhatian Mama. Jangan-jangan dia pakai pelet paling mahal makanya Mama jadi belain dia terus.” Satu buah bantal mendarat tepat mengenai tubuh Giana. Maria tidak pernah salah sasaran, apalagi jika yang dituju adalah putrinya sendiri. “Jaga bicara kamu, ngomong kok sembarangan. Kamu yang aneh, baru kenal kok malah kesel sama Erlan. Awas ya dari kesel jadi suka terus jatuh cinta. Tau rasa nanti kamu, Giana.” Giana bergidig ngeri membayangkan ia jatuh dalam pelukan seorang Erlan. “Nggak mungkin dan nggak akan pernah.” “Ya sudah kalau ngga mau kena karma, mending bersikap biasa saja sama dia. Bersikap wajar, siapa tau karmanya menjauh dari kamu.” “Memang beneran ada yang begitu?” Giana mulai terpengaruh ucapan Maria. Maria mengangguk cepat. “Ada, makanya bersikap baik sama Erlan biar kamu nggak kena karma. Tapi kalau kamu berharap bisa pacaran sama dia, ya silakan aja kalau mau terus-terusan kesel.” Bibir Giana mengerucut karena ucapan Maria. “Memang aku anak kecil bisa Mama kibuli?” “Ya sudah kalau nggak percaya. Buruan mandi, terus makan. Kayaknya Mama mau tidur, ngantuk sekali.” “Iya, aku ke kamar dulu.” Setelah selesai dengan ritual membersihkan diri, Giana juga mulai lupa dengan apa yang terjadi saat pulang kerja. Sambil memutar musik rileksasi, Giana membuka pintu kamar yang langsung menuju balkon. Udara segar di malam hari selalu membuat Giana betah berada di tempat tersebut. Masih mengenakan bathrobe, Giana mengambil ponsel lalu berdiri santai di balkon kamarnya. Karena matanya terlalu fokus membuka sosial media khusus untuk tokonya, Giana tidak tahu siapa yang kini tengah menatapnya. “Kenapa belum tidur?” Suara dari seberang hampir berhasil membuat jantung Giana melompat dari tempatnya. Ketika tahu siapa yang memanggil, kedua mata Giana membola dengan sempurna. “Kamu ngapain di situ?” pertanyaan bodoh untuk Erlan yang juga sedang berada di balkon. Rumah mereka memiliki model yang sama dan kebetulan balkon kamar Erlan berhadapan langsung dengan balkon kamar Giana. Jadilah saat ini keduanya saling menatap, Erlan dengan santai sedangkan Giana dengan raut terkejut. “Apa kamu nggak ngerasa pertanyaan tadi agak konyol?” Giana mengingat apa yang ditanyakan barusan. “Konyol apanya? Kan aku nanya ngapain kamu di situ.” “Ini kan balkon rumahku, apa harus ada alasan kalau aku mau diem di sini?” tanya Erlan balik. “Terus kamu sendiri kenapa masih pakai bathrobe udah nongkrong di balkon? Sengaja mau kasih liat aku?” Kedua mata Giana membulat sempurna karena pertanyaan Erlan. Sontak, kedua tangan wanita itu memegang bathrobe-nya rapat-rapat agar terhindar tatapan m***m seorang Erlan. “Kurang kerjaan kalau sengaja aku kasih liat ke kamu. Memangnya aku kayak temen-temen wanita kamu itu?” Erlan tergelak. “Giana Giana, kamu memang ajaib. Aku sampai nggak percaya bisa ketemu wanita seperti kamu.” “Aku juga, nggak habis pikir bakalan punya tetangga m***m kayak kamu,” ucap Giana ketus lalu pergi meninggalkan balkon. Pria itu menggeleng pelan sambil tersenyum. “Makin penasaran sama wanita ini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD