Berduka

1620 Words
Happy reading Fares menatap wajah damai istri nya yang terlelap tidur diatas berangkar rumah sakit, tadi malam mereka terpaksa menginap karna kondisi bayi mereka yang masih belum stabil dan beresiko terjadi apa-apa jika dibawa pulang. Fares melihat jam tangannya sebentar lalu menghela nafas panjang. Kaki nya berjalan mendekat kepada Firna yang masih tertidur, mengelus pelan pelipisnya lalu membangunkannya dengan lembut. "Na." "Bangun udah siang, makan dulu." Badan kecil itu menggeliat pelan mendengar bisikan Fares. Matanya perlahan mengerjab dan terbuka melihat wajah tampan Suaminya sebagai pemandangan pertama yang dilihatnya saat bangun tidur. "Kak. Baby Dino gimana?" Ucapan itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Firna dengan suara serak khas bangun tidur nya. "Tadi dokter kesini, katanya kondisi Dino udah membaik sempet nangis juga tadi." "Syukurlah." "Lo mau makan apa? Biar gua beli keluar." Ucap Fares. "Nasi padang kayanya, enak, kak." "Mau?" Firna mengangguk. "Yaudah tunggu, gua beli dulu." "Iya." Fares pergi dari ruangan itu meninggalkan Firna sendirian disana. Saat dirinya melewati lorong koridor rumah sakit Fares tidak sengaja berpapasan dengan seorang perawat yang berjalan tergesa-gesa dari lawan arah. Langkah kaki yang berjalan dengan terburu-buru membuat kaki perawat itu tersandung membuat kertas-kertas yang dipegangnya berjatuhan ke lantai. Fares yang awalnya acuh mendadak kasihan. "Hati-hati." Ucapnya cuek setelah membantu memunguti kertas-kertas yang berserakan lalu memberikannya. Perawat itu tampak tersenyum malu dan canggung menerimanya. "Ah iya. Makasih Mas." Timpalnya sedikit menunduk lalu menatap sosok tinggi yang baru saja membantunya. Deg. "Kak Fares?" Fares mengkerutkan keningnya mendengar namanya disebut oleh perawat itu. "Lo kenal gua?" Tanya nya bingung menatap wajah perawat yang setengah wajahnya tertutupi masker. Melihat kebingungan di wajah Fares, perawat itu langsung membuka masker yang dipakainya lalu tersenyum menampilkan dereta gigi putih dengan gingsulnya terlihat sangat manis. Fares mengingat wajah yang terlihat tidak asing itu. Otaknya berpikir keras lalu sekilas ingatan muncul dibenaknya. "Ah, Lo cewek yang digodain preman itu? Kalo gak salah nama lo Mika iya kan?" Tanya Fares setelah mengingat-ingat. "Kak Fares masih inget ternyata." Fares mengangguk. "Lo kerja disini?" Tanya Fares dengan bodohnya padahal sudah jelas-jelas cewek itu mengenakan seragam perawat rumah sakit. "Ngga aku numpang lewat aja." Gurau nya. Fares terdiam, perawat itu terkekeh pelan. "Ya, iyalah aku kerja disini kak. Tapi lebih tepatnya baru magang sih." Lanjutnya. "Oh." "Btw, kak Fares ngapain disini, ada yang sakit?" Tanya Mika. "Iya is--" Belum sempat menyelesaikan ucapannya Fares tiba-tiba menepuk pelan jidatnya saat teringat bahwa tujuannya sekarang adalah membeli makanan untuk istri nya yang pasti sudah menunggunya, kenapa dirinya malah mengobrol dengan perawat itu. "Sorry, gua duluan." Setelah mengucapkan itu Fares langsung pergi begitu saja. Mika melihat Fares yang berlalu begitu saja tanpa menjawab pertanyaan hanya mendesah pelan lalu kembali melanjutkan aktivitas nya yang sempat tertunda padahal dirinya sedang buru-buru tapi karna Fares dirinya lupa dan malah asik ngobrol. Sampai parkiran rumah sakit Fares langsung menghidupkan motornya dan pergi mencari rumah makan padang yang lumayan dekat dengan rumah sakit. Saat diperjalanan entah kenapa Fares tiba-tiba teringat wajah perawat tadi, seperti tidak asing dan pernah dirinya lihat tapi bukan dari kejadian malam itu. Apakah Fares pernah mengenal nya sebelumnya? Tapi siapa. Fares menggeleng pelan untuk apa dirinya mengingat siapa perawat itu, lagipula tidak penting juga. "Persetan, lah." Gumam nya tanpa suara. ***** Sore ini Fares kedatangan seseorang yang datang menjenguk bayi nya, Fares menyambut uluran tangan itu seraya tersenyum. "Gimana kabar lo?" Tanya Fares pada orang yang sudah cukup lama tidak dirinya lihat batang hidungnya. "Ya, gini-gini aja lah.... Kaget gua pas baru turun dari pesawat dapet kabar kalo anak Lo sakit sampe masuk rumah sakit, mangkanya gua langsung buru-buru kesini." Balas orang itu. "Salah gua, gua ceroboh." Orang itu menepuk bahu Fares dan tersenyum jenaka. "Gak perlu nyalahin diri, cukup jadiin pelajaran aja buat kedepannya." Ucap orang itu terdengar bijak ditelinga Fares. "Lo abis kuliah di luar negeri jadi beda banget ya sama dulu." Ujar Fares. Orang itu tertawa. "Beda nya makin ganteng kan?" Tanya nya lalu tertawa dengan pede nya membuat Fares tersenyum masam. "Eh ngomong-ngomong istri imut Lo mana?" "Lagi makan didalem tadi gua abis dari luar, niatnya juga gua mau makan cuman lu telpon." Jawab Fares menunjuk pintu ruangan di samping mereka dengan dagu nya. Jino, orang itu kembali tertawa. "Berarti gua ganggu doang ya." Fares mengangguk jujur. Laki-laki itu memang tidak pernah berubah selalu priang dan murah senyum, walaupun terkadang sikapnya centil tapi entah kenapa sejak memutuskan untuk pergi kuliah ke Jerman Jino terlihat semakin dewasa. Keduanya terdiam untuk beberapa saat, hingga Jino kembali mengeluarkan suaranya. "Oh iya, Res, sebenernya tujuan gua kesini bukan cuman mau jenguk anak lo." Fares menaikkan satu alisnya, menunggu Jino kembali melanjutkan ucapannya. Jino mengeluarkan sesuatu dari dompetnya berupa kartu serta selembar kertas kecil dengan beberapa tulisan kemudian memberikannya kepada Fares. "Gua mau kembaliin semua uang yang gua pinjem dari lo." Ucapnya. "Lo pegang dulu aja buat Lo disana, gua belum kekurangan uang." Tolak Fares. "Gak perlu, lagipula gua udah ada kerja sampingan disana lumayan lah gaji nya." Ujar Jino seraya menarik turun kan alisnya. "Apa perlu gua kasihnya ke istri lo?" Lanjut nya membuat Fares langsung menerima kartu dan kerta itu. Jino tersenyum, melirik jam tangannya lalu menghela nafas. "Cepet juga ya waktu disini.... Hm, gua harus cabut nih, thanks ya, Cepet sembuh buat anak Lo." "Lo tinggal dimana buat sementara?" Tanya Fares membuat Jino tersenyum kecut. "Hotel banyak kali, gua masih mampu bayar." Jawab nya, Fares tertawa pelan mendengar jawaban Jino yang sewot. Perlu kalian ketahui setahun yang lalu setelah beberapa bulan kelulusan Jino dan keluarganya mengalami musibah dimana keluarga Jino bangkrut karna Papah nya terjebak korupsi dengan nilai yang besar hingga mengakibatkan seluruh aset yang dimiliki keluarganya disita tanpa sisa. Mamah Jino yang syok berat dengan apa yang menimpa mereka meninggal karna terkena serangan jantung setelah dirawat beberapa hari dirumah sakit, sedangkan Papahnya tervonis hukuman penjara selama empat tahun. Jino yang memang anak satu-satunya dan tidak memiliki saudara dekat memutuskan untuk pergi keluar negeri dan tinggal disana sekalian melanjutkan pendidikannya. Sebenarnya banyak sahabat nya yang rela membantu, tapi Jino tolak karna tidak ingin merepotkan orang lain ditambah dirinya sedikit merasa malu karna Papahnya tervonis korupsi. "Yaudah, ya, gua cabut dulu. Titip salam buat istri lo dari Abang tampan Jino." Ucap Jino menepuk bahu Fares lalu pergi dari sana sambil menarik koper yang dibawanya. Setelah Jino benar-benar menghilang dari pandangannya Fares masuk kedalam ruangan dan mendapati istrinya yang sedang duduk diam melihat kearah luar jendela yang menampakkan langit yang cerah. "Kenapa?" Tanya Fares menyentuh pelan bahu Firna agar tidak kaget. Firna mendongak menatap suaminya dan menggeleng pelan. "Gapapa, aku cuman nenangin hati aku aja, entah kenapa tiba-tiba ngerasa gak enak dan ada yang ngeganjel." Terang Firna. Fares berjongkok dihadapan Firna Yang yang sedang duduk, menggenggam kedua tangan lentik itu lalu mengecupnya. "Jangan terlalu banyak pikiran, Na. Gak baik." Ucap Fares menatap wajah Firna yang sedikit murung. "Lo mikirin Dino?" Firna diam. "Dokter udah bilang kondisi Dino bakalan baik-baik aja, jangan terlalu dipikirin semua bakal baik-baik aja, gua gak mau Lo banyak pikiran terus sakit." Lanjutnya. Firna menunduk dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Maafin aku." Fares tersenyum tipis membelai lembut pipi Firna. "Mau coklat?" Tanya Fares menawarkan karna memang biasanya jika kondisi seperti ini Fares akan selalu memberikan coklat ataupun makanan manis lainnya untuk mengembalikan mood Firna. "Mau." ***** Fares mengerjabkan matanya yang semula terpejam saat mendengar suara deringan telpon yang lumayan nyaring diruangan yang hening itu, melihat nama yang menelpon nya alis Fares mengkerut saat melirik jam yang menunjukkan pukul setengah lima pagi, kenapa pihak rumah sakit menelponnya pagi-pagi buta begini, Fares segera mengangkat nya. "Hallo?" Mendengar suara dari sambungan telepon itu sejenak nafas Fares tercekat seperti berhenti bernafas untuk beberapa saat, detak jantung nya mulai berdetak tak karuan dengan cepat didalam sana. Fares melihat kearah istri nya yang masih lelap tidur lalu segera bangun dan berlari keluar ruangan itu tanpa mematikan sambungan teleponnya. Langkah kaki Fares membawanya berlari memasuki sebuah ruangan yang disana sudah ada seorang dokter dan beberapa perawat yang berdiri mengelilingi bayi nya yang terlihat sangat bucat seperti tidak ada kehidupan. Mulut Fares bungkam tidak bisa mengeluarkan kata-kata nya, dirinya belum mendengar apapun dari dokter tapi entah kenapa dirinya sudah tau apa yang akan dokter itu sampaikan kepada dirinya, mulutnya ingin berbicara tapi bibirnya bungkam seperti mati rasa. Tatapan Dokter itu tampak penuh dengan penyesalan walaupun Fares tidak bisa melihat seluruh wajahnya karena tertutupi masker. Kaki Fares melangkah pelan untuk lebih mendekat melihat anaknya, matanya memanas dan dipenuhi kunang-kunang yang menghalangi pandangan nya. Tangannya terulur pelan menyentuh badan anaknya dengan gemetar lalu menggoyangkannya pelan. "I-ini?" Fares bingung untuk berbicara apa, matanya menatap kosong dokter itu. Fares mundur beberapa langkah, menutup setengah muka nya lalu ambruk ke lantai membuat dokter dan perawat disana kaget. "Maafkan kami, karna keterlambatan dan kelalaian kami dalam menangani bayi anda tidak dapat---" Fares mengangkat tangannya sebelum dokter itu menyelesaikan ucapannya. Fares menarik nafas sebanyak mungkin, menahannya lalu mengeluarkannya perlahan. Dadanya berdenyut sakit, entah apa yang harus dirinya katakan pada Firna nanti saat bangun dan menanyakan bayi nya. "Tolong urus pemakamannya dan sebisa mungkin kabar ini jangan sampai terdengar ke telinga istri saya, biarkan nanti saya yang akan memberitahukannya sendiri." Ucap Fares. Dokter itu memberikan isyarat agar para perawat itu keluar dan mulai mengurus permintaan yang Fares ucapkan. Kini hanya dokter dan Fares yang terduduk lemah diruangan itu. Dokter itu mendekat pada Fares lalu menundukan sedikit badannya. "Sekali lagi saya minta maaf, sebagai seorang dokter saya merasa gagal namun takdir dan kematian bukan ditangan saya." Ucap Dokter itu penuh sesal. Fares diam membisu, dirinya tidak menyalahkan dokter itu terlebih lagi apa yang diucapkan nya memang benar, takdir sudah ada yang mengatur jadi apa yang harus dikehendaki? Mau seberjuang apapun dokter untuk mempertahankan nyawa anaknya jika memang sudah takdirnya dokter itu bisa apa? Dia bukan tuhan yang bisa membulak balikan keadaan. To be continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD