The Bar

1136 Words
Kekuasaan adalah kekuasaan. Ia dapat direbut dengan uang, kekerasan, atau pengetahuan. Intinya, kekuasaan didapatkan untuk menundukkan orang, mengontrol perilaku, tabiat bahkan pikiran mereka agar mengikuti apapun yang kita mau. Penguasa adalah orang yang mampu melakukan segala apapun yang ia mau tanpa perlawanan. Dunia harus dijalankan dengan sebuah keseimbangan yang walau tak mutlak namun tetap ada. Kebaikan dan kejahatan harus berjalan selaras. Ada hitam, maka putih diperlukan. Ada kebohongan maka ada pula kejujuran. Sayangnya, keseimbangan itu tidak selalu berarti selalu ada dua hal yang bertentangan dan setiap orang harus mengambil salah satu posisi tersebut dengan tegas, saklek, atau kaku. Selalu saja ada sisi yang tak terdefinisikan dengan baik atau buruk, bebas atau terkekang, hitam atau putih. Posisi ini adalah posisi abu-abu. Ketika seseorang tidak bisa dikatakan jahat, belum tentu orang tersebut mengambil posisi baik pula. Kelemahan selalu menyertai dirinya. Ada kelompok-kelompok masyarakat yang berusaha melakukan hal-hal yang baik dalam hidupnya, namun satu dan lain hal memaksanya untuk mengambil tindakan di luar sistem dan aturan yang ada. Inilah jalan takdir para anggota mafia, organized crime, yang berjalan di atas hukum, atau bahkan di bawahnya, atau bersama hukum namun dengan melipir dan tak tegas. Semua mereka lakukan karena mereka tak percaya dengan sistem kekuasaan yang ada, sehingga mereka berusaha menjadi sistem dan kekuasaan itu sendiri. Mereka mencoba untuk survive, dimana di sisi lain, menunjukkan bahwa mereka mampu menjatuhkan aturan yang selama ini membuat mereka tak percaya, ragu dan diruntuk rasa takut. Mereka lah yang akan menjadi rasa takut itu sendiri. Hujan yang jatuh seharian telah reda. Sebuah gang sempit yang terdapat diantara dua kompleks bangunan tersebut diterangi lampu temaram yang berkedap-kedip dan kadang padam untuk beberapa detik dengan bunyi seperti lebah yang sedang menyengat. Jalannya yang terdiri dari susunan paving block gelap yang sudah tidak rata itu menyimpan genangan air di sana-sini. Bau lembab bercampur alkohol dan asap rokok yag kental mengambang di udara. Satu bangunan empat lantai dengan neon board berwarna merah dan biru bertuliskan closed menyala sedikit lebih terang dari lampu pijar gang yang berkedip-kedip mati hidup. Pintu kayu tebal berteralis baja dibuka oleh sebuah lengan kekar. Orang yang membuka pintu dari luar itu mengenakan kaos oblong berlengan pendek putih kusam dengan suspender dicatutkan di pinggang celana panjang woven fabric bermotif kotak-kotak hitam putih nya yang juga kusam. Wajah pria tersebut terlalu sangar dan bengis untuk seorang laki-laki biasa. Ditambah pula dengan tatapan mata tajam di bawah tulang keningnya yang keras. Wajahnya dihiasi cambang dan kumis yang lebat yang semakin menambah kesan gahar. Rambut pendeknya yang tidak beraturan ditutupi 50s cap gelap bercorak garis-garis. Yang paling menonjol dari laki-laki ini adalah tubuh raksasanya. Otot yang menghiasi lengan dan dadanya memyembul berontak dari kaos oblong putih kusamnya. Walau tingginya melebihi rata-rata pria normal, ia tidak terlihat tambun apalagi kendor. Sebaliknya, gerakannya terlihat sangat gesit. Pria bertubuh raksasa ini dikenal dengan nama Bratasena. Di dalam ruangan lantai satu yang ternyata adalah sebuah bar itu, telah menunggu beberapa orang. Bar sedang ditutup malam ini. Kursi-kursi telah disusun rapi di pojok-pojok ruangan dan disisakan hanya untuk mereka yang sedang berkumpul di tempat tersebut. Bir dan beragam minuman beralkohol lainnya menumpuk di meja bar. Dua perempuan, Madame Kunthi dan Lady Drupadi, duduk dengan anggun agak sedikit jauh dari empat pria lainnya. Semua memang sedang menunggu Bratasena yang terakhir datang dalam sebuah family briefing malam itu. Si kembar Pinten dan Tangsen duduk bersebelahan, berpakaian persis identik sama seperti rupa mereka: kemeja putih bergaris-garis biru dengan dasi hitam yang ditutupi jas hitam pula, celana panjang diatas pinggul dengan sepasang sepatu saddle oxford krem dan coklat. Pinten memainkan topi derby abu-abunya, sedangkan Tangsen tetap memasang derby coklatnya miring di kepalanya, sedangkan tangan kirinya melempar-lemparkan combat knife 8 inci nya yang bergagang gading. Diluar kemiripan mereka yang luar biasa, perbedaan secara fisik, selain selera warna derby yang mereka kenakan, adalah selera pisau yang mereka miliki. Pinten lebih tertarik pada pisau combat atau fighting knife dengan panjang 8 inci, sedangkan Tangsen lebih kesengsem dengan Bowie knife yang lebar dan panjang, yang panjangnya bisa mencapai 12 sampai 18 inci. Kedua saudara kembar kidal tersebut sangat mumpuni memainkan pisau. Tidak jauh dari Pinten dan Tangsen, duduk melipatkan kakinya dengan santai dan gaya flamboyan, seorang pria yang memiliki rupa yang luar biasa tampan. Saking tampannya, sepertinya mustahil wajah semacam itu ada di dunia nyata. Ada kesan feminin dan maskulin sekaligus. Kedua matanya indah simetris, dalam sekaligus teduh. Bibirnya seperti selalu menyunggingkan senyum meski pada dasarnya ia tak sedang berkespresi. Rambut bergaya clean cut berminyak dengan rapi disisir ke belakang menempel di kepalanya yang berbentuk sempurna. Gaya parlente jas biru terang dan jam Vulcain President menyembunyikan dua pistol di shoulder holster di baliknya. Celana panjang diatas pinggulnya yang bermotif garis-garis hitam biru terang dan sepasang sepatu wingtip hitam putih semakin menambah kesan menawannya. Ia dikenal dengan nama Permadi. Sang playboy dengan tubuh ramping namun juga bertenaga yang juga merupakan seorang penembak jitu, salah satu yang terbaik di dalam dunia kekerasan dan mafia. Kemampuannya yang satu itu bahkan melebihi siapapun di Kepolisian dan Ketentaraan, Ia memiliki senjata andalan sepasang Ruger Pistol 22 Automatic yang masing-masing ia beri nama Gandiwa dan Pasupati. Di pusat ruangan, duduk di kursi yang cenderung terlihat sebagai sebuah singgasana, laki-laki terakhir dengan baju serba putih, termasuk topi panama yang ia letakkan di atas meja bundar kecil di samping segelas martini cocktail dan sepasang sepatu white nubuck nya. Bahkan paras dan kulitnya juga terlihat putih pucat. Ia dikenal sebagai Samiaji, putra tertua keluarga dinasti bisnis Pendawa. Si raksasa Bratasena adalah adiknya, menyusul si playboy flamboyan Permadi dan si kembar Pinten dan Tangsen. Samiaji sendiri dikenal sebagai seorang pebisnis casino dan bar yang mumpuni. Di balik wajah dingin tanpa ekspresi itu, ternyata otaknya dipenuhi rencana, kebijakan, kesabaran yang hampir tanpa batas serta keuletan yang luar biasa. Semua keputusan dari keluarga Pendawa berasal darinya. Sang ibu, Madame Kunthi, sang istri, Lady Drupadi dan keempat adiknya selalu menuruti apapun yang ia katakan dan perintahkan. Ia lah penguasa dan pimpinan bisnis keluarga Pendawa yang sejati. Namun begitu, saat ini mereka sedang dirundung masa sulit dan kesialan. Beberapa waktu yang lalu, persaingan besar antar keluarga di dalam dinasti perusahaan raksasa Astina Enterprise yang telah tertanam lama diantara mereka akhirnya meledak dan membuat pihak Pendawa terusir. Astina Enterprise, perusahaan yang dibangun mendiang ayah mereka, Master Pandu Dewanata atau dikenal juga dengan julukannya Master Gandawakstra, dengan keringat dan darah. Kelicikan Harya Suman alias Sengkuni, paman jauh mereka, membuat sepupu mereka, Suyudana dan ke sembilan puluh sembilan adiknya menguasai lebih dari separuh Astina Enterprise dan mengusir kelima Pendawa ke Wanamarta town, seperempat dari hak mereka. Kemampuan mengatur casino ternyata dikalahkan oleh sifat naif Samiaji sendiri dan kelicikan Harya Suman. Samiaji menerima pembagian kerajaan bisnis yang tidak seimbang ini. Sebesar apapun kekesalan dan amarah Bratasena terhadap big brother nya ini dan kesedihan meluap-luap anggota keluarga yang lain tetap harus padam menerima semua keputusan sang pemimpin dinasti keluarga ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD