Olive menepati perkataannya kemarin. Sore hari ini dia datang lagi ke toko hewan piaraan yang selalu didatanginya setiap pulang dari kampus, dan kali ini dia harus bisa melihat anak-anak kelinci lucu itu. Tak peduli siapa pun yang akan menghalangi, dia.tetap akan melihatnya. Seperti biasa, sebelum pergi ke kampus tadi, dia sudah meminta izin untuk mampir ke toko hewan piaraan setelah pulang kuliah, dan seperti biasa Tante Sophia yang baik hati selalu memberinya izin. Asal dia tidak terlambat pulang, atau jika memang terlambat dia harus memberi kabar dengan menelepon, jika tidak bisa minimal mengirim pesan.
"Kirain nggak datang tadi, Liv."
Kak Nina, yang sore ini kena bagian jaga kasir lagi, menyapanya. Olive tersenyum lebar menghampirinya, meletakkan tas selempangnya di loker tempat penitipan barang yang berada di belakang meja kasir yang dijaga Nina. "Kampus baru keluar, Kak." Olive memberi alasan.
"Dari kampus langsung ke sini tadi?" tanya Nina. Dia sangat menyukai Olivia, kehadirannya di toko selalu membuat ceria suasana.
Olive mengangguk membenarkan. Setelah kuliah selesai, dia langsung tancap gas ke sini, takut tidak keburu melihat anak-anak kelinci itu. Bagaimana jika ada yang membeli semuanya sebelum dia sempat melihatnya? Bisa-bisa dia akan mati karena penasaran. Dari semua hal, dia paling lemah pada sesuatu yang membuat penasaran. Jangan memberikannya teka-teki atau pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya jika tak ingin melihatnya memiliki kantung mata keesokan hari.
"Anak kelincinya masih ada, 'kan, Kak?" tanya Olive was-was. Dahi putihnya berkerut menunggu jawaban Nina yang sedang merapikan laci penyimpanan uang. Kotak kecil di bawah meja itu sedikit berantakan setelah Kak Nina memberikan kembalian seorang bocah berusia enam tahun yang membeli makanan untuk ikan peliharaannya.
Nina mengangguk setelah menyelesaikan pekerjaannya. Dia mengangkat kepala, menatap Olive yang berdiri di depannya dengan kedua tangan bertumpu pada meja kasir menopang dagunya. "Masih ada, kok, Liv," katanya tersenyum. "Masih belum ada yang beli, kayaknya Bu Laras nungguin kamu liat dulu baru ditaruh di etalase." Dia terkekeh.
Olive tersenyum lebar. Bu Laras adalah pemilik toko hewan peliharaan ini. Beliau sangat baik, selalu memberikannya tip di akhir bulan bersamaan dengan para karyawannya menerima gaji. Beberapa kali juga Bu Laras menawarinya untuk bekerja sambilan di sini. tapi Olive menolaknya, dia takut tidak bisa profesional dengan tidak datang tepat waktu. Jam pulang kampus yang tidak menentu membuatnya takut hanya akan menyusahkan karyawan toko yang lainnya saja.
"Beneran, Kak?" tanya Olive tak percaya. Mata bulatnya yang berwarna cokelat terang melebar dengan alis lebat yang terangkat.
Nina memutar bola mata jengah. Tak mudah memang meyakinkan seorang Olivia Angeline, kecuali melihat buktinya. "Tengok aja ke dalam kalo nggak percaya!" Dia menunjuk sebuah pintu yang tidak tertutup, pintu yang menghubungkan bagian dalam dan luar toko.
Olive meringis. "Ya, udah, deh, aku ke dalam dulu, Kak!" pamitnya tersenyum lebar.
Nina mengangguk. "Hush, hush!" katanya bersamaan dengan gerakan tangannya yang mengibas mengusir Olive.
Gadis berusia sembilan belas tahun itu menjulurkan lidahnya membalas Nina, sebelum berlari kecil melewati pintu. Suara tawanya masih terdengar, semakin lama semakin samar, lalu menghilang karena memang Olive sudah tidak tertawa lagi. Anak-anak kelinci itu pasti memukaunya. Sudah bukan rahasia lagi jika Olive menyukai kelinci, tapi dia tak pernah mau memeliharanya secara pribadi. Katanya tak ingin menyusahkan keluarga Tante dan Om yang sudah menampung dan merawatnya sejak dia masih kecil.
Beberapa detik atensi Nina masih tertuju pada pintu yang terbuka lebar. Di dalam tampak lebih gelap jika dilihat dari tempatnya sekarang, di belakang meja kasir. Beberapa karyawan lain bolak-balik keluar masuk pintu untuk mengambil barang-barang yang diperlukan di setiap etalase yang mereka jaga, atau mengambil barang yang tidak tersedia di etalase, tapi tersedia di belakang. Atensi Nina teralihkan ketika mendengar lonceng yang terpasang tepat di belakang pintu masuk toko, berbunyi. Ada pelanggan yang memasuki toko. Nina memasang senyum terbaiknya yang kemudian mengambang setelah melihat siapa yang datang. Alvin Adelard Bastian.
Beruntung dia masih berjaga di belakang meja kasir sehingga tidak perlu berinteraksi dengan seorang Alvin yang dinginnya melebihi kutub selatan. Kecuali hari ini Alvin mendapatkan kandang pesanannya maka mereka akan sedikit berinteraksi saat pria itu membayar.
Lagi, Nina merasa beruntung karena Alvin langsung menuju ke bagian dalam toko. Sepertinya dia sudah membuat janji dengan Bu Laras atau salah satu karyawan di sini sehingga langsung masuk begitu saja tanpa seorang pun karyawan yang menemaninya. Alvin memang bukan orang baru, pria itu adalah pelanggan tetap toko hewan peliharaan mereka. Alvin selalu membeli semua keperluan kucingnya di toko ini, mulai dari makanan sampai perawatan untuk si kucing. Selainmenjual hewan peliharaan dan semua kebutuhan mereka, toko ini juga menyediakan jasa perawatan dan penitipan hewan peliharaan. Ada salon kecil di sebelah toko dengan karyawan yang berbeda dari toko ini, khusus untuk para hewan peliharaan. Kedua tempat ini milik Bu Laras, bos paling baik sedunia.
Nina mengembuskan napas lega, Alvin tak lagi terlihat. Pria itu sudah berada di bagian dalam toko, memeriksa kandang pesanannya yang mungkin sudah datang. Atensi Nina kembali teralihkan saat seorang gadis remaja bersama seorang mamanya datang menghampirinya. Mereka akan membayar seekor anak kucing jenis Angora yang memiliki bulu seputih kapas, juga peralatan dan semua keperluan si kucing sultan.
***
Bagian dalam toko lebih luas dua kali lipat dari bagian luar yang hanya merupakan tempat pajangan dan etalase. Untung pelanggan yang ingin memilih jenis hewan peliharaan lain, mereka akan memilihnya di bagian dalam toko. Bu Laras sengaja menempatkan semua hewan piaraan yang dijualnya di bagian dalam toko agar mereka bisa bergerak dengan lebih bebas.
Tiga ekor anak kelinci berjenis English Lop terlihat sangat menggemaskan di mata Olive. Gadis yang saat ini mencepol rambutnya tinggi-tinggi itu sudah sejak beberapa menit yang lalu berada di depan kandang tiga anak kelinci tersebut, tapi dia tak ingin beranjak, masih betah meskipun jarum jam terus bergulir ke kanan.
"Bawa pulang aja satu, Liv, atau ketiganya biar nanti nggak mewek pas dibeli orang."
Olive mengerucutkan bibir mendengar ocehan Aditya. Dari beberapa orang karyawan toko, memang Aditya yang sering menggodanya. Entah kenapa, yang pasti bukan karena Aditya menyukainya. Pria itu sudah menikah, dia sangat mencintai istrinya. Menurut gosip yang beredar, Aditya memiliki seorang adik perempuan yang jika masih hidup usianya sama dengannya. Mungkin itu alasannya kenapa Aditya sangat suka menggodanya, dia dianggap adik kecil oleh pria itu. Tak masalah baginya, dia justru senang. Okeh karena itu, tak pernah tersinggung sedikit pun dengan setiap kejahilannya.
"Kak Adit nggak lucu!" Olive mendengkus, membuang muka ke arah lain ketika Aditya lewat di sampingnya. Tak sengaja matanya menangkap wajah dingin itu. Wajah yang tidak bisa dilupakannya sampai tadi malam, sampai-sampai dia terlambat tidur. Untung tidak ada lingkaran hitam di sekitar matanya, jika tidak habislah dia dijahili Alena.
Beberapa lipatan menghiasi dahi putih Olive. Dia melebarkan mata, memastikan jika indra penglihatannya tidak bermasalah. Benarkah pria kutub selatan yang kemarin telah menabraknya yang berdiri di sana? Apa yang dilakukannya di depan kandang-kandang itu? Ada beberapa buah kandang berukuran besar, lengkap dengan segala macam fasilitas. Harga kandang itu lumayan mahal, seperti uang sakunya sebulan. Ah, mungkin saja pria itu ingin membelinya. Menurut Kak Nina, pria itu membutuhkan kandang untuk kucing peliharaannya. Sepertinya kandang-kandang itu adalah pesanan si pria kutub selatan.
Pria itu menoleh ke arah belakangnya, sepertinya dia merasa diawasi. Buru-buru Olive memalingkan wajahnya ke tempat lain, dia tak ingin kepergok tengah memandangi. Namun, dia telambat, sepasang obsidian itu menatapnya lekat. Hanya beberapa detik, itu pun sukses membuatnya merasa lemas dan tak bisa bernapas dengan normal. Udara bersih di sekitarnya seakan menipis, dihirup habis oleh pria bak patung es itu.
Olive mencoba kembali berkonsentrasi pada tiga anak kelinci lucu di depannya. Dia sangat ingin menyentuh telinganya yang jatuh itu, tapi sekuat tenaga menahannya. Bu Laras tak mengizinkan, katanya masih belum steril sepenuhnya. Pemeriksaan oleh dokter hewan akan berlangsung besok, oleh karena itu anak-anak kelinci baru tidak dipajang di etalase ruangan bagian depan toko. Bibir mungil Olive mengerucut kala mengingat apa yang dikatakan Bu Laras. Dia tak ingin anak-anak kelinci lucu itu dijual, tak ingin melihatnya berpindah tangan. Seandainya saja bisa, dia akan membelinya. Dengan cicil tentu saja karena dia tudak memiliki uang sebanyak itu untuk membeli tiga ekor anak kelinci sekaligus. Dia akan menyisihkan uang sakunya.
Sayangnya, dia tidak bisa membelinya. Kelinci membutuhkan perawatan yang lebih telaten daripada kucing atau anjing. Mereka lebih sensitif, lebih mudah terjangkit penyakit bila tidak dipelihara dengan baik. Meskipun yakin bisa memeliharanya, dia tetap tidak bisa memelihara mereka di rumah. Sampai saat ini, dia masih belum tahu apakah Tante Sophie menyukai binatang peliharaan atau tidak. Tidak ada satu pun hewan di rumahnya –bahkan nyamuk dan serangga lainnya– membuatnya berpikir jika Tante Sophie dan keluarganya tidak menyukai hewan-hewan lucu itu.
"Beli aja, Liv, jangan sampai keduluan sama Pak Alvin!"
Olive mendelik jengkel pada Kak Adit mendengar namanya disandingkan pria itu dengan nama si pria kutub selatan. Apa katanya tadi, benarkah pria kutub selatan ingin membeli anak-anak kelinci ini? Bibir Olive mengerucut, dia tidak teka jika anak-anak kelinci yang imut dan menggemaskan ini jatuh ke tangan pria es itu.
"Pak Alvin jadi beli anak kelincinya, 'kan, Pak?" Adit terus saja menggoda Olive. Ia sangat suka melihat wajahnya yang cemberut. Sangat menggemaskan di matanya, mengingatkannya pada almarhumah adiknya. Adela juga akan menggembungkan pipi jika kesal, persis seperti Olive. Usia mereka juga sama, hanya beda beberapa minggu saja. "Biarin aja Olive mewek karena ditinggal teman baru."
Olive melayangkan tatapan membunuh pada Aditya yang tertawa. "Kak Adit, ishh. Asli nyebelin banget!" Mata bulat itu membelalak lebar, berusaha menakuti Adit dan menghentikan tawanya. Namun, yang terjadi, tawa pria itu semakin keras saja. Tak hanya Kak Adit yang tertawa, beberapa karyawan toko yang bertugas di sini juga ikut tertawa. Bibir mungil Olive mencebik.
Kesal karena hampir semua orang mentertawakannya, termasuk Bu Laras, Olive meninggalkan tempat itu. Dengan wajah menekuk dia berdiri di samping Nina yang tengah sibuk menghitung belanjaan seorang remaja laki-laki yang membeli ikan hias. Di toko ini memang hanya ada satu meja kasir, dijaga secara bergantian. Kak Nina sepertinya kena giliran siang sehingga setiap sore bisa bertemu dengannya. Jika keadaan toko sedang ramai seperti akhir pekan atau hari libur lainnya, meja kasir akan ditambah. Namun, jam operasional toko tetap sama, selalu tutup pukul enam sore. Sekarang sudah pukul lima, berarti satu jam lagi toko akan tutup.
"Cantik banget, sih, mukanya ditekuk kayak gitu!" sindir Nina mencubit pipi Olive yang masih saja menggembung sejak beberapa menit yang lalu.
"Kak Adit nyebelin banget, Kak!" adu Olive pada Nina. Sebab sudah dekat dengan semua karyawan di sini, bahkan juga pemiliknya, Olive tak segan-segan mengadu. Tak hanya pada Nina yang lebih dekat dengannya, Olive juga sering mengadu pada Bu Laras jika dijahili. "Masa bilang Si Manusia Es mau beli anak-anak kelinci? 'Kan, Bu Laras bilang mereka masih belum steril, masih perlu diperiksa dokter lagi besok."
"Manusia es?" ulang Nina dengan sepasang alis berkerut. Siapa lagi itu? Olive terkadang suka memberikan Nana baru untuk setiap orang yang ditemuinya.
Olive mengangguk, bibirnya memamerkan senyum lebar.
"Siapa?"
Olive berdecak. "Itu, si Pak Alvin!" Dia mengerucutkan bibirnya menyebut nama pria itu.
Tawa Nina pecah seketika. "Astaga!" Bisa-bisanya Olive menyebut pria setampan Alvin dengan Manusia Es? Ada-ada saja. "Kayaknya bener, deh, Liv. 'Kan, mamanya Pak Alvin suka kelinci."
"What?" Olive memekik kaget. Mata bulatnya melebar sempurna, sepasang tangannya memegangi kepalanya yang bergerak ke kanan dan ke kiri. "Kak Nina pasti bercanda, 'kan?" tanyanya melihat tawa Nina yang tak berhenti. Matanya yang tadi membelalak sekarang memicing menatap Nina.
"Mana ada!" Nina menyangkal. Dia menggelengkan kepala, tangan memegangi perut yang sakit karena tertawa. "Kalo nggak percaya kamu tanya aja sama orangnya!" Nina menunjuk Alvin yang berjalan ke arah meja kasir, dengan memonyongkan bibirnya.
Olive yang mengerti segera memutar kepala ke arah yang ditunjuk Nina, kemudian kembali membuang muka melihat pria jelmaan dewa-dewa Yunani itu melangkah ke arah mereka. Dia tidak ingin bertatap muka dengannya secara langsung. Olive berbalik, mengambil tasnya yang disimpan di dalam loker bertuliskan namanya. Saking seringnya dia bermain ke toko ini dan membantu di toko, Bu Laras sampai menyediakan loker khusus untuknya menyimpan barang-barangnya selama di toko.
"Pulang dulu, Kak!" pamit Olive sambil menyeret kakinya menjauhi meja kasir. "Takut kejebak macet kayak kemaren!"
Tanpa menunggu Nina menjawab, Olive langsung membuka pintu, dan keluar dari toko. Melangkah ke arah tempat parkir roda dua yang sedikit lebih penuh sore ini. Ada beberapa pelanggan yang masih memilih hewan peliharaan yang ingin mereka beli. Olive memasang helm, menaiki motornya dan menyalakannya. Sekali, dua kali, bahkan berulang kali dia mencoba, motornya tetap tidak mau menyala. Olive gelagapan, tidak tahu harus minta tolong pada siapa karena dia tidak mengerti masalah permesinan.
Olive menggigit bibir, turun dari motor, dan memandanginya selana beberapa saat. Entah berapa lama, yang pasti dia terkejut setelah mendengar suara besar dan dalam bertanya padanya.
"Kamu kenapa? Apa ada yang salah sana motor kamu?"
Cepat Olive berbalik, dan rahangnya nyaris jatuh melihat siapa yang berdiri di belakangnya dan yang tadi bertanya. Si Manusia Kutub Selatan alias Alvin Adelard Bastian.