Bab 2. Harus Tahu Diri

1151 Words
Happy Reading. Yolla menatap pantulan tubuhnya di cermin besar yang berada di dalam kamar mandi itu. Tidak pernah terbayangkan jika hidupnya akan seperti ini. Hanya karena dia butuh uang untuk biaya operasi ibunya yang mengalami kecelakaan, dia harus rela menggadaikan keperawanannya untuk bosnya sendiri. Tawaran menggiurkan dari Richard saat itu tidak bisa dia tolak karena dia juga sangat membutuhkan uang. Yolla hanya bisa merendahkan dirinya dengan uang yang akan diterima setiap kali melayani atasannya itu di atas ranjang. Uang saat itu segalanya bagi Yolla hingga dia terperosoknya jatuh ke dalam permainan itu sendiri saat ini. "Kamu harus ingat, Yolla. Dilarang memakai memakai perasaan karena kita hanyalah partner bukan pasangan kekasih." "Iya, Pak. Tentu saja, saya juga tahu batasannya." "Kalau sedang bersamaku di atas ranjang seperti ini, panggil namaku." "Baiklah, Richard!" "Good, selanjutnya setiap kali kau melayaniku juga harus memanggil namaku." "Iya, Rich!" "Kau masih perawan?" "Hemm ... ya." "Tahan sedikit, ini pasti akan sakit. Tapi setelah itu pasti kamu ketagihan." Yolla memejamkan matanya mengingat awal percakapan itu. Dengan begitu mudahnya dia memberikan hal yang sangat berharga dalam hidupnya. Tetapi yang lebih dia sesali adalah perasaan memiliki yang ada dihatinya untuk Richard. Tidak seharusnya dia lancang memiliki perasaan ini pada Richard karena sejak awal Yolla tahu jika pria itu sudah memiliki tunangan yang dicintainya. Richard sudah mengatakan jika mereka itu hanya partner s*x dan tidak bisa menjadi pasangan yang sesungguhnya. "Kau hanya sebatas penghangat ranjang Richard Charles, Yolla. Posisimu tidak akan pernah bisa menduduki tahta di hatinya. Kau hanya sebatas sekretaris, kastamu di jauh di bawah sang putra mahkota," gumam Yolla kemudian memutuskan untuk mengguyur tubuhnya dengan air dingin. *** "Jadi, kapan kamu pindah ke apartemenmu sendiri? Ishika sudah dalam perjalanan ke Indonesia, aku harap sebelum dia datang, kamu sudah harus pindah." Suara Richard terdengar tenang, menyelip di antara suara gemericik air di kamar mandi. Yolla yang sudah memakai pakaiannya hanya menatap kosong ke arah pintu kamar mandi yang sedikit terbuka, membiarkan hawa dingin mengisi celah yang tak tertutup rapat. Yolla menghela napas panjang. Ini bukan pertama kalinya Richard mengisyaratkan bahwa mereka perlu batasan yang lebih jelas. Mereka memang bukan sepasang kekasih, hanya teman ranjang yang saling memuaskan keinginan tubuh tanpa melibatkan hati, tetapi dengan bayaran yang setimpal untuk Yolla, setidaknya itu yang selalu diungkapkan Richard. Akan tetapi entah sejak kapan, Yolla mulai merasa ada sesuatu yang lebih. Sebuah kehangatan yang ia harap lebih dari sekadar fisik. Namun, kata-kata Richard barusan mengiris tipis harapannya, membuatnya sadar bahwa mungkin semua itu hanya ilusinya belaka. "Ya, aku akan pindah sekarang juga," jawab Yolla akhirnya, berusaha terdengar tak peduli. Tangannya gemetar, meski ia mencoba menyembunyikan rasa itu dengan merapikan selimut yang berantakan di atas tempat tidur. "Baik," jawab Richard dari dalam kamar mandi, suaranya tenggelam oleh semburan air yang semakin deras. Sudah menjadi kebiasaan Richard yang tidak menutup sepenuhnya pintu kamar mandi saat membersihkan dirinya. Membuat Yolla bisa melihat tubuh indah Richard dari luar pintu. Yolla berdiri, mengalihkan perhatian dari detak jantungnya yang terasa berdentum kencang itu. Dia menuju lemari di sudut kamar, menarik keluar pakaian yang terselip di sana, satu dari sekian banyak barang pribadinya yang telah menumpuk selama 10 bulan terakhir. Sepuluh bulan yang dipenuhi malam-malam penuh gairah, pagi-pagi hangat dengan kopi yang diseduh berdua, serta keheningan yang sering kali terlalu lama saat percakapan mulai terasa terlalu akrab. Yolla mengemasi barang-barangnya yang bisa dia bawa, tidak bisa langsung semua karena masih ada sepatu, tas, dan baju-baju lainnya. Dia akan mengambilnya nanti sebelum Ishika kembali. Yolla mengangkat koper yang ada di pojok dan memasukkan baju-bajunya yang bisa dia bawa. Dia harus segera pergi dan tidak meninggalkan jejak apapun di tempat ini. "Sepuluh bulan tidak ada artinya bagi Richard, dia tetap setiap pada tunangannya itu dan mereka akan segera menikah, aku tahu posisiku dan aku berharap ini yang terakhir kalinya," batin Yolla. Dia mendengar pintu kamar mandi terbuka perlahan. Yolla tahu dia harus keluar dari ruangan ini sebelum Richard memutuskan untuk melanjutkan percakapan yang sudah pasti tidak ia inginkan. Segera setelah membereskan kopernya, Yolla mengambil tas kerjanya dan berjalan pelan menuju pintu. "Yolla ...." Dia tidak berbalik, tidak menjawab. Dengan langkah cepat, Yolla membuka pintu apartemen itu dan melangkah keluar. Tanpa pamit. Bukankah itu keinginan Richard? Ingin dia segera keluar dari apartemennya sebelum kekasihnya sampai. Di lorong, udara pagi yang dingin menyambutnya. Yolla menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang masih berdebar kencang. Di luar apartemen, suasana kota mulai hidup. Cahaya matahari perlahan merangkak naik, menyinari jalan-jalan yang mulai ramai oleh kendaraan dan orang-orang yang bergerak menuju tempat kerja masing-masing. Yolla langsung menuju mobilnya yang terparkir di basemant. Menyalakannya dan langsung tancap gas menuju kantornya tanpa berpikir panjang. Tidak ada jeda untuk memikirkan apa yang baru saja terjadi, seolah rutinitas ini bisa menutup rasa perih yang mulai muncul. *** Richard tidak melihat keberadaan Yolla, pria itu sudah mencari Yolla ke seluruh penjuru apartemen, tetapi Yolla tidak ada. Sepertinya Yolla sudah pergi karena tasnya juga sudah tidak ada di tempatnya. Pria itu hanya mendesah perlahan dan langsung mencari pakaian kerjanya di dalam lemari. Biasanya Yolla sudah menyiapkan semuanya, mulai dari setelan kemeja, dasi, jam tangan, hingga kaos kaki yang akan dipakainya. Semuanya Yolla yang menyiapkan. Sekarang wanita itu telah pergi tanpa mau menyiapkan apapun untuk Richard. "Ck, Yolla! Di mana kamu letakkan dasi hitam garis-garis putihnya!" seru Richard. Tidak ada sahutan sama sekali. Biasanya Yolla pasti selalu sigap dan berlari ke arahnya jika dia memanggil. Richard terkekeh, Yolla sudah pergi dan dia yang mengusirnya tadi. Lalu, apakah yang diharapkan Richard? Berharap jika Yolla masih di sana sementara dia tadi meminta Yolla untuk segera pindah dari apartemennya? "Haha, bukankah seharusnya seperti itu? Aku nggak mungkin membiarkan Yolla tetap tinggal di sini ketika Ishika kembali. Lalu kenapa aku berpikir untuk memarahinya karena tidak mau menyiapkan bajuku," gumam Richard. Akhirnya dia memilih dasi asal dan langsung memakainya. Richard melihat pantulan dirinya di depan cermin, kenapa rasanya penampilannya kurang bagus. Warna kemejanya tidak menyatu dengan dasinya. Ah, Richard ingat jika selama sepuluh bulan ini yang selalu meyiapkan apa pun untuknya adalah Yolla. Kini dia harus terbiasa kembali seperti dulu. Ishika telah kembali dan dia tidak akan mempertahankan hubungan gelapnya dengan Yolla. Richard tidak ingin Ishika tahu semuanya karena Richard tahu Ishika itu seperti apa orangnya. *** Yolla bekerja secara profesional, dia selalu kompeten dan tidak akan mencampurkan urusan pribadi dan pekerjaan. Begitupun dengan Richard, mereka benar-benar bekerja secara professional. Saat jam makan siang, Yolla memutuskan untuk makan di luar kantor bersama Jovan–asisten pribadi Richard. Jika biasanya Yolla akan makan siang bersama Richard, mulai sekarang dia akan membatasi dirinya. "Kenapa nggak makan bareng bos lagi?" tanya Jovan. Mereka sudah berada di restoran. "Lagi pengen makan sama kamu, kenapa? Kamu nggak suka makan bareng aku?" tanya Yolla dengan bibir yang mengerucut. "Suka banget, setiap hari juga mau," jawab Jovan tertawa kecil. Yolla tersenyum, dia tahu jika Jovan ini menyukainya sejak dulu, tetapi pria itu tidak mau menyatakannya. "Perasaan dan hati ini udah mentok sama Richard, gimana cara ngilanginnya," batin Yolla.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD