Chapter 3

2011 Words
Yue POV Vance pulang tengah malam sambil marah-marah seperti biasanya, malah berbau alkohol. Aneh, padahal jelas-jelas tadi siang dia sedang asik main serong. Walaupun aku masih tak tahu kenapa dapurnya hancur seperti itu, membuatku harus menghabiskan waktu dua jam hanya untuk berberes. Kalau begini situasinya, bagaimana aku bisa minta bayaran tambahan untuk pekerjaan membersihkan dapur menjijikkan itu? "Apa yang kau lakukan di sini! Ini sudah tengah malam, pergi tidur sana!" ketus Vance saat aku berjalan mendekatinya. Aku menatapnya datar, mengambil mantelnya seraya membantunya berjalan. "Aku menunggumu pulang," balasku, mendadak Vance berhenti marah-marah. Dia diam dan membiarkan aku memapahnya, sungguh aneh. Ia bahkan masih diam sampai ke dalam kamarnya, kamar tak manusiawi yang selalu membuatku tak nyaman saat berada di dalamnya. Ruangan berbahan keseluruhan kayu jati, lengkap dengan rak buku yang mengitari seluruh dinding kamar seluas sepuluh meter persegi itu, sebuah meja kerja panjang berisikan botol-botol kaca, alat aneh dan puluhan botol berisikan cairan mencurigakan. Di sudut lain juga ada meja berbentuk donat yang dipenuhi oleh puluhan perangkat komputer yang entah apa gunanya, tapi yang jelas menunjukkan betapa pekerja kerasnya Vance.  Salah satu sifat yang kusukai darinya, kalau saja di sudut lainnya lagi tak ada meja berbentuk segitiga yang dipenuhi oleh alat-alat untuk membuat senjata dan beberapa toples organ tubuh manusia yang diawetkan. Intinya, kamar Vance sama sekali tak seperti kamar, lebih seperti perpustakaan tua yang digunakan untuk riset orang gila. Selain sebuah kasur air bundar yang besarnya tak kira-kira itu, tak ada satu pun tanda-tanda dekorasi sebuah kamar tidur. Benar-benar ruangan yang mencerminkan kepribadian pemiliknya yang tak manusiawi, tapi baik hati karena tak pelit padaku. "Kenapa kau belum pergi!?" bentak Vance lagi, aku pun sadar. Lagi-lagi pria ini berhasil membuatku memikirkan ketidaknormalnya sampai-sampai lupa waktu. "Aku juga mau pergi, tapi melihat kamarmu membuatku memikirkanmu sampai lupa waktu." Dia bahkan sudah selesai mandi, sepertinya aku melamun terlalu lama. "Berhenti mengodaku sialan! Aku tak akan membayarmu kalau kau menuruti keinginan si jalang!" Hah? Apa maksudnya? "Memangnya kapan aku mengodamu, Tuan? Lagi pula kau itu kenapa selalu terluka sih?" "Diam! Berhenti mendekat dan mengatakan hal bodoh tentang menungguku atau memikirkanku hanya demi membuatku tertarik padamu!" "Aku tak memiliki niat apa pun padamu, aku hanya mengatakan apa yang kurasakan. Apa kau jadi tertarik padaku?" ejekku, menarik kakinya dan melihat sedalam apa luka itu.  Wajah Vance memerah, kemudian ia menghindari tatapanku, "Siapa bilang! Aku suka tubuh wanita dan d**a besar. Kau yang rata dan kerempeng itu bukan seleraku! Lagi pula aku bukan gay!" membalas ejekanku dengan sinis. Aku sih tak peduli, toh sejak awal dia memang bos yang aneh dan merepotkan. "Aku tahu," jawabku. Setelah itu kami saling diam, tak membicarakan apa pun selama aku mengantikan perbannya. Vance sendiri juga tak marah atau mengusirku seperti biasanya, malah dia pasrah begitu saja membiarkanku mengurusnya. Baguslah, dengan begitu aku bisa minta uang bonus. Setelah memastikan bosku yang sombong itu sudah nyaman di kasur airnya, aku menadahkan tangan meminta bayaran. "Ongkos mengurusmu dan bayaran tambahan membersihkan dapur yang sangat kotor," tagihku, lengkap dengan rincian tagihan. Vance melemparkan dompetnya padaku, membuatku begitu bahagia melihat deretan lembaran 500 Euro. "Ambil semua uang itu, sebagai gantinya kau tidur di sini," ucapnya cepat, nyaris tak terdengar tapi aku sangat yakin dengan apa yang kudengar. Aku langsung tersenyum lebar, mengambil semua uang itu dan mengembalikan dompet berisikan puluhan kartu debit dan foto Feyrin bersama dengan ibunya ke Vance. Kemudian naik ke atas kasurnya, berbaring di sampingnya. "Kau baik sekali, Tuan!" Aku bahkan memeluknya erat, terlalu bahagia diberi uang sebanyak itu. Sudah kukatakan bukan, kalau Vance itu baik hati? Apalagi sekarang, dia sangat sangat baik hati. Vance tak menjawab, dia malah mendadak kaku dalam pelukanku. Reflek aku sedikit menjauh, takut membuatnya marah dan mengambil kembali bayaran itu. Kan bosku itu sangat anti dengan gay dan sejenisnya. "Kau marah, Tuan Vance?" tanyaku sok peduli, benar-benar peduli dengan nasib uang yang akan dia berikan lebih tepatnya. "Tidak! Diamlah!" Ah, akhirnya dia membentakku juga, lega rasanya melihat Vance yang biasanya. "Syukurlah, aku takut kau marah padaku," dan kau tak akan mau membayarku lagi, sambungku dalam hati. Setelah itu kami saling diam lagi, membuatku kebingungan dan memutuskan untuk pura-pura tidur saja. Tak lama setelah aku menutup mata, aku bisa merasakannya, tangan Vance yang bergerak mengusap rambutku, memainkan dengan lembut. Sedangkan tangannya yang lain seenaknya menarikku ke dalam pelukannya, ada apa dengannya!? Dan ada apa denganku yang tak langsung membuka mata untuk menagih bayaran tambahan? Lalu sejak kapan pelukan seorang laki-laki bisa terasa begitu nyaman? ∞ Saat bangun pagi, Vance sudah tak ada di sampingku, dia ada di depan jendela yang terbuka. Duduk sambil melukis sesuatu di arah berlawanan denganku, membuatku penasaran dengan apa yang ia lukis. Aku pun bangun, berjalan mendekatinya dan mengucapkan salam dengan sopan, "Selamat pagi, Tuan, sedang melukis apa?" "Lihat sendiri," jawabnya, membiarkanku berdiri di belakangnya. Respon yang mencurigakan di mataku, mengingat betapa indahnya kalimat yang sering terlontar dari bibir b***t itu. Aku langsung terpesona melihat lukisannya, sebuah lukisan abstrak berwarna hitam dan putih, menunjukkan emosi yang amat kuat di dalamnya. Kebimbangan, ketakutan, kesepian, tekat yang kuat dan keputusasaan bercampur menjadi satu, tapi tak terlihat menyedihkan atau lemah, malah sebaliknya. Lukisan itu tampak kuat dan kharismatik bagai sebuah cermin yang menunjukkan diri Vance yang sebenarnya. "Indah, jadi tekat yang kuat itulah yang membuatmu bisa begitu kuat di antara semua emosi negatif itu?" komentarku.  "Bagaimana kau tahu?" "Tahu kalau apa yang kau lukisan itu dirimu sendiri? Aku juga tak mengerti, hanya saja saat melihatnya aku seperti melihat hatimu di sana," tunjukku pada permukaan kanvas itu. Vance membuang mukanya, "Siapa bilang, dasar sok tahu. Aku cuma asal coret-coret!" tak mau mengakui kalau kata-kata itu tepat. Benar-benar manusia merepotkan, padahal sebenarnya dia senang aku bisa memahaminya. Lihat saja senyuman kecil yang coba ia tutupi itu, dasar sombong. Denial pula, belum lagi gengsian, pemarah, kasar dan super sinisnya. Untung saja baik hati soal uang dan penuh perhatian dengan anak. Aku putuskan untuk meninggalkannya saja, daripada harus terjebak pada situasi canggung yang aneh. "Kalau begitu aku pergi menyiapkan sarapan untuk Rin dulu, kau juga mau makan, Tuan?" pamitku, sekalian bertanya apa maunya saat berjalan ke arah pintu. Tanganku langsung ditahan. "Rin tak akan datang hari ini, kau diam saja di sini." Aku bingung sungguh, sikapnya terlalu aneh. "Baiklah, tapi jujur saja, Tuan Vance, dari kemarin malam kau aneh. Apa kau sakit?" Terlalu seperti bukan Vance yang b***t, membuatku takut sekaligus tertarik di saat yang sama. "Tenggorokanku sakit," keluhnya, memeluk dengan posisi aku berdiri dan dia duduk, sementara kepalanya bersandar di perutku. Ternyata dia memang sakit, demam. Ini kesempatan bagus untuk menarik bayaran merawatnya. "Mana kulihat?" ujarku lembut, bersikap sebaik mungkin demi bonus yang besar. Kuangkat kepalanya, melihat bagaimana keadaannya. Vance menurut dengan patuh, membuka mulutnya saat aku suruh. Dia bahkan tak marahku pegang-pegang, malah semakin manja. Menjengkelkan jujur saja, tapi di sisi lain aku tak keberatan dengan semua sikapnya yang bikin merinding ini. Rasanya gimana ya, seperti rasa senang karena dibutuhkan oleh seseorang. Brak! "Hei bocah sialan! Mau sampai kapan kau menguntit anak si jalang! Tyler merindukanmu b******n!" Aku terkejut, tiba-tiba saja pintu kamar Vance dibuka dengan kasar, lengkap dengan cacian sinis dari seorang pria tua yang cantik? "Eh, Mommy?" itu suara Vance yang terdengar lemah dan serak, membuatku kebingungan. "Matamu rabun, Tuan? Jelas-jelas dia itu laki-laki, malah dipanggil mommy," timbalku, melirik kembali pria itu dan aku yakin dia itu laki-laki. Meski sisa-sisa kecantikannya tetap terlihat jelas bahkan di usia yang sudah tak muda lagi. Kelihatannya, Vance sama seenaknya seperti Feyrin dalam memanggil orang, ternyata keanehan itu hasil didikan Vance. Kupikir hasil didikan ibunya yang aneh itu. "HAHAHA... DENGAR ITU k*****t! PACARMU PUNYA MATA YANG BAGUS, AKU SUKA. AKHIRNYA HIDUPMU LURUS JUGA, HARUS NYA DARI DULU KAU MENGENALKAN BOTTY-MU PADAKU, BUKANNYA MAIN DENGAN PEREMPUAN JALANG TUA TERUS!" Aku tersentak kaget mendengar tawa mengejek dengan ekspresi wajah puas seolah-olah baru saja menghancurkan musuh bebuyutannya itu, perhatikanku seketika beralih padanya. "Maaf, kau siapa?" refleks aku bertanya, penasaran dengan pria yang kebejatannya setingkat dengan Vance. "Ayah dari k*****t sialan yang kau peluk itu!" jawabnya sambil menunjuk pada Vance, menyeringai keji pula. Merasa tak percaya, aku langsung beralih menatap Vance. Berniat bertanya, sebab tak mungkin ada orang tua yang bersikap seperti itu pada anaknya, meski anaknya juga b******n, tapi Vance malah pingsan, bukan karena dihina sepertinya. Mungkin karena luka dan demamnya yang kelewatan tinggi. Oke, sekarang aku kebingungan menahan tubuhnya, tak mungkin juga memindahkannya yang memiliki tubuh dua kali tubuhku. Minta bantuan pria yang mengaku ayahnya juga tak mungkin, karena tubuhnya sama mungilnya denganku. Walaupun dia masih sedikit lebih tinggi dariku sih.... "Ada apa?" Aku bahkan tak sadar pria itu sudah mendekatiku. "Vance pingsan," jawabku, terserahlah ayahnya atau bukan, yang jelas aku butuh bantuan sekarang. "Ck. Terlalu down tak bisa membalas kata-kataku rupanya. Dasar bocah payah!" cibirnya sinis, kemudian dengan mudahnya mengangkat tubuh Vance ke kasur. Digendong ala bridal style. Aku merasa kagum, refleks bertepuk tangan, "Wow! Kau kuat sekali!" memujinya antusias. Pria itu langsung tertawa terbahak-bahak, "Buahahaha... tentu saja!" menyombongkan dirinya sendiri dan melupakan Vance begitu saja. "Aku ini laki-laki sejati, kau pintar menilai orang. Aku suka, kau boleh jadi menantuku, siapa namamu? Sejak kapan berkencan dengan anak licik itu?" Malah mulai bertanya-tanya hal tak penting? Lagi pula masa anaknya sendiri dibilang licik? Malah memintaku jadi menantunya? Apa dia sungguh ayahnya? Tapi Vance memanggilnya mommy.... Aku makin bingung. "Aku ini laki-laki, Tuan. Walaupun tubuhku kecil, berwajah seperti perempuan dan berkulit putih. Jadi kurasa kau tak benar-benar ingin aku jadi menantumu." Ya sudah, aku ladeni saja. Pundakku malah ditepuk, pria itu tersenyum bahagia menatap langsung ke mataku. "Justru karena itu! Kalau ada kau di keluarga kami, si jalang tak akan mengejekku lagi. Buahahaha... Akhirnya ada laki-laki yang lebih pendek dan cantik dariku!" Benar-benar senyuman yang amat tulus dengan niat yang busuk. Sepertinya dia sudah sangat lama depresi sering disamakan dengan perempuan, sampai-sampai bisa menentukan nasib Vance begitu mudah. Yah, sedikit banyak aku mengerti perasaannya sih, rasa muak disamakan dengan perempuan cuma karena berwajah cantik dan bertubuh mungil. Berakhirlah kami bertukar pengalaman memuakkan karena memiliki fisik seperti ini, hingga akhirnya seorang pria tua bertubuh jangkung datang sambil mengendong Feyrin. "Kau sudah bertemu dengan Vance, Dean?" tanyanya ramah, tersenyum padaku saat tatapan kami bertemu. "Ah, kau pasti Yue, kan? Vella sudah menceritakan tentangmu padaku tadi." Menyapaku sama ramahnya dengan ia bersikap pada pria tua itu. "Bocah sia-Vance pingsan Tyler, sepertinya kecapekan." Dean langsung panik, sepertinya teringat akan Vance yang pingsan tadi. Mengucapkan kata-kata yang amat berbeda dengan tadi, begitu juga dengan ekspresi wajahnya yang mendadak tampak khawatir. "Benarkah? Tolong kau panggilkan Jouis kemari!" Pria yang ia panggil Tyler itu ikutan panik, segera menghampiri Vance. Benar-benar terlihat sejuta kali lebih tulus dan khawatir dari Dean. Kalau Tyler aku yakin pasti ayahnya, walaupun wajah mereka sama sekali tak mirip. Dean pun pergi ke rumah sebelah, lewat lorong yang menghubungkan dapur rumah Vance dan Vella. Lorong khusus yang Vance bangun agar Feyrin bisa kemari setiap saat tanpa harus keluar dari rumah. Diikuti oleh Feyrin yang terus saja menjerit memanggil Grannie Dea!? "Yue, bisa tolong ambilkan handuk dan sebaskom air?" pinta Tyler. Aku langsung pergi, tak menolak atau meminta bayaran. Rasanya tak tega saja memeras orang yang terlihat baik di antara orang-orang b***t. Nanti saja aku tagih bayarannya ke Vance setelah ia sembuh. Setelah selesai diperiksa oleh Jouis, tak lama Vance sadar. Ia langsung memeluk Tyler, bersikap manja tak sadar umur. "Daddy, tenggorokanku sakit. Daddy jangan pulang cepat-cepat ya, tinggal di sini saja." Bahunya langsung ditarik paksa oleh Dean, dilemparkan hingga Vance jatuh ke pangkuanku. "JANGAN MANJA KAU VANCE! LAKI-LAKI BUKAN HAH! CUMA DEMAM SEDIKIT SAJA JADI CENGENG! KALAU MAU MANJA SAMA YUE SAJA! JAUH-JAUH DARI TYLERKU!" Cuma karena dia cemburu? Jadi mereka pasangan? Sesama laki-laki? Jadi yang melahirkan Vance siapa!? Masa Tyler...? Aku shock. Saking shock-nya, aku bahkan tak peduli saat Dean dimarahi oleh Tyler karena bersikap kasar pada anak mereka yang masih sakit. Juga pada kelakuan Vance yang seenaknya menjadikan pahaku sebagai bantal, ditambah dengan ibu dan anak yang asik merekam dan memotret kami. Ibunya sibuk merekam perkelahian yang berakhir ciuman kedua orang tuanya, sedangkan anaknya sibuk memotret Vance yang bermanja padaku. Eh... atau bukan ya? Soalnya Vella panggil mereka auntie dan uncle, tapi bukankah mereka anak kembar? Membingungkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD