Tap Love untuk update selanjutnya....
MY BOY
Juna berjalan masuk dengan frustasi. Bener bener! Nanti Si Renata mikir apa tentang gue. Dia kira gue m***m lagi.
“Jun? Kamu kutuan?” Sekar heran karena anaknya itu garuk garuk rambut.
Juna malah nyengir,” Juna lagi gosok gosok kupon Mommy.”
“Mau Mama bantu gosok, pake peso daging misalnya?” tawaran Sekar terdengar mengerikan, ia dongkol karena jawaban Juna yang ngawur itu.
“Engga perlu Mommy, Juna masih pengen punya kepala. Kasian, kalo besok temen temen Juna liat Juna berangkat udah kaya hantu jeruk purut.” cengir Juna dengan ngeri.
Didikan Mommmy emang didikan psikopat. Juna kembali nyengir ke arah Sekar.
“Kenapa? Senyam senyum gitu, mau minta apa?!” Sekar menjauhkan diri, gelagat Juna yang tiba tiba berubah. Adalah aroma aroma tak sedap.
“Idih! Mommy negatif pikiran.”
“Negative thinking.” Sekar membenarkan perkataan Juna.
“Iya Iya, up to Momyy.”
“Emang, terserah Mama di rumah. Papa kamu aja tunduk ke Mama. Kamu mau tunduk sama siapa kalo bukan Mama?!”
Juna menelan ludahnya, ah elah. Mommy lagi marah marah atau gimana sih? Kasian Doddy, engga bisa dapet jatah kalo Mommy lagi PMS.
Juna tak jadi meminta, melihat Ibunya yang sedang menunjukan kekuasaan. Ia sadar. Kekuasaanya kurang di bandingkan Ibunya yang menguasai seluruh rumah, termasuk Ayahnya aja di kuasai. Gimana nasib kamu Juna.
“Mommy dulu, Doddy ngejar ngejar Mommy gimana ceritanya?”
Juna melepaskan dasinya dan memasukanya ke saku celana. Ia duduk di sofa dan menunggu jawaban ibunya. Sekar nampak menimang, tak biasanya Juna bertanya seperti ini.
“Dulu? Papa kamu ngejar ngejar Mama? Bentar Mama coba inget, ngejar yang ke berapa kali baru Mama terima.”
Sekar nampak menimang, ia ingat apa yang di lakukan Galang supaya cintanya di terima olehnya.
“Setelah Mama pikir pikir,” Sekar menggantungkan kalimatnya.
“Rahasia, kamu masih bocah. Jangan mikir kaya gitu.”
Sekar meninggalkan Juna yang sudah melongo. Ia ingin tau, bukan di PHP.
^^^
Makan malam tiba, Juna sudah turun dari kamarnya. Semedi setelah pulang sekolah ia akhiri dengan makan malam.
“Selamat makan, Mommy-nya Juna yang guanteng. Selamat makan, Doody-nya Juna yang ngondek.”
Juna menarik kursi, Sekar hanya mengangguk takzim. Sudah biasa kalau anak laki lakinya ini mabok balsem. Galang? Tidak terima! Kejantanannya di ragukan anaknya sendiri. Di bilang ngondek lagi.
“Kamu pikir kalo Papa kamu itu ngondek, kamu hasil nanem benih siapa?” Galang melotot ke anak lelakinya yang memang punya kelakuan super duper aneh ini.
“Juna? Bukannya Juna anak Mama goyangan Papa?”
Juna menghiraukan seruan tertahan Ayahnya. Sekar apa lagi.
Sejak kapan anak ini paham masalah goyangan, sejak kapan mereka jadi bahas nanem nanem benih gini. Gusti gusti. Sekar memohon. Supaya kesabarannya di tambah sediki lagi. Supaya tak jadi menggaruk kepala Juna dengan golok ataupun silet.
Makan malam itu selesai, makan malam di laksanakan kalau mereka sudah sholat isya berjamaah. Dan Juna, ugal ugalan begitu. Dia golongan taat beribadah. Alasannya cuman satu. Dia takut di sunat lagi.
“Kalo sampe Papa tau kamu bolong sholatnya. Papa engga tanggung tanggung, sunat kamu di atas MONAS! PAKE LASER!” itu adalah ancaman Galang setelah Juna pulang ke dokter sunat. Jalannya aja masih ngangkang nahan sakit. Galang sudah memberikan ancaman untuk anaknya yang sudah baligh itu.
“Burung perkutut. Jangan takut, gue bakalan rajin ibadah.”
Tangan Juna sudah gatal dengan hp di tangannya. Ia sudah mengirimkan berbagai pesan untuk Renata.
“Hem hem hem, di abaikan emang sakit. Apalagi di kasih harapan buat di tinggalin. Lebih sakit lagiIII ….”
Juna memandang Line untuk Renata. Tak ada satupun yang di balas oleh gadis itu.
“Ini pasti kurang gencer nih gue ngasih sinyal ke Renata.”
Juna pusing, memikirkan bagaimana supaya Renata menerima perasaanya yang tulus setulus kasih bunda. Juna masih berpikir dan terus berpikir.
^^^
Renata sedang merebahkan diri di atas kasur. Ponselnya sudah berdering sejak tadi. Alasannya hanya satu, pesan spam dari Juna.
Renata akhirnya membaca pesan pesan itu dari notifikasi yang muncul di layar.
*** Ren, kalo laper makan. Jangan bikin insta story kaya si Titin. Temen kelas gue ***
Pesan tidak bermutu itu Renata baca. Orang lain mah, ngasih perhatian. Udah makan belom? Ini ngasih perhatian sambil ngejelekin temen sendiri. Renata geleng geleng menyadari keajaiban Juna.
*** Darling, sholat isya itu wajib. Nah, kewajiban gue buat imam-in lo tunda aja dulu. Nunggu gue kencingnya lurus. Sama bisa lost control, engga pake tangan. ***
Lagi lagi pesan tak bermutu dari Juna itu membuat Renata semakin tak mengerti keajaiban apa yang ada di otak Juna.
“Kok ada manusia yang otaknya kaya alien gini sih,” Renata mendecak. Ada banyak spam chatt dari lima menit. Isinya engga ada yang penting. Merasa itu buang buang waktu, Renata menaruh ponsel itu menghilang dari hadapannya.
Kenapa gue jadi ambil pusing masalah ginian. Biarin aja dia spam chatt sampe ayam jantan di bantu bidan buat ngelairin. Sampe kecoa kentut bau mawar juga gue engga bakal bales chatt Juna.
Renata berniat mengabaikan pesan pesan Juna. Ia berniat sekolah. Untuk tujuan yang penting. Tak ada yang boleh mengganggu niatannya ini.
^^^
Pagi itu terasa sangat dingin. Juna sudah sangat kedinginan. Tapi ia terpaksa menahan hawa hawa untuk membolos.
“Baru berangkat kemaren masa udah ada pikiran bolos. Hah! Lemah!” bentak Juna pada sosok di cermin. Ia menunjukan jarinya ke arah sosok itu. Kemudian, sosok itu menunjuk balik.
“Jangan sok iye deh! Udah! Bolos aja udah! Balik lagi ke kasur sana! Rebahan!” sosok itu menghardik sambil memberikan bisikan setan.
“Jangan ganggu! Gue bakalan sekolah! Di sekolah udah ada malaikat.” Sosok itu mendebat perkataan sosok sebelumnya.
Gebrak! Suara pintu di gedor dengan sangat keras.
“Mama denger ya Jun! Jangan kelamaan ngobrol sama kaca! Buruan turun sarapan.”
Sekar kembali mengedor pintu. Sejak tadi ia mendengar Juna yang berdialog sendiri. Berasa drama kumbara.
Anak lelaki satu ini, hobby-nya kok ngobrol sama bayangan sendiri. Sekar menepuk kepalanya, entah didikan salah apa yang ia lakukan sampai Juna jadi seperti ini.
“Iya Mommy! Juna turun nih!” sahutan dari dalam itu akhirnya menenangkan Sekar.
“Nah kan! Kita emang harus berangkat ke sekolah. Bukan buat rebahan, tapi biar Mommy engga marah marah.” bayangan itu mengangguk menyetujui. Kemudian bayangan itu menjawab.
“Mommy kalau marah marah, sungutnya suka keluar.”
“JUNA!!!!!” Sekar berteriak berang,” Jangan ngobrol lagi.”
^^^
Juna sedang berdiri di barisan motor siswa SMA Garuda.
“Iya! Terus terus!!” Juna mengarahkan tangan kirinya memberikan aba aba.
“Juna!” Seto mengacungkan kaleng biskuit ke arah Juna.
“Tarik Set! Mengais rejeki pagi hari!” Juna mengusap peluhnya pagi ini. Tukang parkir dadakan. Dika sudah ada di gerbang sana. Anak SMA mereka banyak yang menggunakan motor. Tapi parkir sembarangan. Jadi mereka bertiga, berinisiatif. Untuk merapikan barisan motor motor itu, yak! Sambil mengais rejeki tentunya.
“Woi! Woi dek! Bayar dulu ….!” Seto berteriak pada anak perempuan yang ia yakin, anak kelas sepuluh.
“Ini, uang parkirnya Mas.” uluran uang lima ribuan itu mendarat ke tangan Juna. Seto melotot melihat pemandangan itu.
“Eh? Lo bayarnya ke kaleng biskuit itu.” tunjuk Juna ke arah Seto. Tapi tanganya dengan sinkron memasukan uang itu ke saku kemejanya. Dasar Juna.
“Engga mau, Kaka tukang parkir yang itu kurang ganteng. Engga kaya Bang Juna yang howet.”
Seto sudah mendekat ke arah motor adik kelas itu, ia ingin memerot bibir perempuan yang sudah mengatai-nya kurang ganteng.
“Woiy!” Seto mendekati motor itu.
Bremmm!!! Wajahnya malah kena asap knalpot.
“Aish! Sialan.” kutuk Seto pada adik kelas kurang asuhan k*******n itu. Mulutnya.
“Maklum Set, jaman sekarang ganteng aja engga cukup.” Juna terkekeh karena Seto bukan hanya di tolak oleh adik kelas. Tapi banyak.
“Mentang mentang lo yang paling banyak pens.”
“Bukan gitu Set!” Juna menarik uang di saku kemeja dan menaruh ke kaleng biskuit,” Itu berarti jeleknya lo udah engga bisa di toleransi.”
“Bangsul!”
u*****n Seto itu menutup hinaan pagi ini. Udah di hina adik kelas, Juna juga ikut menghina mukanya. Ampun gusti. Untung Seto insekyur. Mau gimana lagi, mereka bertiga. Juna, Seto dan Dika. Sudah di katai homo saking dekatnya.
“Geng! Lima menit lagi kita masuk nih. Ke kelas yuk!”
Ajakan Dika muncul dari gerbang sana dengan tas yang tercantel di bahunya.
“Bentar! Mau ngitung penghasilan dulu.” Juna sibuk menghitung uang hasil jerih payahnya.
“Iya, mau ngitung duid dulu. Buat bayar cicilan kompor emak di rumah.” Seto sudah menumpahkan uang receh dan kertas yang di dapat dari lapak tukang parkit pagi ini.
“Loh? Kalian di bayar?” Dika menatap Seto dan Juna yang asik mengantongi uang itu ke kantong seragam mereka.
“Loh? Dari tadi lo ngapain? Kirain kita markirin motor buat apa? Amal!” Seto berbicara dengan sewot sambil memasukan uang kertas ke saku celananya sedangkan yang receh ke saku kemejanya. Maklum, kalau yang receh di taruh di saku celana. Kalau Seto jalan, bunyi cek ecek cek ecek ecek.
Renata menatap ketiga cowok itu sejak tadi. Ia geleng geleng kepala. Awalnya ia bingung, kenapa anak anak mencium tangan. Eh ternyata mereka bayar jasa parkir Juna dan dua temannya.
“Kenapa ada makhluk se-aneh mereka di sini sih.” Renata hendak masuk ke dalam kelas. Sebentar lagi bel masuk berbunyi, dan Mika belum juga datang. Padahal Renata belum terlalu terbiasa dengan suasana kelas. Belum terlalu akrab dengan teman teman sekelasnya.
“Jangan gitu dong! Masa gue musti bayar parkir!” itu suara cempreng Mika yang bisa Renata dengar. Asalnya dari tempat parkir yang dekat dengan lapangan. Bentuk denah SMA Garuda itu persegi, dengan lapangan bola, lapangan voli dan lapangan upacara di tengahnya. Dan lahan parkir ada di sisi kanan gedung. Juga di sebelah lapangan.
“Engga bisa! Lo dateng telat. Nah loh, udah bel kan. Berarti lo bayar parkirnya goceng!”
Sejak tadi Dika ngotot agar Mika membayar uang parkir, karena ia iri.
Sengaja nih bocah berdua, mereka dapet duit. Gue? Yang teriak teriak ‘ Parkir di sana aja masih kosong, di sebelah udah penuh! ‘ ia di perintah seperti itu. Berteriak di depan gerbang agar banyak motor yang parkir di sini.
Gila gila! Gue di manfaatin!
“Eh! Dika! Gue bayar uang gedung, bayar uang sekolah, bayar bulanan, bayar buku paket! Enak aja lo main minta uang parkir.”
Mika sudah emosi, motornya di halangi oleh Dika. Kalau kemarin ia naik angkutan umum. Sekarang Ia membawa motor sendiri. Tapi sialnya, ada tukang palak.
“Mana gue tau Mik? Siapa tau lo bayar uang bulanan pake beras. Bukan pake duit. Tuker tambah, apa barter.” Dika terus ngeyel. Ia tak mau tau. Intinya ia harus dapet duit. Supaya kaya Juna dan Seto.
Dika melirik ke arah dua cecungut itu. Ia merasa sebal. Sejak tadi, saldo uang Juna dan Seto makin bertambah. Nah dia? Mika malah bukannya ngasih uang. Malah di omelin.
“Kenapa ribut ribut sih, Mika?” Renata sudah mendekati Mika yang berdiri di samping motornya. Tapi di hadang oleh Dika.
“Masa gue di palak tukang parkir.” sulut Mika. Dika melotot. Emang bener sih, masa gue mau ngaku jadi tukang cukur.
“Bayar berapa?” Renata hendak mengambil uang di saku kemejanya. Ia tak mau berlama lama di sini. Mau buru buru ke kelas.
“Goceng. Buat Renata, serebu aja udah engga apa apa. Abang Dika ikhlas.”
Dika nyengir puas saat Renata malah mengeluarkan uang sepuluh ribu dari sakunya.
Wuoohh!! Rejeki nampol. Dapet duit banyak dari bidadari.
“Nih, kembalinya sembilan ribu.” ujar Renata tanpa dosa.
Gubrakkkk!! Dika pengin semaput saking syoknya.