Kana masukkan alat-alat tulisnya yang berserakan di atas lantai koridor menuju kelasnya, ke dalam tas ranselnya dengan terburu-buru. Ini sudah kesekian kalinya dirinya dengan sengaja disenggol teman-teman yang tidak menyukainya.
"Haha. Gendut! Ambil noh buku-buku lu! Dasar gendut!" ejek Ryan, teman satu kelasnya. Tiga teman Ryan juga ikut menertawai Kana yang cemberut meraih alat-alat tulisnya.
"Liat noh bokongnya. Gedeeee. Hahaha. Kepala lu bisak masuk noh, Ryan!" ejek teman Ryan.
"Enak aja lu, Fino!" balas Ryan tidak senang. Mereka lalu berdebat.
Kana tidak ambil pusing, dia bergegas berjalan menuju kelasnya yang tidak jauh dari posisi jatunya.
Sudah biasa Kana Ranjani menghadapi ejekan dan hinaan dari teman-teman sekolahnya, terutama Ryan dan tiga sahabatnya. Kana tidak pernah mau membalasnya. Pernah dia ingin marah, yang ada malah ditertawakan teman-teman lainnya. Yang lebih menyebalkan Kana, penampakannya jauh berbeda dari kakaknya, Yuna. Kakaknya luar biasa cantik. Tubuhnya langsing, berkulit putih bersih, berhidung mancung dan berambut hitam berkilau. Kana sendiri jauh dari kata 'cantik'. Tubuhnya gendut, kulitnya gelap, rambutnya bergelombang tak rapih, hidungnya tak mancung. Kelebihan Kana adalah ukuran tubuhnya yang lumayan tinggi serta giginya yang bersih dan rapih. Senyumnya manis sekali. Tapi sayang, dia jarang tersenyum karena sering diejek dan dicacimaki.
Kana sebal karena kerap dibanding-bandingkan dengan kakaknya oleh keluarga dan kerabat dekatnya, bahkan guru-guru di sekolahnya. Dan Kana tentu tidak berdaya dengan sikap mereka dan dia hanya bisa mampu membiarkan.
"Kana. Ibu bisa minta tolong pindahkan kursi Ibu ke sebelah sana?"
Tiba-tiba suara seorang guru perempuan mengejutkan lamunan Kana. Kana menuruti perintahnya. Dengan cepat Kana pindahkan kursi guru tersebut di tempat yang diinginkan.
"Eh. Salah, Kana. Di situ aja," ujar guru itu kemudian. Kana lagi-lagi menurutinya. Dia pindahkan lagi kursi itu ke tempat semula.
Kana mendengus kesal. Guru tersebut tidak mengucapkan terima kasihnya.
Tampak Ryan dan murid-murid laki-laki lainnya tersenyum mengejek ke arahnya. Kana diam saja. Dia duduk manis di kursinya.
Kana yang malang. Karena tubuhnya yang gendut, tidak ada yang mau duduk dengannya. Apalagi sepatu dan tasnya yang dipakainya berharga murah dan tidak bermerek. Kana selalu duduk sendirian di kelasnya, tanpa ada teman di sampingnya seperti murid-murid yang lain.
"Ibu tuh nyuruh-nyuruh kamu, supaya berat badan kamu turun. Jadi nggak gendut kayak begini," ujar Tami, teman satu kelas Kana di SMP, yang duduk di depan Kana. Dia menegur Kana karena Kana cemberut setelah memindahkan kursi guru perempuan tersebut.
"Biar nggak keliatan males, Na," sela Reli, teman sebangku Tami.
Kana lagi-lagi diam tidak mau menanggapi celotehan teman-temannya sedari awal masuk sekolah pagi ini.
***
Seperti hari-hari biasa, Kana pulang dari sekolah ke rumah tanpa sambutan. Berbeda dari Yuna, kakaknya yang bersekolah di SMA, kepulangan Yuna selalu disambut senyum Mama dan Uwak yang tinggal satu rumah. Yuna sangat cantik dan sempurna. Dia juga pintar dan selalu mendapat rangking atas di kelasnya. Sedangkan Kana adalah kebalikannya. Kana tidak cantik dan gendut, dia tidak pernah mendapat rangking sepuluh besar.
Tapi sebenarnya Kana itu pintar dan cerdas, dia hanya kurang perhatian saja. Kana sering mendengar desas desus para wali murid yang memberi uang atau hadiah ke oknum guru kelas agar anak-anak mereka mendapat nilai baik serta rangking yang tinggi. Ini bukan rahasia umum lagi. Ditambah dia sering mendengar mamanya menghubungi guru kelas Yuna, dan sang guru tanpa malu meminta imbalan bulanan. Alhasil, Yuna diberi nilai tinggi di setiap mata pelajaran yang dipelajari. Lucunya, mamanya enggan melakukannya untuk Kana. Dan Kana mengalah dan tidak banyak menuntut. Menurut Kana, tanpa memberi uang, Kak Yuna sebenarnya bisa saja meraih nilai tinggi karena dia juga rajin belajar.
Kana menghela napas panjang saat membuka tudung saji di atas meja makan. Hanya lauk sisa yang dia lihat dan separuh mangkuk kecil berisi nasi.
"Lagian pulangnya telat. Kalo kurang beli aja di warung Mak Endah," ujar Uwak Ita yang sedang duduk-duduk santai selonjoran di dekat pintu dapur yang mengarah ke laman belakang. Uwak Ita adalah kakak sepupu Mama Kana, Asih. Sejak mamanya bercerai dari ayahnya beberapa tahun lalu, Uwak Ita yang merupakan janda tanpa anak itu tinggal di rumahnya. Uwak Ita adalah kerabat terdekat mamanya.
"Nggak papa, Wak. Ini cukup," tanggap Kana sambil melangkah menuju rak piring. Namun wajahnya menunjukkan tidak semangat.
Kana duduk di kursi makan dan mulai makan seadanya, sedikit nasi yang mulai keras karena tidak ditutup wadah dengan sempurna dan sayur urap yang juga tinggal sedikit.
"Telat napa kamu?" tanya Uwak Ita sambil mengamati Kana yang sedang makan.
"Piket, Wak. Tadi ada lomba antar kelas. Jadi anak-anak pada makan di kelas. Sampah-sampah jadi banyak," jawab Kana pelan. Dia berusaha tegar dengan nasibnya. Piket tanpa dibantu teman sangat menyedihkan. Belum lagi ejekan-ejekan pedas dari teman-temannya.
"Ck. Pantes. Pasti kamu kerjanya lelet. Badan segede gaban. Gimana mau cepat pulang dan makan enak. Tadi itu ada tamu dari Jakarta datang ke mari. Mau nggak mau diajak makan, jadi ya tinggal sedikit. Mau masak, Uwak udah capek," gerutu Uwak Ita cuek. Kana sih sudah paham watak Uwak Ita. Uwak Ita sama saja dengan mamanya yang kurang mempedulikannya. Mereka hanya peduli kakaknya yang cantik jelita.
Kana diam tidak menanggapi. Dia sudah terbiasa dengan gerutu Uwak Ita.
"Siapa tamunya, Wak?" tanya Kana. Dia makan pelan-pelan biar makanan yang dia telan lebih terasa dan dia bisa kenyang. Beli lauk di warung Mak Endah? Mana mau Mama kasih uang lebih.
"Teman lama Mama kamu. Namanya Mulyani. Dia punya anak laki yang sudah lama kerja di perusahaan makanan ringan di Jakarta. Anaknya ganteng dan sudah punya banyak duit. Mau cari jodoh ceritanya," ungkap Uwak Ita.
"Oh, buat kak Yuna?" tanya Kana.
"Iyalah. Emang buat kamu? Nggak ngaca? Liat di fotonya orangnya guanteng. Sudah punya apartemen di Jakarta. Dan pantesnya memang untuk Yuna," decak Uwak Ita.
"Aku masih SMP, Wak. Belum mikir kawin," decak Kana.
"Ya siapa tau. Banyak juga yang tamat SMP, langsung kawin."
"Bukan aku."
Kana tidak tersinggung dengan kata-kata sinis Uwak Ita. Dia sudah terbiasa dijelek-jelekkan dan dia tidak tersinggung sama sekali. Namun dia balas sebisa mungkin agar lawan bicara paham akan maksudnya. Serba salah jadi orang jelek, batin Kana sadar diri.
"Wah. Kalo Kak Yuna nikah, bakal pindah ke Jakarta dong," ujar Kana. Dia usir perasaan jengahnya terhadap Uwak Ita. Bagaimanapun Uwak Ita adalah orang tuanya dan kerabatnya. Kana harus memahaminya. Dia juga tidak punya pekerjaan atau menghasilkan uang. Hidupnya bergantung ke mamanya yang bekerja sebagai tukang cuci keliling dan pembantu rumah tangga harian di rumah orang terpandang di desanya.
"Nggak. Mereka bakal tinggal di sini. Apartemen calon suaminya itu disewain. Mau buka usaha makanan di depan rumah," jawab Uwak Ita.
Kana manggut-manggut. "Kak Yuna kan masih sekolah. Emang dia mau?" tanyanya.
"Sebentar lagi juga selesai," kilah Uwak Ita.
Bersambung