Bye bye, Kana

1203 Words
Kana senyum-senyum melihat Dian yang sedang berdandan di pagi harinya. Dian dikenal pandai berhias di kalangan pekerja panti. Alasan Dian karena dia sudah terbiasa dengan berdandan dan terasa lebih segar saat bekerja. "Kita tuh sebagai perempuan harus rajin dandan dan merawat diri, Kana," ujar Dian saat memasangkan bulu mata palsunya. Dia sadar Kana tengah memperhatikannya. "Tapi biaya ke salon-salon bukannya mahal." "Tergantung. Pandai-pandai aja mengatur uang. Kalo yang bisa melakukannya sendiri nggak perlu ke salon. Kayak aku nih, creambath sendiri, rawat muka rajin tiap hari, makan harus teratur, olah raga biar badan tetap segar. Nggak usah mikir bentuk badan gimana, yang penting sehat dan segar aja. Hanya satu yang aku nggak bisa, potong rambut. Yah, sekali-kali pijet atau sauna kek. Kalo aku sih tiga bulan sekali, tergantung budget." Kana manggut-manggut. Dian meliriknya sekilas. "Kalo kamu sih menurutku tinggal dandan aja, Kana. Kamu nggak jerawatan jadi nggak perlu perawatan khusus untuk wajah. Pijet? Haha." Kana ikut menertawai dirinya. Dia tahu Dian sedang membayangkan pegawai pijet yang kesusahan memijat tubuhnya yang besar. "Maaf, Kana...." Dian tersenyum malu. "Nggak papa, Mbak. Hihi." "Olah raga mah kamu setiap hari juga olah raga. Kerajinan malah. Hm ... apalagi ya? yah ... nanti aku tunjukin sabun-sabun pembersih tubuh yang bikin kamu selalu segar dan wangi." Kana manggut-manggut. "Nggak mahal, Kana. Yang penting kamu rajin aja memakainya." Kana tampak berpikir. "Kamu tersinggung?" tanya Dian yang memperhatikan Kana yang terdiam. "Maksud Mbak Dian?" "Aku ngoceh tentang penampilan?" "Nggak kok. Aku malah mikir gimana aku harus memulai. Sepertinya emang sudah saatnya." Dian tertawa kecil. Kana anak yang tidak pandai tersinggung. "Nggak perlu setebal aku dandannya. Tipis aja. Kalo kamu kan masih muda nih, yah ... setidaknya pake pelembab bibir dan bedak tipis." Kana senang mendengar saran dari Dian. Di samping cantik, Dian juga sehat dan segar. *** Kana benar-benar melakukan apa yang Dian sarankan. Kana sangat merasakan manfaatnya. Sejak merawat diri, Kana merasa lebih segar dan percaya diri. Sebenarnya Kana sudah merawat dirinya dengan membersihkan diri dan berpakaian rapi. Tapi saran Dian lebih detail dan Kana senang melakukannya. Awal-awalnya Kana berpikir akan banyak yang mencibirnya. Ternyata tidak juga, itu hanya prasangkanya saja. Kalaupun ada, Kana tidak mempedulikannya. Namun hingga kini, justru Kana mendapatkan pujian karena semakin tampak sehat dan cantik. Banyak yang terpana dengan senyum Kana yang manis dan semakin lebar. Dan kata-kata 'gendut' justru menjadi kata sayang bagi Kana dari orang-orang yang mengenalnya, ada juga yang memanggilnya semok. Kana sudah mendapatkan upah bulanan. Meski tidak sebesar gaji pegawai lainnya, Kana tetap senang dan bekerja sangat rajin. Kana tidak berubah, selalu siap membantu pekerja lainnya. Bu Wita pun tidak mempermasalahkan Kana yang sekarang sudah mengikuti paket C. Justru Bu Wita yang membiayai sekaligus membantu Kana agar bisa menyelesaikan program paket C selama empat semester dan lebih cepat. Kana masih bisa bekerja di panti. Bu Wita senang dengan Kana yang semakin pandai mengatur waktunya, bekerja dan belajar. "Hm ... enak kalo disuapin kamu, Kana. Oma jadi semangat makannya," ujar Oma Beth sambil mengamati sekujur tubuh besar Kana. Sejak Dian menikah dengan Gino dan berhenti bekerja dari panti enam bulan lalu, Oma Beth sekarang dirawat Kana, bergantian dengan Leni jika Kana pergi sekolah. Kana tersenyum hangat. Dia bersihkan ujung-ujung bibir Oma Beth dengan serbet khusus. Oma Beth sudah menghabiskan makan siangnya. Dengan Kana, Oma Beth makan lebih lahap dan cepat. "Gitu dong, Oma. Harus semangat makan," tanggap Kana. "Lihat kamu, Oma jadi kepingin gendut kayak kamu." Kana tertawa kecil. Oma Beth bisa saja, entah memuji atau meledeknya. "Eh. Ketawa lagi. Oma sedari dulu makannya diatur-atur sama Mami Oma. Nggak boleh makan ini, itu, jadi Oma kurus terus." "Bukan kurus, Oma. Biar langsing dan ramping. Oma dulu kan mudanya cantik dan ramping." Sebelumnya Oma Beth pernah menunjukkan foto mudanya dulu yang sangat cantik lagi ramping. Oma Beth berasal dari keluarga berada yang banyak peraturan yang harus dipatuhi. "Iya. Begitulah. Oma terus dipantau agar tetap langsing, tapi menyiksa. Oma malah sering sakit-sakitan. Bosan kurus, Kana." Kana tertawa lagi. Oma Beth ada-ada saja menurutnya. "Makanya Oma makan yang banyak. Tapi jangan terlalu kenyang. Kayak minggu lalu Oma sampe muntah-muntah kan?" "Iya, Kana." Wajah Oma Beth mendadak sendu. Dia pegang tangan Kana yang menyangga di sandaran kursi rodanya. "Oma kepingin kamu ikut Oma," lirihnya. "Sudah, Oma. Nanti kan ada yang ngurus Oma di rumah Bu Lusi." "Kamu ikutlah. Oma seneng kamu yang rawat Oma." "Aku harus sekolah." "Kan bisa diatur. Lusi banyak duitnya. Oma nanti suruh dia biayai sekolah kamu, tempat tinggal kan nggak perlu biaya. Rumah Oma besar. Kamu nanti tinggal di kamar mewah dan besar dari pada di panti." Kana tersenyum dengan pandangan tertunduk saat mendengar bujukan Oma. Dia punya pilihan kehidupan sendiri. Sebenarnya dia sangat sedih membayangkan berpisah dari Oma Beth, karena Oma Beth sangat baik dan menyayanginya. Oma Beth sering memberinya uang dan barang-barang seperti pakaian, tas, hingga ponsel. Kana tidak pernah kekurangan dan malah bisa memanfaatkan uang serta menabungnya pelan-pelan. Anak-anak Oma Beth memutuskan mengambil alih perawatan terhadap Oma Beth dari panti. Sebenarnya Oma Beth tidak mau, tapi mereka terus meminta karena ingin merawat Oma Beth secara bergantian. Oma Beth akhirnya memenuhi keinginan anak-anaknya. "Biar Oma nggak bosen liat aku terus." "Oma nggak pernah bosen sama kamu." Kana mainkan jari-jari tangan Oma dan memijatnya. "Kamu apa nggak kangen Oma?" "Pasti kangen. Tapi aku juga nggak lama di sini, Oma." "Emangnya mau ke mana?" "Ya. Daftar kuliah kalo ijazah paket SMAku udah ke luar." "Jadi nggak tinggal di sini?" Kana menggeleng. "Ya. Masih di Jakarta Selatan, Oma. Aku berencana ngekos dekat kampus biar lebih fokus kuliah." Oma Beth mencebikkan bibirnya. "Nanti kalo jadi anak kuliahan jangan sombong." Kana tertawa kecil. Dia masih asyik memijat jari-jari Oma Beth. "Ya. Nggaklah, Oma. Buat apa sombong." "Takutnya nanti kalo Oma undang kamu ke rumah Oma, kamu nggak mau datang." "Iya. Aku usahakan datang, Oma." "Jangan kayak Dian. Dua kali Oma hubungi, dia nggak pernah angkat atau balas telepon Oma." Kana tertawa kecil. Dian sekarang sibuk dengan urusan rumah tangganya. Wajar Dian tidak menanggapi ajakan Oma. "Mungkin pas dia lagi sibuk." "Halah. Kan bisa telepon balik atau pesan." Oma Beth tetap saja bersikeras bahwa sikap Dian mengecewakannya. "Kamu jangan gitu ya?" "Iya, Oma Beth cantiiiik." Oma Beth tersenyum senang mendengar pujian Kana. Dan itu adalah percakapan terakhir Kana dan Oma Beth. Kana tidak sempat melihat kepergian Oma Beth dari panti, karena di hari kepulangan Oma, Kana sedang pergi mengikuti pelajaran di luar panti. Kana sedih bukan main. Cukup lama dia merawat Oma Elizabeth dan banyak sekali wejangan dan cerita-cerita lucu Oma Beth. Meskipun Oma Beth selalu bercerita berulang-ulang di setiap harinya, Kana tidak pernah merasa bosan. Terlebih, banyak sekali pemberian Oma Beth. Oma sayang Kana. Kana harus jadi orang sukses. Elizabeth Quinn Sesak d**a Kana saat membaca pesan Oma Beth yang tertulis di atas secarik kertas yang sengaja diletakkan di atas kasur yang biasa ditiduri Oma Beth. Tangannya gemetar saat memegang kertas tersebut. Kana dekap kertas itu dan menyimpannya di sakunya. Kana menangis sedih mengingat kembali kejadian beberapa tahun lalu di saat dia harus pergi meninggalkan rumahnya. Kenapa harus berpisah dengan orang yang sudah menunjukkan kasih sayang kepadanya, seperti Uwak Ita dulu. Ditinggal pergi Oma Beth mengingatkan Kana yang harus meninggalkan Uwak Ita. Dua orang yang sangat dituakan Kana, yang kata-katanya penuh nasihat dan semangat untuk Kana. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD