Berkah Kana

904 Words
"Pak Tio mana, Kana?" tanya Dian dengan wajah bersungut. Dia cemberut karena Kana yang mengangkat tubuh seorang lansia untuk duduk di atas kursi roda. Seharusnya tugas Pak Tio, dan bukan Kana. Tapi kebetulan Kana sedang berada di depan gerbang panti, hendak memulai membersihkan taman. "Lagi ngopi...." Kana perlahan mendudukan nenek tua yang sudah sangat sepuh. "Gendut!" ejek orang tua itu. Dia pukul bahu Kana kuat. Kana tertawa. Dian juga tertawa. "Emang gendut, Oma. Kalo kurus itu fitnah," ujar Kana cuek. Dia rapikan pakaian nenek itu, juga merapikan rambut putihnya. Nenek tua itu tersenyum melihat wajah Kana. Wajahnya berbinar saat Kana menepuk-nepuk pipi kerutnya dengan lembut. "Makasih, Kana," ucap Dian yang sudah siap-siap mendorong kursi roda menuju dalam panti. "Sama-sama, Mbak Dian," balas Kana, lalu dia siap-siap memulai membersihkan taman. Kana hela napas lega saat melihat punggung Dian memasuki gedung panti. Para lansia di panti sudah mengenal Kana. Di antara mereka suka memanggilnya Kana si gendut atau Ndut. Kana tidak tersinggung sama sekali. Dia malah senang karena saat mereka memanggilnya gendut, mereka tampak bahagia dan tertawa gembira. Kana senang tinggal di dalam panti jompo. Semua pekerja bersikap baik dan sabar serta menyenangkan. Maklumlah, karena mungkin sehari-harinya mereka berhadapan dengan para orang tua sepuh yang emosinya sering tidak terkendali. Hanya pekerja dengan tingkat kesabaran tinggi yang bisa bertahan lama bekerja di sana. Kata-kata yang terdengar di sana juga sangat menyenangkan dan lemah lembut. Kana pun terbawa suasana dan merasa sangat cocok berada di sana. Siang selepas makan siang, Kana seperti biasa merapikan dan membersihkan ruang kerja Bu Wita, pemilik panti jompo. Kana tampak cekatan melakukan pekerjaannya. Bu Wita sangat mempercayai Kana yang meskipun bekerja tanpa pengawasan, hasil kerja Kana selalu memuaskan. Ruang kerja yang sangat bersih, rapi dan wangi, sehingga dia semangat menjalankan aktifitasnya selama di panti jompo hingga sore hari. Bahkan Bu Wita lebih sering menginap di ruang kerjanya sambil mengawasi pekerja yang bekerja di shift malam hingga pagi, padahal sebelumnya dia jarang sekali melakukannya. "Sudah berapa banyak uang kamu, Kana ... kamu saya amati nggak pernah mau jajan," tegur Bu Wita saat Kana sudah hampir menyelesaikan pekerjaannya dan membereskan alat kebersihannya. Kana tertawa kecil. "Hampir tiga juta, Bu," jawabnya. "Wah. Banyak tuh." "Iya." "Kamus simpen di mana?" Kana tertawa lagi. "Di dalam lemari baju." Bu Wita tersenyum. Kana memang sangat rajin menabung. Dalam tiga bulan dia bisa menabung hampir tiga juta rupiah. Kana memang tidak punya gaji tetap, tapi banyak yang memberinya uang setiap hari. "Jangan ditabung terus. Dimanfaatkan sebaik-baiknya. Nikmati hasil kerja keras kamu," Kana tertawa malu. "Mau beli apa sih ... hape mahal?" tanya Bu Wita ingin tahu. Biasanya hidup remaja seusia Wita sangat bergantung dengan ponsel. "Nggak, Bu. Aku mau beli emas." "Kanaaaa...." Bu Wita bangkit dari duduknya dan mendekati tubuh besar Kana. "Aku mau menabung terus. Kalo emas kan bisa dijual lagi dan harganya tidak akan pernah turun. Aku mau kuliah." Bu Wita terenyuh mendengar keinginan Kana. Kana sangat sabar. "Kamu bisa sekolah, Kana." "Tahun depan saja, Bu. Aku ikut program paket C saja." Bu Wita mengangguk pelan. Sebelumnya dia sudah pernah menawarkan Kana sekolah seperti biasa dan tetap tinggal di panti. Kana khawatir dia tidak bisa mengatur waktu, sementara dia ingin sekali 'bekerja' dan membantu kegiatan panti. "Hm ... nggak kerasa kamu sudah tiga bulan di sini, Kana. Ibu dan pengurus panti sepakat akan memberi kamu upah bulanan." "Ibu. Nggak perlu ... ini aja sudah lebih dari cukup. Aku diberi kamar besar dan mewah, aku juga dikasih uang jajan," elak Kana. Dia merasa tidak enak dengan kebaikan Bu Wita. Bu Wita tersenyum hangat. Dia sangat mengenal tipe-tipe seperti Kana yang sangat mandiri, pekerja keras dan tidak mau begitu saja menerima pemberian serta enggan bergantung kepada orang lain. "Nggak perlu khawatir, Kana. Kamu sudah berhak mendapat upah," gumam Bu Wita. *** Saat berjalan menyusuri koridor menuju janitor, tidak sengaja Kana melihat Dian sedang kesusahan mengurus seorang lansia yang sedang tantrum. Kana cepat-cepat meletakkan alat-alat kebersihannya di dalam janitor dan bergegas menuju kamar di mana Dian sedang menangani seorang lansia tersebut. Kana langsung membantu membereskan kasur yang penuh dengan kotoran. "Kana! Kamu tenangin Oma Beth dulu deh, biar aku yang beresin tempat tidurnya. Aku nggak kuat," ujar Dian yang kelelahan memeluk nenek tua yang dia tangani yang bernama Oma Beth. Kana hentikan langsung pekerjaannya dan bergegas mendekati Dian dan meraih tubuh renta Oma Beth. "Apa kamu, Gendut! Nggak usah ikut campur kamu! Cuih!" Kana diam dan terus memeluk Oma Beth tanpa mempedulikan ludah yang menempel di lengannya. Oma Beth terus meronta-ronta. Kana jadi kasihan melihat Dian yang sekarang membersihkan kasur Oma Beth. "Ngamuk, Kana. Anaknya nggak jadi ke sini sore ini. Ini habis pispot ditumpah-tumpahin ma dia di atas kasur, sampe ber*kin kasur...." Dian dengan cekatan menarik seprai-seprai dan melemparnya ke dalam ember. "Lusiiiii. Lusiiiii," teriak Oma Beth parau. Lalu dia menangis tersedu-sedu. "Iya, Oma. Nanti kan Lusi datang lusa. Lusinya sibuk cari cuan," ujar Dian sambil mengangkat kasur dari ranjang. Oma Beth lemas karena kehabisan tenaga. Perlahan Kana dudukkan Oma Beth di atas kursi roda. "Aku beresin ranjang, Mbak Dian?" tawar Kana bertanya. Dia tidak tega melihat Dian mengangkat kasur, sementara Oma Beth sudah tenang duduk di atas kursi roda. "Kamu beresin Oma Beth, Kana. Mbak udah hubungi Gino datang ambil kasur baru," ujar Dian. Wajahnya cemberut, karena kesal dengan sikap Oma Beth. Dian juga ogah menoleh ke arah Oma Beth. Kana lalu melangkah menuju lemari pakaian Oma Beth dan mengambil pakaian dan mendorong kursi roda menuju kamar mandi. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD