Ah, Wak Ita

1185 Words
Di balik rencana pernikahan Yuna yang cukup cepat itu, ada kabar yang agak menggembirakan. Ayah Kana bersedia hadir dalam acara akad nikah sebagai wali nikah Yuna. Meskipun Kana tahu dia tidak diharapkan, tapi hatinya tetap senang karena akan bertemu ayahnya lagi setelah sekian lama berpisah. "Katanya mau jadi guru? Kok nggak sekolah lagi? Guru apaan?" sergah Ryan ke Kana saat menerima raport akhir. Ryan sebelumnya mendengar percakapan antara Kana dan guru kelas. Saat ditanya akan melanjutkan ke mana, Kana mengatakan bahwa dia tidak akan lanjut sekolah karena akan membantu mamanya bekerja. Kana tersenyum tipis. Ryan adalah teman satu kelasnya yang paling usil dan bermulut tajam, tapi Kana menilai itu bentuk suatu perhatian Ryan terhadap dirinya. Tidak ada yang bertanya selain Ryan. "Kamu lanjut ke mana, Ryan?" Kana balik bertanya. "Gue lanjut SMA di Jakarta. Gue tinggal sama paman di sana." "Nanti kuliah di sana juga?" "Ya dong." "Semoga lancar ya sekolah kamu." Kana langsung berpaling dari Ryan karena Fino, teman Ryan datang menyapa Ryan. "Heh, Ndut! Sekolah di mana lu ntar?" tanya Fino ke Kana yang melintas di depannya. "Aku nggak lanjut," jawab Kana. "Alhamdulillah. Gue nggak bakal liat b****g lu lagi di SMA Negeri," ucap Fino yang mengira akan bersekolah yang sama dengan Kana. Ryan tertawa renyah melihat tingkah Fino yang berucap dengan dua tangan menengadah ke atas. "Jangan gitu, Fin. Ntar lu kangen ma b****g Kana," goda Ryan. "Najissss," decih Fino sambil meludah. Kana memilih berjalan cepat dan tidak mau membalas. *** Menjelang pernikahan Kak Yuna, rumah Mama Kana semakin sibuk. Ada banyak ibu-ibu datang membawa peralatan persiapan pernikahan. Kana jadi ikut senang melihat kesibukan di rumahnya. Terutama melihat ruang tamu didekor indah untuk acara akad nikah. Kamar Mama juga dihias indah sebagai kamar pengantin dan setelahnya akan menjadi kamar Yuna dan suaminya. Ada tenda besar di depan halaman rumah serta panggung di mana Yuna dan Raka akan bersanding. Ada juga panggung untuk organ tunggal yang akan berlangsung selama tiga malam setelah pesta pernikahan. Tapi di balik kemeriahan itu semua, ada kesedihan yang mendalam yang dirasakan Kana. Mamanya lupa memesan baju seragam pengantin untuk Kana. Yang terjadi, Asih malan memarahi Kana yang menangis. "Jangan nangis. Mama kan lupa. Bukan sengaja nggak bikinin buat kamu," ujar Asih yang sebal melihat Kana menangis di dalam kamar Uwak Ita karena ternyata tidak ada baju seragam untuknya. "Aku tau aku jelek, Ma. Tapi aku ingin juga ikut foto di samping Kak Yuna," ujar Kana. Mamanya bilang dia tidak bisa ikut berfoto karena tidak adanya seragam pengantin. Asih hela napas jengkel. "Ya kalo sadar kamu jelek, nggak usah banyak permintaan," ujarnya akhirnya. Kana melirik sekilas wajah sebal mamanya. Dia pun menduga ini hanya akal-akalan mamanya saja, untuk tidak menunjukkan dirinya saat pernikahan. Mamanya malu dengan keadaannya. Benar saja, malam menjelang acara akad nikah, Uwak Ita memberitahu Kana keinginan mamanya yang sebenarnya. "Kamu di kamar saja. Nggak usah ke luar-ke luar. Mama kamu tuh malu punya anak gendut item kayak kamu. Makanya dia nggak buatin seragam. Biar kamu nggak bisa ikut liat nikahan Yuna. Dia sudah terlanjur bilang ke keluarga Raka, bahwa Yuna itu anak satu-satunya." Pedih hati Kana. Matanya berkaca-kaca saat Uwak Ita bercerita di malam menjelang tidurnya. "Baik, Wak. Bilang Mama aku di kamar saja," ujar Kana pelan. Dia sudah bisa menguasai dirinya. Ini baru awal, Kana harus siap dengan kehidupannya ke depan. Uwak Ita amati tubuh tambun Kana yang meringkuk di atas lantai beralas kasur tipis. Sudah seminggu Kana dan dirinya tidur dalam satu kamar. Kana tidur di atas kasur tipis di atas lantai dan Uwak Ita tidur di atas dipan. Kana rajin membersihkan kamar dan merapikannya. Kana juga rajin mencuci baju uwaknya. Kamar Uwak jadi lebih wangi, dan Uwak Ita semakin merasa nyaman. "Kana," lirih Uwak Ita tiba-tiba. "Ya, Wak?" Uwak Ita terdiam sejenak. "Nggak papa," ucapnya. Uwak jadi ikut sedih dengan nasib keponakannya tersebut. Dia pun jadi ingat sikap Asih selama ini terhadap Kana. Dia seakan tersadar bahwa Kana bernasib tidak beruntung, karena perlakuan mamanya. Belum lagi mulutnya juga ikut tajam ke Kana. Tapi Kana tidak pernah membalas dan malah menuruti semua perintahnya. "Kamu baik, Kana," ujar Uwak Ita pelan. Dia ikut berkaca-kaca membayangkan Kana yang akan sendirian di kamar ini selama pesta pernikahan kakaknya, sementara orang-orang berpesta riang memeriahkan pesta. Tak lama kemudian, terdengar napas Kana teratur. Kana sudah terlelap. *** Kana menghabiskan waktunya di dalam kamar Uwak Ita saat hari pernikahan Yuna. Sepertinya mamanya memang tidak memperdulikannya. Kana tidak ditanya atau dilihatnya. Kana hanya bisa mendengar suara-suara sibuk di seputar rumahnya. "Anaknya yang satu lagi si Kana di mana ya? Kok nggak keliatan?" Ada terdengar suara ibu-ibu bercakap-cakap di dapur. Kamar Uwak Ita memang berdekatan dengan dapur. "Iya juga ya. Badan segede itu kok nggak keliatan." "Eh, Ita. Kana di mana?" Ternyata ada Uwak Ita di dapur. "Malu dia. Kan Kana pemalu," jawab Ita sekadarnya. "Lha kalo malu di mana dia?" tanya ibu-ibu itu lagi. "Di rumah adikku di Pandeglang," jawab Ita berbohong. "Jauh amat? Gua kira diumpetin ma Asih. Mungkin malu punya anak begituan. Gede item, jalan kek susak amat. Eh, mau didaftarin ke penyalur ART katanya. Emang bisa gawe tuh anak, gerak aja susah. Yang ada ntar disiksa majikan kayak anaknya Ipah noh yang kerja di Bekasi." Uwak Ita diam tidak menanggapi. Dia hanya berusaha menutupi sikap Asih, meskipun dia sendiri tidak setuju dengan keinginan Asih. Uwak Ita tidak setuju dengan pendapat ibu-ibu itu terhadap Kana. Kana justru rajin dan cekatan saat bekerja. Buktinya, kamarnya bersih dan wangi karena sentuhan Kana. Tapi apa boleh buat. Dia harus menuruti setiap rencana Asih. Dia saja menumpang hidup di rumah Asih. Sementara Kana diam sambil duduk selonjoran. Dia asyik bermain game di ponsel punya Uwak Ita. Uwak Ita meminjamkannya agar Kana tidak bosan selama berada di dalam kamarnya. Tak lama kemudian, dapur terdengar sepi. Kana menduga ibu-ibu dan Uwak Ita kembali ke ruang tamu di depan. Kana tersentak, pintu kamar dibuka dari luar. "Eh, Uwak. Aku kira siapa," ujar Kana lega. Dia senang dengan perubahan sikap Uwak Ita yang tidak kasar lagi. Apalagi Uwak Ita datang kepadanya sambil membawakannya satu nampan besar dengan beragam makanan. "Nih. Kamu makan dulu. Uwak ambil nasi dan lauk banyak, biar Uwak nggak bolak balik," ucap Uwak Ita sambil meletakkan nampan besar di depan Kana. "Makasih banyak, Wak," ucap Kana senang. "Ayah masih di luar?" tanya Kana kemudian. Kana belum bertemu ayahnya sejak tiba di rumahnya. Mendengar pertanyaan Kana, Uwak Ita tutup pintu kamar dan menguncinya. Dia duduk di depan Kana sambil menatap Kana sedih. "Kamu nggak ditanya," ujar Uwak Ita. Matanya berkaca-kaca. Sedih melihat keadaan Kana. Dedi memang tidak menanyakan Kana sejak tiba di rumah. Dia sangat terpesona dengan kecantikan dan kesempurnaan anak kandung pertamanya. Yuna sangat cantik jelita, sehingga dia tidak mau menyia-nyiakan waktunya bersama Yuna dengan mengajak berbincang bersama, hingga melupakan Kana. "Oh. Nggak papa, Wak. Kok malah Wak yang nangis," ujar Kana yang melihat Uwak Ita menangis terisak. "Kamu, kalo Uwak punya duit, kita bisa pergi berdua," ucap Uwak Ita sambil melap pipinya dengan sapu tangan. "Haha. Uwak. Uwak jangan gitu ah. Aku baik-baik saja kok. Sedih sih. Tapi ya, demi Kak Yuna dan Mama. Kalo aku ke luar, nanti malah merepotkan semua." Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD