Kana tidak punya pilihan pekerjaan selain di warteg ini. Dia tidak mengenal kota Jakarta, sebuah kota besar padat penduduk, dengan beragam kesibukan. Kana pun berkesimpulan bahwa Jakarta tidak menjanjikan kesempatan atau masa depan gemilang seperti yang orang-orang bilang, khususnya Uwak Ita. Ternyata lebih baik tinggal di kampung halamannya yang tenang dan tidak kacau balau dan sesempit kota Jakarta. Tapi Kana sudah tidak diterima mamanya pulang.
Kana lagi-lagi harus pasrah.
Malam ini saking pegal dan lelahnya, Kana tidak bisa terbaring. Dia duduk selonjoran sambil merenggangkan jari-jari tangannya di atas pangkuannya.
"Kenapa? Jari-jari lo kesakitan? Kecut karena kerendem aer seharian?"
Kana tersenyum kecut ditanya seorang perempuan muda yang bernama Tini. Dia termasuk baru bekerja di warteg, dua bulan lebih. Tini dan dua pekerja lainnya tinggal di dalam sebuah kamar sempit. Di kamar sempit itu Kana memilih tidur di sudut ruangan. Dia alasi lantai dengan sarung tipis dan lipatan jaket lusuhnya sebagai penyanggah kepala. Tiga pekerja lainnya sudah memiliki kasur kecil masing-masing. Kana belum memiliki uang membeli kasur, uang yang diberi Uwak Ita masih utuh tak tersentuh. Kana berencana gaji pertamanya akan dia belikan kasur saja.
"Lo kerja bagus diomelin. Wajar sih. Baru-baru gue juga digituin. Tapi lama-lama nggak," ujar Tini lagi. Dia seharian mengamati cara kerja Kana yang meskipun rapi dan cekatan, tetap saja diomelin pemilik warteg, sesekali anggota keluarga pemilik warteg juga mengomeli Kana. Ada juga pekerja lainnya yang terlihat tidak menyukai kehadiran Kana.
Tini ikutan duduk di samping Kana. Dia pegang-pegang lengan besar Kana.
"Gede banget tulang lo. Keras. Udah biasa kerja ya?"
Kana menggeleng. Sebelumnya dia hanya rajin membersihkan kamar dan membersihkan bagian dapur rumahnya selama tinggal di rumah mamanya. Dia juga membersihkan kamar Uwak Ita. Kana kuat mungkin karena setiap hari jalan kaki menuju sekolah dan pulang dari sekolah. Jarak yang lumayan jauh yang harus dia tempuh. Kana tidak pernah mengeluh. Duh, Kana jadi kangen sekolah lagi.
"Berapa sih umur lo?"
"Empat belas."
"Busyeeeet!" Ada pegawai lain yang teriak tidak percaya dengan usia Kana.
Kana tersenyum kecut. Dia memang memiliki tubuh besar, berisi dan tinggi.
"Ngarang lo ah. Kayak emak-emak juga badan lo," sinisnya.
Kana diam saja dan tidak mau membela diri atau membuktikannya dengan akta lahir dan ijazah sekolahnya. Percuma membalas kata-kata orang-orang yang sudah terlanjur memandang sinis, akan terus dicari-cari kekurangannya. Kana sudah hafal cara menghadapi orang-orang seperti itu, didiamkan saja dan tidak usah berurusan.
Tini menoleh sekilas ke arah teman satu kerjanya tersebut, Ulis namanya. Sudah hampir dua tahun Ulis bekerja di warteg tersebut. Baru dua hari mengenalnya, Kana sudah tahu sifat Ulis yang bermuka dua, rajin luar biasa di depan pemilik atau keluarga pemilik warteg, dan malas minta ampun jika pekerjaannya tidak diawasi. Ulis juga menyuruh-nyuruh Kana mengerjakan pekerjaannya. Pemalas, suka menyuruh-nyuruh, orang lain tidak ada benar di matanya, mulutnya sangat kotor, anj, bangs, baji*, kont*l, mem*k seluruh kata-kata carut tidak pernah absen ke luar dari mulutnya. Ulis adalah orang yang sangat 'sempurna' di mata Kana.
"Empat belas? Lo sekolah?" Tini masih bertanya ke Kana.
Kana mengangguk.
"Tamat SMP."
"Oh."
"Kamu?"
"Tamat SD juga nggak."
Kana menghela napas pendek. Dia merasa sangat beruntung, terlepas kejamnya mulut dan sikap mamanya selama ini. Dia masih bisa sekolah, hingga mendapatkan dua ijazah, SD dan SMP. Setidaknya Kana masih bisa berharap banyak untuk mengubah nasibnya ke depan, dibanding Tini.
Ulis menoleh ke arah Kana. Masih dengan wajah sinisnya.
"Lo dari mana, Nji*? Butek banget lo," desisnya.
"Serang."
"Oh."
Ulis mencebikkan bibirnya sambil memandang sinis Kana.
"Gue dari Kota Tangerang," jawab Ulis tanpa ditanya.
Aku nggak perlu tau kamu, Kana membatin.
Jari-jari Kana sudah bisa digerakkan sepertinya. Kana perlahan merebahkan tubuh besarnya.
Tampak Tini dan Ulis menahan tawa. Juga pegawai satunya yang sedari tadi diam bermain ponsel. Dia jadi ikutan melihat aksi rebah Kana.
"Keberatan lemak. Berapa kilo sih berat lo, Nji*g?" decak Ulis sinis.
"Nggak tau," jawab Kana yang sudah rebah terlentang. Dia memang tidak pernah menimbang berat badannya.
"Nggak tau apa lo malu dengan badan lo?" decak Ulis lagi. Senang menindas Kana dengan kata-katanya.
"Seratusan ada kali...." Dini ikut menimpali. Dia yang bermain ponsel, teman Ulis. Mereka berdua memang akrab dan sifatnya kurang lebih sama.
Kana bersiap-siap tidur. Dia lelah sekali hari ini.
Tini, Ulis dan Dini tampaknya masih belum tidur. Mereka masih ingin ngobrol malam itu menjelang tidur.
Kana berdecak sebal dalam hati. Padalah dia ingin sekali tidur nyenyak. Rasanya pegal seharian tidak akan hilang. Malam sebelumnya, Kana juga tidak bisa tidur nyenyak karena tiga teman lainnya asyik saja bercerita ngalor ngidul.
"Lo digaji berapa dua bulan ini? tiga ratus ya?" tanya Ulis ke Tini, yang baru bekerja dua bulan.
"Dikasih empat ratus," jawab Tini dengan nada kecewa.
"Ya. Wajar sih. Lo kan baru. Berarti udah nambah tuh. Dulu gue dua ratus lima puluh di tiga bulan percobaan kerja. Sekarang sejuta. Lumayanlah, nggak mikir makan dan sewa rumah."
Kana menajamkan telinganya. Empat ratus? Lalu meningkat satu juta dengan pekerjaan yang tidak ada habis-habisnya? Juga tidak ada liburan. Hanya dua minggu hari raya. Hari raya di mana?
"Protes yuk? Kan jauh banget di bawah UMR," sela Dini.
"Sok-sokan protes. Yang ada pekerjaan lenyap. Sabar aja, tiga tahun nih, gaji bisa tiga juta lebih kayak Bu Eni," ujar Ulis. Bu Eni adalah tukang masak tetap warteg. Dia memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan pemilik warteg.
Kana tersenyum dalam hati. Wajar Bu Eni bergaji besar, dia adalah jantung warteg. Tapi melihat gaya Bu Eni, gajinya bisa lebih dari tiga juta. Ada banyak emas di pergelangan tangan dan lehernya, dan handphone mahal boba tiga yang selalu berada di sakunya. Bu Eni sering memperbaiki posisi ponselnya agar bobanya terlihat jelas oleh orang-orang. Lalu akan ada mata-mata iri dengki sekaligus kagum melihatnya. Kana memang pengamat ulung. Beragam macam perangai orang-orang sudah terekam di kepalanya dalam dua hari ini.
"Mau punya uang banyak? ke salon kayak Euis tuh. Habis tuh jadi cem-cemannya Pak Tomo," ujar Ulis lagi. Pak Tomo adalah pemilik warteg dan Euis merupakan pegawai warteg lain yang bekerja di cabang warteg milik Pak Tomo di daerah lain.
"Emangnya Euis simpenan Pak Tomo?" tanya Tini.
"Ye. Cerita lama. Makanya bulan kemarin dia pindah kerja di cabang lain. Udah diincer bini Pak Tomo," decak Ulis.
"Nggak sanggup sebenarnya kerja begini," gumam Tini.
"Kan ada si gembrot. Suruh-suruh aja dia," bisik Ulis pelan. Dia mengira Kana sudah tidur nyenyak.
Tini menghela napas panjang. Matanya sekilas melirik Kana yang kini meringkuk membelakangi mereka.
"Kerjaan apa-apa sekarang ya capeklah," gumam Ulis.
Dini mendengus. "Capek lo, Lis? Kerja lo aja sekarang udah ngandelin si tronton noh," sindirnya sambil memicingkan matanya ke arah Kana. Dua hari ini Ulis kerja lumayan santai, dia andalkan tenaga Kana mengerjakan pekerjaannya.
Ulis tertawa kecil sambil melirik sinis ke badan besar Kana. "Bikin sempit kamar aja," decaknya dengan wajah sebal.
"Iya. Tambah panas," imbuh Dini sambil mengiba-ngibas leher dengan tangannya. Dia lalu duduk dari rebahnya. Matanya mengerjap-ngerjap karena lama mengamati layar ponsel sebelumnya.
Tampak Ulis melirik ke arah Tini yang masih memikirkan pekerjaan.
"Gue kepingin pulang kampung. Tapi nggak punya uang," gumam Tini lagi. Gaji yang dia terima tentu tidak sepadan yang dia kerjakan.
"Kalo lo mau kabur, gue kasih jalan nih. Besok ada jadwal sidak satpol PP di pasar. Lo pura-pura aja jadi pedagang asongan. Lo ikut aja rombongan yang ditangkap, naik mobil satpol PP nih. Lo minta pulang juga diongkosin. Duit lo lo simpan di balik kutang lo," ujar Ulis.
Tini lagi-lagi menghela napas pendek. Dia tidak tertarik.
"Atau lo pura-pura jadi orang gila," timpal Dini.
"Maksud?"
"Haha. Kalo lo nggak malu sih. Gue dulu punya temen, dia nggak betah kerja di toko bangunan. Gaji kecil dan bosan banget. Mana capek angkat-angkat berat. Trus dia kepingin pulang kampung. Pas dapat gaji, dia kabur dan berpura-pura jadi orgil pas ada sidak di pasar. Diangkutlah sama orgil-orgil lain pake mobil satpol ke dinas sosial. Dua hari di dinsos, makan tidur enak, kamar juga enak dan nyaman. Eh ... malah dapat kerjaan bagus di dinsos bagian kebersihan."
"Masa? Nggak semudah itu, Din. Pasti didatalah, suruh balik kampung," sela Ulis tak percaya.
"Gue serius, Lis. Katanya emang untung-untungan sih."
"Dia masih kerja di sana?" tanya Ulis.
"Masih. Dua juta lebih gajinya. Kerja tiga kali seminggu," jawab Dini.
"Lo kok nggak ikutan gitu?"
"Hm ... katanya kerjanya bersiin eek-eek orang tua di atas kasur gitu. Gue kan jijikan. Dia aja udah pusing-pusing. Hm ... lagian juga makan dan sewa rumah nanggung sendiri."
Dini mencebikkan bibirnya.
"Gue lebih baik bersiin wc warteglah. Kebayang eek-eek di atas kasur. Geliiii...." Dini menggidikkan bahunya.
"Oh. Panti jompo kali," gumam Tini. Dia ikutan bergidik.
"Iya kali. Atau panti orang gila. Nggak ngerti juga gue."
"Tapi untung-untungan ya...." gumam Tini penuh keraguan.
"Tertarik?" tanya Dini menantang dengan wajah sinis.
Tini menggeleng.
Tampak Kana mengatur deru napasnya yang memburu di tengah 'tidur'nya.
Aku yang tertarik, pikirnya.
Bersambung