Bab.10 Anak Buaya

2362 Words
Elina dan Sifa memutuskan untuk tidak masuk lebih dulu, jadi perawat di sana mempersilahkan antrian pasien berikutnya. Bukannya ingin meladeni Hanung yang pasti akan mengajak ribut, tapi Elina merasa tidak perlu menghindar hingga membuat mantan suami dan selingkuhannya itu besar kepala karena menganggapnya takut. “Eh, janda mandul! Buat apa lagi kamu mengunjungi dokter kandungan?” olok mulut kurang ajar pria itu dengan tatapan sinisnya. Elina menghela nafas panjang, tidak habis pikir apa salahnya sampai mantan suaminya sebenci itu padanya. Bagaimanapun mereka dulu juga karena saling cinta, lalu memutuskan menikah. Berkhianat juga suaminya yang lakukan, tapi hingga detik ini jangankan sepatah kata maaf, bahkan pria b******k itu seperti tidak pernah merasa puas menyakitinya. “Aku mandul itu kan kata kalian, tapi dari semua dokter kandungan yang pernah aku datangi hasilnya selalu normal. Tidak ada masalah dengan kandungan dan kesuburanku. Paham!” balas Elina. “Cih, mana ada wanita subur sudah menikah lima tahun lebih tetap tidak bisa hamil!” cibirnya yang langsung disahut oleh Sifa. “Nah, jangan-jangan masalahnya ada di Anda! Vonis dokter itu sudah pasti bisa dipertanggungjawabkan, karena mereka bicara berdasarkan fakta hasil pemeriksaan.” “Lalu maksudmu aku yang bermasalah?! Kamu dokter, tapi bicara seperti orang yang tidak punya otak. Jelas-jelas istriku sekarang hamil, bahkan sudah mau melahirkan.” balas Hanung Pratama kasar. Entah dia tidak tahu kalau Sifa adalah pemilik rumah sakit, atau memang mulutnya yang tidak tahu aturan. “Kalau memang seyakin itu, kenapa tidak sekarang saja kamu sekalian periksa! Jangan khawatir, aku akan bertanggung jawab penuh jika pihak Medical Centre sampai melakukan sedikit saja kesalahan. Bagaimana?!” tantang Sifa tidak lagi sopan, karena orang yang diajak bicara juga tidak paham tata krama. “Aku tidak butuh itu!” tolaknya tegas. Mata Elina menatap lekat Nisya yang mulai gusar. Giliran bertemu dengannya di rumah sakit, mantan teman sialannya itu tiba-tiba jadi seperti orang bisu tidak berani memancing ribut. Sifat arogan dan tidak tahu malunya lenyap seketika. Apalagi saat mereka mulai menyinggung soal kondisi Hanung yang selama ini tidak pernah mau Elina ajak untuk periksa kesuburan. Sifa menggandeng Elina duduk di bangku tunggu yang bersebelahan dengan mereka. Lucunya lagi, Nisya sontak berdiri seolah takut pada Elina. “Jangan macam-macam kamu, El! Nisya sudah mau melahirkan. Kalau sampai dia ketakutan dan mempengaruhi bayi kami, aku pasti akan membuatmu membayar semuanya!” bentaknya keras hingga memancing perhatian para pasien yang sedang mengantri di sana. “Memangnya kamu takut ke aku, Nis? Bertahun-tahun kamu menggoda suamiku saja tidak pernah merasa takut. Kenapa sekarang bertemu denganku setelah kami resmi bercerai, kamu malah seperti melihat hantu?” sindir Elina tersenyum lebar ke Nisya yang sudah berdiri menjauh. “Aku tidak takut, hanya khawatir kamu akan bertindak gila menyakiti anak di perutku.” sahutnya. Tidak seperti yang Elina bayangkan, dirinya bahkan tidak lagi peduli dan merasakan sakit hati seperti saat baru tahu perselingkuhan mereka beberapa bulan lalu. Toh dulu saat melabrak mereka di rumah yang ditinggali Hanung dan gundiknya itu, Elina sudah puas memberi pelajaran keduanya. Dia memang sempat menangis pilu sekeluar dari sana, itu karena dia menyesali kebodohannya yang sudah menyerahkan seluruh hidupnya untuk pria yang salah. “Tapi sepertinya bukan itu yang kamu khawatirkan. Oh iya, apa istri simpananmu sudah cerita kalau kami pernah bertemu saat belanja di mall?” pancingnya mengungkit saat dia memergoki wanita itu bersama laki-laki lain di mall. “Elina!” sentak Nisya panik, lalu tiba-tiba meringis memegangi perutnya. “Nis …” Elina tersenyum puas melihat mantan sahabatnya yang belingsatan takut boroknya akan dia bongkar. Sedang Hanung tampak cemas menuntun istrinya duduk. “Kartu apa yang kamu pegang?” bisik Sifa penasaran. “Kartu mati yang akan menghancurkan mereka, tapi sekarang belum waktunya untuk itu.” jelas Elina. “Terus kapan?” “Bang Ibra masih memintaku bersabar dulu. Kita ikuti saja permainannya, pasti lebih seru.” kata El masih dengan tatapan tak lepas dari dua orang yang sudah menoreh luka di hidupnya itu. “Kalau Ibra sudah turun tangan, keluarga Pratama nantinya tidak akan punya kesempatan lagi berdiri di tempatnya yang sekarang. Seperti keluarga Mahesa yang perusahaannya bangkrut dan diakuisisi oleh mantan suamimu dulu. Itu hanya salah satu dari sekian orang yang menuai akibat sudah berani berurusan dengan Ibra.” Elina sontak menoleh kaget, tapi Sifa hanya mengedikkan bahunya. Yang dia tahu Ega Mahesa dulunya adalah sahabat karib, sekaligus mantan pacar Freya. Lalu entah karena apa calon pewaris tampan itu justru terlibat skandal penculikan terhadap Bian Nugroho, dan nyawanya pun kemudian berakhir mengenaskan di tangan polisi. Setelahnya perusahaan keluarga mereka bangkrut dan diakuisisi oleh Hanung. Baru sekarang El tahu ternyata ada campur tangan bosnya di balik kehancurkan mereka. “Aku bilang jangan coba-coba mengusik Nisya, El! Sialan kamu!” umpat Hanung kasar memaki Elina yang bahkan sejak tadi tidak bergeming dari duduknya. “Lucu sekali, memangnya aku apakan gundikmu? Tanya ke mereka yang sejak tadi juga disini, justru kamu yang terus berteriak kasar seperti preman tidak punya aturan!” balas Elina dengan senyum mengejeknya. “Kalau bukan karena bertemu kamu, Nisya tidak akan kesakitan begini!” tuduhnya semakin ngawur sambil melotot marah. “Katanya orang kaya, kenapa tidak bangun rumah sakit sendiri saja?!” Sifa sampai tergelak menyimak bagaimana Elina membuat mereka seperti cacing kepanasan. Dia bukan lagi Elina yang saat baru masuk ke lingkar pertemanan mereka begitu anteng. Andai saja Rena bisa seperti El, mungkin tidak akan jadi bulan-bulanan orang tua Atha. Pintu ruang praktek kembali terbuka. Pasien yang tadi masuk tampak keluar. Saat Nisya beranjak bangun karena sudah tiba gilirannya, Elina pun menyusul berdiri diikuti Sifa. “Tolong suruh pasien yang lain menunggu sebentar Sus, saya ada perlu penting dengan Dokter Jihan!” ucap Sifa menggandeng Elina masuk. “Apa-apaan main serobot begini! Jangan karena yang punya rumah sakit, lalu bisa seenaknya!” seru Hanung protes, bahkan sebelum perawat memintanya untuk menunggu. Sifa yang sudah berada di depan pintu tampak menoleh, sedang perawat yang bertugas berdiri bingung tidak tahu harus bagaimana. “Kalau tidak mau menunggu, silahkan cari rumah sakit lain!” sahutnya, lalu menyusul Elina yang sudah lebih dulu masuk. Sampai di dalam mereka tertawa senang. Puas melihat Hanung yang naik pitam, dan wajah pucat Nisya yang ketakutan. “Ribut sama siapa lagi kamu, Fa?” tegur Dokter Jihan yang merupakan tante Sifa. “Ribut sama tukang selingkuh yang datang sama istri simpanannya, Tan.” jawabnya menggandeng El duduk di kursi depan meja kerja tantenya. “Teman kamu?” tanya dokter mendongak setelah melihat rekap medis Elina yang sebelumnya juga sudah pernah beberapa kali datang periksa ke sana. “Iya, ini Elina.” Dokter Jihan tersenyum ramah. Dia baru tahu kalau pasiennya ternyata juga teman dari Sifa, padahal Elina sudah beberapa kali datang periksa padanya. “Kok sebelumnya tidak pernah lihat bareng Sifa? Kalau Freya, Sasha dan Lovia saya sudah kenal baik.” “Teman baru, Tante. Dia ini teman kuliahnya Freya dulu,” jelas Sifa. “Oh, pantesan! Terus ini mau cek kesuburan lagi?” “Bukan Dok, tapi mau periksa kehamilan.” sahut El tersenyum canggung. “Syukur lah, berarti program kehamilannya sudah berhasil. Tadinya saya pikir pak suami yang bermasalah, karena beberapa kali hasil cek kesuburan kamu normal.” “Beda benih, Tan. Dia sekarang kan hamil anak buaya,” sela Sifa menyebalkan. “Kok anak buaya? Maksudnya?” “Fa!” Sifa tertawa ngakak melihat Elina salah tingkah, sedangkan tantenya hanya menggeleng melihat tingkah konyol Sifa. “Hasil testpack Elina positif, sekarang mau periksa kehamilannya.” terang Sifa mulai serius. “Kapan terakhir haid? Sudah telat berapa minggu?” Elina menjawab beberapa pertanyaan dari dokter. Dia juga diminta untuk tes ulang urine dan beberapa pemeriksaan lain sebelum kemudian melakukan USG. Jantung nya berdebar kencang saat berbaring di sana dan menatap layar yang masih tampak gelap. Ada rasa sedih. Kalau saja dia hamil bukan dengan cara seperti ini, pasti sekarang ada ayah bayinya yang menemani datang menyambut kehadiran calon anak mereka. “Be strong, El!” ucap Sifa tersenyum menggenggam tangan Elina yang terkepal berkeringat dingin. “Hm,” gumamnya mengangguk. Helaan nafasnya terdengar keras begitu dokter mulai menggerakkan alat di atas perutnya yang sudah diolesi gel. Sampai kemudian mata Elina memanas ketika menatap calon bayinya yang untuk pertama kali dia lihat. “Nah ini calon dedeknya! Masih sebesar kacang, karena baru berusia enam minggu.” Mata Sifa ikut memerah saat merasakan genggaman tangan Elina yang mengerat dengan air mata menggenang. Dia paham bagaimana perasaan Elina yang sekarang bahagia akan menjadi seorang ibu, tapi di saat bersamaan juga dilanda dilema karena status hubungannya dengan ayah calon bayinya. “Hai anak buaya! Calon keponakan Tante yang luar biasa hebat. Sehat selalu ya, baik-baik di perut mamamu. Semoga hadirmu bisa jadi penyemangat dan kebahagian buat mama juga papamu," ucap Sifa tersenyum menatap layar di sana. Elina tidak protes, tapi justru air matanya meleleh tidak terbendung lagi. Dokter yang menyadari ada sesuatu, juga hanya tersenyum tanpa bertanya tentang ayah calon bayi El. “Kita dengar dulu detak jantungnya. Mamanya pasti sudah penasaran kan!” Kata Dokter Jihan. Dan saat mendengar suara detak jantung janin di perutnya, Elina tidak bisa menahan tangisnya. Masih tidak percaya, dia benar-benar akan menjadi ibu. Anak yang dia perjuangkan selama bertahun-tahun dengan menempuh segala cara, akhirnya kini dia miliki juga. Sekarang dia tidak sebatang kara lagi, karena ada calon anak di perutnya. "Terima kasih, Nak, sudah jadi teman hidup Mama yang sebatang kara. Maaf, kalau membawamu hadir dengan jalan yang salah seperti ini." “Semoga setelah melihat calon anakmu dan mendengar detak kehidupannya di dalam rahimmu, kamu bisa berpikir lebih jernih untuk menentukan langkah yang akan kamu ambil selanjutnya.” ucap Sifa mengusap air mata El. Iya, tidak ada jalan untuk mundur. Yang bisa El lakukan sekarang adalah menjadi wanita yang lebih kuat lagi kuat demi anaknya. Dia sebatang kara dan tidak ingin menggantungkan hidupnya pada siapapun. Anak di perutnya adalah satu-satunya yang paling berharga dan akan dia lindungi dari siapapun yang berusaha mengusiknya, terutama orang tua Atha. *** Elina keluar dari ruang praktek Dokter Jihan dengan perasaan yang campur aduk. Itulah kenapa dia tidak menggubris tatapan menusuk mantan suaminya dan tampang memuakkan selingkuhannya. Namun, meski dia tidak peduli, toh pria itu tidak membiarkannya pergi begitu saja. Apalagi setelah melihat mata sembab memerah Elina dan wajah juteknya. “Nangis kan! Mau berapa ribu kali pun kamu ke dokter kandungan, tidak akan merubah kenyataan kalau kamu mandul dan sampai mati tidak akan merasakan bagaimana rasanya punya anak. Itu adalah balasan setimpal untuk wanita berhati busuk dan serakah sepertimu!” Sifa menggeram marah. Belum sempat dia membalas ucapan pedas pria itu, Elina lebih dulu melangkah menghampiri mereka. Hanung segera berdiri menghadang, takut mantan istrinya yang sedang menatap mereka marah itu akan menyakiti Nisya dan anak di kandungannya. “Berani kamu macam-macam ke Nisya, aku akan …” Suara tamparan terdengar keras menghentikan ucapan Hanung yang mencoba mengancam Elina dengan wajah garangnya. Nisya menjerit tertahan melihat suaminya yang baru saja mendapat tamparan telak di pipinya. “Wanita sialan!” Sifa menyambar tangan Hanung yang sudah melayang hendak membalas tamparan Elina, lalu memelintirnya tanpa ampun hingga pria itu merintih kesakitan. Hanung sudah salah mencari lawan. Dia tidak tahu, sebar-bar apa Sifa di balik wajah cantiknya yang biasa kalem dan murah senyum itu. “Lepas! Sakit sialan!” umpatnya. Nisya diam tidak berani berkutik saat Elina mendekat dan menudingkan telunjuknya tepat di depan wajahnya. Hanung hanya menatap marah tanpa bisa berbuat apapun. “Jangan merasa senang dulu, karena aku pasti akan membalasmu! Tunggu dan lihat saja, aku akan menghancurkan kalian semua! Berkali-kali lipat lebih menyakitkan dari apa yang sudah kalian lakukan padaku! Camkan itu!” ucapnya penuh penuh peringatan. “Bagaimanapun dulu kita adalah teman, El. Semua jadi begini juga bukan sepenuhnya salahku. Harusnya kamu sadar diri, kalau tidak bisa memberi Kak Hanung keturunan. Bukankah lucu kalau kamu malah menyalahkan aku untuk mengelak dari kekuranganmu?” sahut wanita itu seperti sengaja mengelus perut buncitnya untuk memanasi Elina. “Jangan-jangan memang kamu yang selama ini sengaja memanas-manasi pria b******k ini dan orang tuanya, dengan mengatakan kalau aku mandul! Iya kan?” tebak Elina. “Ngawur, aku tidak sejahat itu.” sanggahnya. “Aku tidak butuh pengakuanmu. Justru aku berterima kasih kamu sudah mengambil sampah tidak berguna seperti dia dari hidupku!” balas Elina tersenyum sinis. “Cukup El! Jangan membuat darah Nisya naik, dia sedang hamil besar!” seru Hanung masih dengan meringis dan berjongkok di lantai, karena Sifa belum melepaskan pelintirannya. “Dan buat kamu, juga orang tuamu! Tunggu saja, karena karma kalian sebentar lagi akan datang!” ucap Elina membalas tatapan nanar mantan suaminya. Sifa menghempas kasar tangan pria itu, lalu menghampiri Elina dan menggandengnya pergi dari sana. Menyisakan Nisya yang panik menolong suami hasil rampasannya itu bangun setelah tersungkur di lantai. “Bagus El, harus berani seperti tadi biar mereka tidak ngelunjak.” ucap Sifa saat mereka menuruni anak tangga turun ke arah lobi. “Mereka benar-benar memuakkan! Sial sekali aku sampai bertemu mereka disini,” gerutu Elina masih menahan sisa kemarahannya. “Sebenarnya Ibra pernah meminta tolong padaku, El, tapi nanti menunggu sampai wanita itu melahirkan.” Langkah kaki El langsung berhenti, lalu menoleh ke Sifa yang tampak serius dengan ucapannya barusan. “Minta tolong apa?” tanyanya. “Tes DNA, karena saat baru lahir tim dokter leluasa melakukan apapun terhadap bayi itu.” “Tapi itu menyalahi hukum Fa, mereka bisa saja menuntutmu dan rumah sakit ini kalau sampai ketahuan.” Diluar dugaan Sifa malah tertawa terkekeh. El hanya tidak tahu saja, dia bahkan pernah melakukan operasi besar dan menyembunyikan buron pelaku pembunuhan terhadap adik perempuan Reza di rumah sakitnya. Itu semua juga atas permintaan Ibra dan Reza. “Jangankan tes DNA, aku bahkan pernah melakukan hal lebih ekstrim demi teman-temanku yang gila itu.” sahutnya tertawa enteng sambil kembali merangkul lengan Elina dan mengantarnya hingga pintu lobi rumah sakitnya. Saat melintas di ruang tunggu lobi, mata Elina tanpa sengaja mendapati sosok pria yang kemarin dia lihat di kedai gelato. Mata pria itu menatapnya lekat, dengan ekspresi wajah yang sepertinya sedang menahan marah dan kecewa. Elina buang muka, tidak ambil pusing dengan keberadaan pria aneh yang begitu kebetulan dia temui lagi disana. Kepalanya berdenyut sakit, apalagi memikirkan jalan terbaik apa yang akan dia dan Atha tempuh demi calon anak mereka. Menikah? Tidak, Elina tetap tidak menginginkan opsi yang satu itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD