6. Pria Tampan

1063 Words
"Kamu nggak pa-pa?" Sebuah suara menyapaku. Aku yang berjongkok dengan kepala menunduk penuh rasa takut pelan mengangkat wajah. Wajah seorang pria dengan alis tebal, serta hidung yang mencuat tampak begitu dekat denganku. Aku pikir dia malaikat yang akan menjemputku, mungkin saja tubuhku sudah terpental jauh dan terguling. Sementara nyawaku masih tetap tertahan di lokasi kejadian. Namun, wajah malaikat itu terasa tak asing buatku. Sorot matanya yang teduh dan bibirnya yang penuh sama persis dengan seseorang yang sering aku stalking akun Instagramnya. Aku tidak salah lihat atau sedang berhalusinasi kan? Masa wajah di hadapanku yang saat ini tengah mengerjap mirip Tama? "Ap-apa gue masih hidup?" tanyaku setengah sadar. "Ya, lo masih hidup." Aku cukup terkejut mendengar suara itu lagi. Dia menjawab, aku tidak sedang berdelusi. Pandanganku bergeser ke depan mobil yang hampir menabrakku. Ternyata posisinya masih jauh dari tempatku. Aku benar-benar masih hidup. Saat menengok kaki sendiri yang masih menapak di bumi aku makin yakin masih ada di alam dunia. Spontan aku membuang napas lega. Namun.... Pria di hadapanku ini? Aku kembali menoleh padanya. Memastikannya bukan Tama. Tapi gagal, wajah itu tetap milik Tama. Sama persis dengan foto-foto yang sering pria itu unggah di akun sosial media. "Lo..." "Wina! Halo! Lo baik-baik aja?! Wina, ada apa?! Jangan bikin gue cemas!" Aku sontak melirik ponsel yang aku genggam. Ah, Danar. Aku lupa sedang teleponan dengannya. Kedatangan mobil dari arah tak terduga membuatku syok sehingga melupakannya. Refleks aku kembali mendekatkan ponsel ke telinga. "Halo, Danar. Gue baik-baik aja," ujarku memberitahunya agar dia tidak khawatir. Lalu tatapku beranjak ke pria tampan yang masih menungguiku. "Sepertinya kita pernah ketemu, tapi di mana ya?" tanya pria itu menatapku dengan mata menyipit. Aku beranjak berdiri. "Sori, gue harus pergi," ucapku terburu dan segera kabur, setengah berlari menuju gedung apartemen tanpa peduli dengannya lagi. "Lo yakin? Tadi kenapa lo teriak?" tanya Danar dengan nada yang terdengar cemas. "Tadi gue hampir tertabrak. Untungnya selamat." "Lo serius?! Tapi lo beneran nggak apa-apa kan? Lo pasti belum makan. Giko nggak ngajak lo makan?" Pintu otomatis lobi terbuka dan aku segera masuk. Aku bersyukur memiliki sahabat yang peduli seperti mereka. Cuma dua tapi bisa diandalkan dalam situasi apa pun. Mungkin karena itu juga aku merasa baik-baik saja meskipun tidak memiliki pacar. "Gue tadi sama Giko makan es krim kok," sahutku melangkah menuju lift. "Gue mampir ke apartemen lo." Setelahnya sambungan kami terputus. Aku mengangkat bahu dan masuk lift. Aku tidak kaget. Danar akan selalu melengkapi hal yang tidak Giko lakukan padaku. Itu sesuatu yang biasa. Sikap dewasa lelaki itu dan sikap konyol Giko satu sama lain saling melengkapi. Mereka berdua seperti sedang bergotong-royong untuk melindungiku. Aku kembali ingat kejadian barusan yang hampir saja membuatku mati. Namun pemilik kendaraan cukup cekatan, sehingga tidak membiarkan mobilnya berhasil melindasku. Aku sangat mengenali wajah itu dan aku sangat yakin dia Tama. Tapi dengan bodohnya aku lari terbirit-b***t ketika dia sepertinya mulai sadar mengenaliku. Tama ada di Jakarta. Setahu aku, lewat profil instagramnya dia tinggal di Surabaya. Jika dia berada di sini, kemungkinan besar Tama akan datang ke reuni itu. Perasaan senang tiba-tiba membuncah. Lalu kesal sendiri dengan tindakanku yang baru saja kabur dari pria itu. "Harusnya aku menyapanya. Mengingatkannya bahwa kami pernah satu sekolah bukan malah kabur begini. Dasar Wina bego." Aku memukul kepala dan terpekik sendiri karena ternyata sakit. Aku menjatuhkan diri ke sofa begitu memasuki unit. Gaun yang tadi aku beli aku simpan di atas meja. Kembali aku menghidupkan layar ponsel dan membuka akun i********:. Mungkin saja ada reels atau story yang aku lewatkan. Aku juga baru ingat di butik tadi sempat melihat sekelebatan sosok Tama. Dan setelah kejadian tadi aku bisa memastikan penglihatanku memang baik-baik saja. Aku tidak salah orang. Itu mungkin benar-benar dia. Namun, masalahnya kenapa Tama ada di area apartemenku? Seharusnya aku bertanya. Bukan malah kabur. Tapi, yang tadi aku beneran belum siap untuk menyapanya. Masih terlalu syok lantaran tidak ada persiapan apa pun. Beda dengan reuni nanti. Semoga Tama melupakan kejadian malam ini. Postingan Tama diunggah dua hari lalu ketika dia sedang memimpin sebuah meeting. Setelahnya tidak ada postingan apa pun. Bahkan line story-nya tidak menyala. Aku baru keluar dari kamar mandi ketika mendengar suara bel. Bahkan aku masih membungkus rambutku dengan handuk. Menyeret kaki, aku keluar dari kamar dan membuka pintu untuk tamu yang sudah bisa aku pastikan Danar. Punggung lebar Danar langsung terlihat begitu aku membuka pintu. Lelaki itu kontan berbalik dan menunjukkan kantong yang dia bawa. "Gue bawa nasi goreng," ujarnya masuk begitu saja, melewatiku tanpa permisi. Dia sudah menganggap unitku seperti rumahnya sendiri. Jadi, dia merasa aman-aman saja. Tapi, jika sudah menikah nanti nggak akan aku biarkan dua laki-laki itu seenaknya keluar masuk unit. Aku bergerak menuju sofa dan membuka gulungan handuk di atas kepalaku. Sementara Danar berada di pantri untuk mengambil piring dan sendok. "Lo beneran langsung ke sini? Nggak pulang dulu?" tanyaku. Dari kemeja yang dia kenakan aku bisa tahu langsung ke sini. Pertanyaanku tadi cuma basa-basi saja. "Kalau pulang terus ke sini lagi, itu wasting time banget. Mending sekalian jalan," sahutnya menaruh piring di atas meja lantas mulai mengeluarkan isi kantong bawaannya. Bau wangi nasi goreng hangat menusuk hidungku. Aku sangat hapal wangi ini. "Ini nasgor yang ada di depan kantor ya?" Danar mengangguk. "Langganan lo." Aku terkekeh. Biasanya kalau kami bertiga lembur, pulangnya kami akan mampir ke warung nasgor Mas Jawir. Ya, itu nama warung yang ada di banner tendanya. Mas Jawir sendiri nama pemilik warung tersebut. "Mas Jawir nanyain lo. Makanya punya lo dikasih ekstra telur ceplok," ujar Danar seraya membuka bungkus nasi gorengku dan menaruhnya di atas piring. "Asik!" seruku sembari menggosok-gosok tangan. Aku baru akan mencomot irisan mentimun ketika tangan Danar dengan cekatan menabok tanganku. Matanya mendelik. "Cuci tangan dulu gih." "Tangan gue bersih ya. Gue baru mandi," dengusku menunjukkan dua telapak tangan ke depan muka lelaki berambut cepak itu. "rambut gue aja masih basah." "Iya, iya. Gulung lagi rambut lo kalau gitu. Jangan sampai lo makan nasi goreng campur tetesan air dari rambut lo." "Rambut gue udah kering kok." dengan sengaja aku mengibaskan rambut. Mengharap Danar akan marah-marah seperti yang kerap Giko lakukan saat aku membuatnya kesal. Namun, ternyata dia tidak mengatakan apa pun selain mendesah dan menggeleng. "Sudah, ini makan. Habiskan biar nggak oleng lagi." Danar mendorong piring nasi gorengku mendekat. Manusia satu ini sama sekali tidak ekspresif. Dari dulu sampai sekarang aku dan Giko kesulitan memberinya kejutan. Kami selalu gagal lantaran yang kami lakukan tidak membuatnya terkejut sama sekali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD