Aku tidak tahu apakah aku harus bersyukur atau malah nelangsa karena lagi-lagi ulang tahunku hanya ditemani dua sohibku yang ganteng-ganteng ini. Padahal aku sangat berharap tahun ini ada seseorang yang mengajakku makan malam romantis dengan musik klasik sebagai pengiring kegiatan makanku. Namun, lagi-lagi aku harus puas makan malam di kafe dengan mereka. Si playboy dan si Kulkas yang sudah dari sejak sekolah menengah atas selalu saja mengikuti ke mana-mana.
Aku meringis. Itu terlalu berlebihan. Mereka tidak mengikutiku. Hanya kebetulan saja lanjut kuliah di tempat yang sama setelahnya. Nyatanya ketika kami lulus kuliah, hanya si Kulkas alias Danar yang bertahan satu kerjaan denganku. Sama-sama satu divisi pula. Dan, si Giko playboy yang sok tampan itu begitu lulus kuliah langsung cabut ke Washington untuk lanjut S2. Namun, seolah Tuhan memang menakdirkan kami untuk selalu bersama, Giko pun akhirnya bergabung di perusahaan tempatku dan Danar bekerja. Di antara puluhan perusahaan ayahnya, Giko malah nyangkut di perusahan ini. Yap! Perusahaan tempat kami bekerja itu milik ayah Giko. Jadi, kamu tahu kan kenapa dia sangat berdedikasi menjadi penyelamat wanita jomlo ini? Menyebalkan. Dia selalu bangga dengan ke-playboy-annya karena dia menganggap sudah mengentaskan kaum jomlowati di muka bumi ini. Astaga, aku juga jomlo tapi sori-sori to say kalau harus menyerahkan diri padanya.
"Tiup lilinnya dong, Beb. Kan umur lo nambah lagi," ujar Giko dengan senyum mengejek. Dia tampak puas melihat lilin angka 28 yang menancap kokoh di atas keik yang dia bawa.
Aku mendorong keik itu ke tengah meja. "Gue bukan anak kecil lagi yang harus tiup lilin untuk merayakan kesialan gue karena jatah umur gue berkurang satu tahun di muka bumi."
"Astaga, Win. Lo tuh harusnya bersyukur lo masih hidup di usia lo yang sekarang ini. Bukannya malah menganggap sial."
Ya Tuhan, ampuni aku. "Ya habisnya lo sengaja banget naruh angka di keik itu. Maksudnya apa coba? Lo mau bilang ke semua orang kalau umur gue nyaris menginjak angka kritis sebagai seorang perempuan?"
Giko menggeleng-geleng. "Wanita dengan prasangkanya." Dia menoleh kepada Danar di sebelahnya. "Lo tau nggak kenapa gue nggak pernah bertahan lama pacaran sama cewek?"
Danar hanya mengedikkan bahu. Dia selalu tidak mau ikut ambil bagian kalau aku dan Giko terlibat perdebatan.
"Mungkin karena lo bertahan lamanya kalau pacaran sama cowok," ujarku asal.
"Sembarangan! Cewek itu ribet dan prasangkanya ngalahin langit tujuh lapis. Nyebelin banget, padahal gue cuma geser ke toilet bentar udah dituduh macam-macam." Giko menyandarkan punggung ke sofa.
"Ya, kalau cowoknya macam lo emang patut curiga sih, Ko. Apa lo lupa cewek terakhir lo itu ketemu di mana?" Aku mengingatkan. Di mana pun Giko berada lelaki itu selalu tebar pesona. Di toilet sekali pun.
"Ya itu kan namanya takdir. Emang gue pernah nyangka bakal ketemu calon pacar gue pertama kali di mana?" Giko mengembangkan tangan. Memang susah ngomong sama playboy kawak macam dia.
"Ngeles aja lo." Aku melirik sebal tidak berharap obrolan ini dilanjutkan.
"Jadi tiup lilin enggak nih?" tanya Danar kalem. Dia tampak jengah mendengar aku dan Giko adu mulut. Pemandangan yang selalu dia lihat saat kami berkumpul.
"Jadi dong. Kan lilinnya udah gue siapin spesial." Giko menyahut jail.
Sumpah, ya, aku ingin sekali menyingkirkan angka 28 itu yang seolah-olah sedang mengejekku.
"Gue nggak mau tiup lilin. Cukup potong kue aja. Jangan rusak acara gue dengan angka-angka itu." Aku bersidekap tangan mengeluarkan jurus andalan. Ngambek.
"Ahelah, gitu aja sensi. Nggak bisa dibecandain lo, kayak cewek," cibir Giko.
Aku mendelik sebal. Danar-lah yang akhirnya menyingkirkan lilin angka itu dari atas keik.
"Sudah, potong kuenya," katanya memberiku pisau kue.
Aku menurut dan memotong kue itu. Karena di depanku cuma ada mereka, otomatis potongan pertama aku kasih ke salah satu dari mereka. Dan pilihanku jatuh ke Danar karena dia tidak rese seperti Giko.
"Lo ya, padahal yang beli keik ini gue. Kenapa lo kasih potongan pertama ke Danar? Giko protes tak terima.
"Kalau lo nggak ngeselin, gue kasih ke elo."
Giko mendengus. Namun, tidak lama kemudian sifat usilnya kumat lagi. Dia mencolek krim pada keik itu dan menempelkannya ke hidungku. Tawanya lantas pecah. Tidak mau kalah aku juga melakukan hal yang sama padanya.
"Astaga, kalian stop dong bercandanya. Kayaknya cuma meja kita aja deh uang rame, yang lain mah enggak," untuk pertama kalinya sejak kedatangan kami ke kafe ini Danar mengomel. Aku dan Giko kontan menoleh ke sekitar kami. Memang ada yang sempat curi pandang ke arah kami sih, tetapi Giko malah mengedikkan bahu.
"Biarin aja, sih. Selamat ulang tahun, Win!" Giko tersenyum lebar seraya mengulurkan tangannya. Dia lantas menarikku ke dalam pelukannya. Oh, bukan. Bukan pelukan selayaknya orang normal, melainkan yang dia peluk itu leherku. Aku rasa dia memang berniat membunuhku di hari ulang tahunku. Kampret memang. Aku menepuk-nepuk keras lengannya agar lepas.
"Geblek lo! Seneng lo ya kalau gue mati?!" omelku begitu Giko melepas pelukannya.
Lelaki sableng itu malah tertawa keras. "Sori, Win. Abis lo gemesin banget kan jadi pengin bunuh."
Dasar sinting! "Arwah gue bakal ngintilin lo seumur hidup kalau itu terjadi," semburku jengkel.
Danar mengulurkan tangan tidak menghiraukan Giko yang masih terus tertawa ngakak.
"Selamat ulang tahun, Win semoga impian lo tercapai," ucap cowok berkulit macho itu. Isi doanya masih sama seperti tahun lalu. Ya, aku paham kalau Danar itu tidak kreatif. Jadi, aku maklum. Aminkan saja.
"Terima kasih, ya, Nar."
Danar itu manusia normal, jadi tentu saja memelukku juga dengan gaya manusia normal pada umumnya.
"Aku nggak bisa kasih apa-apa. Cuma ini aja. Moga kamu suka." Danar menyerahkan sebuah kotak kecil yang terbungkus kertas kado bergambar hati.
"Kok pakai acara kasih kado segala sih? kan biasanya juga enggak." Nyaris tak pernah, selain makan malam dan potong kue.
"Makasih dong, Win. Udah dikasih kado. Itung-itung hiburan lo, karena doa tahun kemaren belum terkabul sama Tuhan." Giko lagi-lagi tersenyum meledek.
Mulut Giko memang isinya racun. Entah ada koslet apa di dalam kepalaku sampai-sampai masih bertahan jadi temannya.
Aku tak menghiraukan ocehannya, dan kembali fokus kepada Danar. "Thanks ya, Nar."
Giko meletakkan sesuatu ke atas meja. Sebuah kotak juga. Ukurannya lebih besar sedikit dibanding kotak dari Danar. "Gue juga punya kado buat lo."
"Kalian pasti udah merencanakan ini."
"Ya iyalah, Win. Kan tadi gue bilang kami mau hibur lo, karena—"
Aku mengangkat tangan. "Stop! Jangan dilanjutkan." Karena aku tahu ujungnya pasti tidak enak didengar.
Giko nyengir. "Buka gih kado dari kami."
Aku tersenyum. Sebenarnya tanpa kado pun aku sudah senang karena mereka ingat ulang tahunku. Bohong kalau aku tidak suka perayaan seperti ini. Aku malah cukup terharu. Karena siapa sih yang tidak terharu mendapatkan perhatian dari mereka? Sahabat-sahabat terbaik yang walaupun terkadang menyebalkan, tapi sering aku butuhkan juga.