"Lo sama Arin meeting ke tempat klien bisa enggak, Win?"
Aku mendongak dan melihat Danar sudah berdiri di depan kubikelku. Sebenarnya aku malas bertemu klien, lalu mempersuasi agar mau bekerja sama dengan kami. Itu kan tugas Danar sebagai manajer.
Lelaki itu menatapku, dengan sorot yang bisa aku artikan 'please, jangan tolak permintaanku', menyebalkan.
"Emang lo mau ke mana?" tanyaku kembali memelototi layar laptop.
"Gue ada seminar di Bogor. Siang ini juga harus berangkat," ujarnya sembari melirik pergelangan tangannya. "Tinggal datang aja sih, nanti juga perusahaan mereka tahu kalau lo memperkenalkan diri. Gue udah buat janji kok."
"Tanya aja sama Arin," aku menunjuk Arin yang sedang berjalan ke arah kami. Dia habis dari mesin fotokopi yang ada di koridor.
"Eh, ada Pak Danar. Kenapa, Pak?" tanya Arin begitu sampai. Wanita rambut sebahu itu lantas masuk ke kubikel.
"Habis makan siang ketemu sama klien ya. Eh bukan klien sih, masih calon," ujar Danar. Aku harap Arin menolak.
"Siap. Apa sih yang enggak buat Bapak?"
Heh?! Sontak aku menoleh padanya. Aku sama cewek berponi itu memang nggak pernah satu hati. Keenggananku nggak sampai padanya.
"Oke, kalian ke Inti Persada. Pake mobil kantor aja."
"Gue belum deal," protesku cepat. Serius, aku lagi mager. Sejak reunian itu nggak ada yang tersisa kecuali rasa iri yang menggunung akibat melihat Tama dah istrinya selalu berdua di acara itu.
"Kalau malas ngomong, biar Arin aja yang ngomong. Lo cukup temani dia. Kasihan kalau cuma Arin sendiri aja." Danar menatapku dan Arin berganti. Mukaku sudah aku asem-asemin, tapi dia tetap memintaku pergi. "Oke, gue harus segera berangkat."
Lelaki jangkung berkulit macho itu lantas kembali ke ruangannya. Dan, sepeninggalnya Danar, aku merasakan gempa tiba-tiba. Dengan kencang Arin mengguncang-guncang lenganku.
"Astaga, Arin. Lo kenapa sih?"
Aku melihat wajahnya yang ingin menjerit namun ditahan. Sesekali mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah. Ekspresi terharu yang aneh.
"Dia perhatian banget kan ke gue? Oh my God. Dia nggak mau gue sendirian," ujarnya dengan ekspresi lebay.
Aku mendesah dan kembali berputar menatap laptop. "Gue kira apaan."
"Aaa! Ya ampun!" Dia kembali menjerit tertahan. "Liat, dia langsung kirim gue email?"
Aku memutar bola mata. Nggak hanya Arin karena gue juga dapat email dari Danar. Isinya ya tentu saja berkas proposal yang bakal kami presentasikan di depan klien agar mereka mau kerjasama dengan perusahaan kita.
"Pelajari tuh, soalnya lo nanti yang bakal presentasi di depan calon klien," ujarku menunjuk laptop Arin.
"Iya, dong. Mungkin ini awal kedekatan gue sama Pak Danar. Siapa tahu gue bakal sering diajak meeting di luar sama dia. So, gue bakal bawa keberhasilan hari ini." Arin berkata penuh semangat di akhir kalimat.
Inti Persada termasuk jenis perusahaan besar yang akan memakai jasa kami sebagai sarana payroll gaji karyawannya. Dan tugas kami meyakinkan mereka agar mau menandatangani perjanjian kerjasama. Aku biasanya ditugaskan untuk mencari perusahaan kelas kakap seperti ini. SDM di dalamnya memiliki potensi besar sebagai calon nasabah untuk produk-produk kami. Setali tiga uang.
Aku dan Arin dibawa masuk oleh salah seorang karyawan dari mereka menuju lantai sepuluh. Karyawan dengan name tag Adi itu bilang kedatangan kami sudah ditunggu.
Sudah ada dua orang ketika kami memasuki sebuah ruangan meeting. Semuanya laki-laki. Mereka menyambut kedatangan kami dan mempersilakan kami duduk. Setelah basa-basi dan memperkenalkan diri, Aku mulai membuka laptop yang sudah aku hubungkan ke layar proyektor.
"Tunggu, Mbak Arin. Manajer kita sebentar lagi datang," cegah salah seorang dari mereka ketika Arin hendak memulai presentasinya.
"Oke, Pak."
Aku yang duduk di samping Arin membuang waktu singkat itu dengan mengecek notifikasi ponsel. Ada pesan dari Danar yang memberiku semangat, dan dia juga bilang baru sampai ke gedung tempatnya seminar.
Aku mendengar pintu terkuak, tapi aku tidak mengangkat wajah dari layar ponsel. Aku sedang berbalas pesan dengan Giko di WA grup kami yang berisi cuma tiga biji orang namun ramenya ngalahin pasar.
"Maaf, ya saya terlambat. Silakan bisa dimulai presentasinya."
Jariku yang sedang mengetik sebuah pesan balasan terhenti. Serta-merta aku mengangkat wajah, dan menoleh ke sumber suara. Di meja paling ujung, aku melihat dia. Yudhistira Pratama tengah duduk manis memperhatikan layar proyektor. Aku bengong untuk beberapa saat, tapi Arin di sampingku segera menyadarkanku.
"Win, mulai," bisiknya gemas.
Aku dengan bodoh mengangguk. Lalu kembali ke layar laptop dengan perasaan tidak tentu arah. Berbagai pertanyaan bersarang di kepalaku. Khususnya tentang keberadaan Tama di sini. Apakah Danar tahu ini? Lalu dengan sengaja mengirimku ke sini? Aku menggeleng. Rasanya tidak mungkin. Tapi sepulang dari sini akan aku pastikan.
Sepanjang Arin presentasi di depan aku hanya bisa diam. Sesekali melihat layar laptop dan mencuri pandang ke arah Tama yang tampak serius. Dia sama sekali tidak heran atau takjub karena bertemu denganku di sini. Tidak ada tanda-tanda itu, dia biasa saja dan fokus memperhatikan penjelasan Arin. Diam-diam aku merasa kecewa. Sampai akhirnya ....
"Ada yang ingin ditanyakan Bapak-Bapak sekalian?" tanya Arin mengakhiri penjelasannya.
Tama di ujung meja menggeleng. "Penjelasan Mbak Arin cukup jelas. Bagaimana dengan yang lain?" tanya dia menatap dua rekannya.
Mereka mengangguk. "Saya cukup jelas sih, Pak. Sangat terperinci penjelasan Mbak Arin. Mungkin kita bisa langsung membicarakan kontrak kerjasamanya," sahut salah satu dari mereka yang duduk tepat di depanku.
Di depan layar, Arin tampak melebarkan senyum. "Oke, Pak. Kami akan segera follow up ke atasan untuk mengurus kontrak kerjasama."
"Tidak sekarang saja Mbak Arin?"
"Biasanya kalau urusan kontrak kerjasama manajer kami langsung yang menangani, Pak."
Pria berkacamata di depanku mengangguk. "Oke, Mbak. Nanti kita atur pertemuan lagi. Jadi, kita tutup rapat ini saja."
Arin langsung setuju. Dia terlihat sangat bahagia dan terus tersenyum lebar ketika orang-orang Inti Persada menyalaminya. Hanya Tama yang masih bertahan di posisinya ketika kedua rekannya keluar.
"Win, gue duluan ke toilet ya. Nanti gue tunggu lo di bawah," bisik Arin, dan tanpa menunggu jawabanku dia sudah kabur duluan. Sehingga aku yang masih membereskan perlengkapan presentasi terjebak satu ruangan dengan Tama.
Aku tidak tahu kenapa dia tidak langsung keluar saat rapat sudah selesai. Apa dia punya waktu selonggar itu? Aku pura-pura tak peduli dengan terus merapikan beberapa alat tulis dan memasukkannya ke dalam tas.
"Ini kebetulan apa gimana sih? Kita dipertemukan lagi."
Aku yang sedang memasukkan laptop ke dalam tas mengangkat wajah lalu tersenyum kecil tanpa berniat menjawab. Dan ketika aku beranjak berdiri serta hendak keluar dari ruang antara rongga dan meja, dia pun melakukan hal yang sama. Seperti sengaja menungguku dia tidak langsung keluar ruangan. Lalu saat langkahku dekat dengannya, dia mengatakan sesuatu yang membuat jantungku hampir berhenti berdetak.
"Senang bertemu kamu lagi, Wina."