Aku melotot ketika melihat flyer pengumuman reuni sekolah dimuat di akun IG alumni sekolah. Ternyata ada dress code untuk menghadiri acara tersebut. Tidak susah. Bagi alumni perempuan menggunakan warna putih, sementara alumni laki-laki warna navy. Dan jenis pakaian tidak ditentukan, yang jelas warnanya sesuaikan.
Aku belum memutuskan akan datang, tapi sudah mengingat apakah aku punya dress warna putih atau enggak. Siapa tahu Danar atau Giko menarikku paksa ke acara itu.
"Nggak pulang lo, Win?" tanya Arin yang sudah siap menenteng tas.
"Iya bentar lagi," sahutku masih meng-stalking komen yang ada di postingan terbaru acara reuni itu. Mataku berbinar ketika akun Tama ikut berkomentar. Lalu aku tertarik untuk komen di bawahnya dengan pertanyaan yang sama. Sejenak aku terkikik.
"Gila lo ya, Win?"
Eh? Aku mendongak. Ternyata Arin masih ada. "Gue pikir lo udah balik, Rin."
"Ini gue mau balik. Udah ah gue cabut. Lo ati-ati jangan ketawa sendirian. Udah sepi ini," ujarnya sembari berlalu.
Aku sontak celingukan. Benar. Hanya aku yang ada di workstation serta OB yang masih tampak mondar-mandir. Aku mengakhiri kegiatanku menekuri IG dan segera membereskan apa-apa yang ada di atas meja.
Aku sudah akan meninggalkan kubikel ketika pintu ruangan Danar terbuka. Manajer Marketing itu penampilannya terlihat sudah tidak serapi pagi tadi. Lengan kemejanya digulung hingga siku, bahkan dasi yang menggantung di kerah lehernya sudah tidak terlihat. Danar melangkah setelah menutup pintu.
"Lo belum pulang, Win?" tanya Danar berjalan mendekat.
"Ini mau balik. Lembur?"
Danar mengangguk. "Pak Reno ngasih banyak kerjaan. Lo pulang bareng Giko?"
"Enggak. Gue naik bus."
Danar yang saat ini berdiri di depan water dispenser menoleh. "Nggak bareng Giko aja?"
"Enggaklah. Dia paling udah balik sama teman kencannya."
"Gue anter aja kalau gitu." Paper cup yang sudah diambil, disimpannya kembali ke tempatnya.
"Nggak usah, Dan. Lo kan lagi sibuk. Udah ah. Gue duluan." Aku melambaikan tangan dan buru-buru meninggalkannya.
Aku memang kerap nebeng Danar atau Giko. Siapa saja yang kebetulan pulang di jam yang sama. Tapi, kalau mereka sibuk nggak mungkin aku mau merepotkan mereka.
"Win!"
Aku menoleh dan mendapati Giko berjalan tergesa ke arahku. Tepatnya mungkin ke lift yang sedang aku tunggu.
"Danar mana?" tanya dia setelah berhasil berdiri di sampingku.
"Masih banyak kerjaan."
Pintu lift terbuka dan kami masuk. Tidak ada siapa pun di dalam selain kami berdua.
"Bilangin dia jangan serius banget kalau kerja. Hidup juga perlu dinikmatin. Nggak heran kalau predikat jomlo masih aja nempel."
Aku berdecak. "Lo ngajak ngobrol jomlo juga by the way."
Giko terkekeh. "Lupa gue," tangannya yang jail dengan iseng mengacak rambutku.
"Giko, gue udah susah payah nyisir nih. Lo berantakin lagi." Aku kembali merapikan rambutku yang berantakan sambil mendumel.
Kebiasaan buruknya bikin aku pengin meng-sleding kepalanya.
"Ahelah, Win. Mau lo rapi atau berantakan nggak ada yang protes."
"Tetep aja penampilan cewek itu harus menarik bahkan di saat jomlo sekali pun. Siapa tau kan ada pangeran lewat tak terduga. Jadi, kalau penampilan oke kan nggak malu-maluin."
Giko mencibir. "Pangeran apaan, Pangeran William?"
Pintu lift terbuka kami lantas berjalan beriringan. Dan, saat tangan Giko melambai, aku tahu dia sedang ditunggu seseorang sekarang. Mataku menyipit melihat wanita berkacamata dengan rambut tergerai.
"Gi, itu Bu Rina?" tanyaku tanpa melepas pandangan dari sosok yang berdiri di depan resepsionis.
"Yoi! Gue duluan ya, Win. Lo bisa pulang sendiri kan?"
Tidak perlu menunggu jawabanku Giko langsung menghampiri Bu Rina. Bahkan tangan lelaki itu langsung menyambar pinggang Bu Rina, lalu keduanya berjalan keluar lobi.
Aku spontan menepuk jidat. "Bahkan tante-tante dia embat juga."
BUTIK LA DEA
Aku sedang memilih baju di sebuah butik salah satu mal ketika mataku tanpa sengaja menangkap sosok bayangan seseorang. Aku bergegas meninggalkan rentengan baju yang sedang aku pilih begitu saja dan beranjak keluar.
Di depan pintu kaca transparan butik tersebut aku celingukan. Aku tidak mungkin salah lihat.
"Nyari siapa sih, Win?" tanya Giko ikut celingukan.
"Tadi gue liat Tam—" aku spontan memejamkan mata. Lupa sesaat bahwa aku datang ke sini bersama Giko. "Enggak. Bukan siapa-siapa. Gue kayaknya salah liat doang. Masuk lagi yuk." Aku menyeret lengan Giko masuk ke butik kembali. Sempat aku menoleh ke belakang lagi. Dan, dari kejauhan aku melihat dia. Hanya sekilas sebelum sosok itu berlalu makin menjauh.
Demi apa! Dadaku berdetak kencang. Padahal manusianya jauh, lalu gimana bisa efeknya sedahsyat ini? Tanpa sadar aku menyentuh dadaku. Dia ternyata ada di Jakarta.
"Lo kesambet apa gimana sih, Win?" Giko meneleng dengan pandangan aneh, menatapku. Lagi-lagi aku lupa sedang bersama playboy cap ayam jago ini.
"Siapa yang kesambet. Gue tadi cuma liat pangeran," sahutku asal sembari kembali menuju hanging stand.
"Hah? Pangeran William beneran ada?"
"Pangeran Will mah udah tua, kalau yang gue liat tadi jauh lebih tampan," ujarku sembari membayangkan wajah tampan Tama. Namun, wajah itu mendadak buyar ketika wajah istrinya ikut nongol.
"Halah, paling juga masih gantengan gue ke mana-mana," Giko berdecih. Dia paling tidak suka kalau aku sudah membahas ketampanan pria lain jika kami sedang bersama. Padahal fungsi dia cuma teman.
"Iya, kalau dilihat dari puncak Monas pake sedotan."
"Heh, sembarangan. Nggak ada yang raguin ketampanan gue ya." Giko tampak tak terima. "Semua cewek bahkan ngantri minta gue ajak kencan."
Aku memutar bola mata. Entah pelet apa yang Giko lempar pada cewek-cewek itu, yang jelas buat aku peletnya nggak bakal mempan.
"Termasuk Bu Rina?"
Giko menggerak-gerakkan alisnya. "By the way gue udah lama banget ngincer dia. Dan akhirnya ketangkep juga. Binal euy di atas ranjang," ujarnya tertawa.
"Gue nggak tertarik denger petualangan ranjang lo."
Biasanya Danar yang selalu dengar cerita-cerita Giko dan wanita-wanitanya. Dengan bangga dia akan memamerkan koleksi kondomnya atau gaya baru yang dia praktekkan bersama partner-nya. Menjijikkan.
"Sekali-kali denger, kali aja lo tertarik nyoba, Win. Gue siap bantu pecahin telur lo."
"Sinting." Aku menabok kepala Giko yang kurang oksigen itu dengan hanger baju.
"Astaga, sakit Win! Pantes lo jomlo. Galak masih dipelihara."
Aku melotot sebelum masuk ke ruang ganti. "Diem lo! Awas kalau ngintip."
Giko melengos. "Sori, emang ada yang bisa gue intip gitu? d**a lo aja rata gitu, apa yang mau gue intipin?"
Setelah mengatakan itu dia ngeloyor pergi ke etalase khusus outfit pria. Aku sendiri sudah menemukan satu dress yang akan aku gunakan nanti di acara reuni sekolah. Meski aku tidak yakin akan datang, persiapan tetap perlu.
Aku keluar dari ruang ganti dengan gaun terusan ruffle sepanjang bawah lutut. Gaun tanpa lengan ini polos di bagian atas hingga pinggang. Lalu merumbai dari pinggang hingga ke bawah lutut. Tidak ada printilan yang menyilaukan mata. Cukup simpel dan aku suka.