lima

1240 Words
SETELAH Papah memutuskan pergi, Mamah memeluk dan memberiku ATM itu, menciumku sebentar dan berlalu ke luar kamar. Aku mematung. Dada ini, Tuhan. Dia sudah tidak kuat menampung rasa sampah-sesak ini. Aku ingin menumpahkan semuanya. Menjerit sekuat tenaga. Mencekik dan mencakar siapa atau apa pun yang bisa kuraih. Aku sakit. Sakitku tidak terlihat. Tetapi aku merasakannya. Teramat sangat. Aku tidak pernah sekalipun berusaha menolak takdirMu. Demi Tuhan, aku tidak pernah. Tetapi kenapa, kenapa Kau senang sekali mengajakku bercanda? Bercanda hanya untuk menghibur, kan? Tetapi Kau melakukannya untuk menghancurkanku. Menjadi kepingan menjijikkan. Aku tidak punya Kakak, yang biasanya akan berperan untuk melindungiku. Aku tidak punya sepupu seperti manusia normal lainnya. Dan kenapa? Kenapa Kau hanya mengizinkan Mamah terlahir sebagai satu-satunya? Kenapa Kau ambil semua Kakek dan Nenekku? Kenapa? Aku berpikir, jika memang Kau tidak berniat untuk memberiku kehidupan yang layak, ambil saja aku. Ambil aku, Mamah, dan Papah. Kumpulkan kami bersama Kakek dan Nenek di sana. Aku tidak meminta tempat yang indah, karena aku tahu Kau tidak menyukaiku. Cukup sampai di sini saja, ya? Aku mohon. Aku mohon, Tuhan. Jangan lagi. Aku tidak akan sanggup. Tetapi aku tahu. Itu terlalu mudah untukku. Terlalu mudah jika aku harus Kau ambil sekarang. Aku tahu Kau tidak ingin itu. Mungkin aku memang harus tetap hidup. Untuk mencari satu saja alasan, kenapa Kau harus memberiku semua ini. Aku butuh Amel. Ya, aku butuh seseorang agar kepalaku tidak pecah saat ini juga. Aku mengusap wajah kasar, mengembuskan napas, lalu beranjak dari kasur. Rumah terasa sangat sepi. Mungkin Mamah sudah pergi. Aku berhenti saat sudah sampai di lantai bawah. Memerhatikan sekitar dalam diam, mengingat semuanya yang pernah terasa indah. Dulu, di ruangan ini, Mika kecil berlarian sembari tertawa lepas. Menangis kencang karena Barbie-nya patah. Lalu, Papah, sang Pangeran, datang dengan senyuman termanis, lengkap dengan baju seragam Pilotnya. "Heii.. Princess Papah kenapa nangis? Mamah mana?" "Barbie-nya patah, Papah. Hikss. Pasti dia kesakitan.." "Nggak, kok. Dia kan pinter kayak Mika. Ini Papah punya yang baru. Mau?" Aku tersenyum tipis. Aku merindukan masa itu. Sedikit. Karena rasa benci dan sesak lebih mendominasi hatiku saat ini. "Mama mau kemana? Mika ikuuutttt." "Heiii. Sini sama Papah aja. Mamah mau kerja dulu. Sama Papah aja ya..." Otak sialan. Kenapa dia terus membongkar lemari ingatanku? Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku dilahirkan bukan untuk menangis, mengemis keindahan masa lalu. Tetapi, aku dilahirkan untuk merasakan semua kesakitan ini. Bukan begitu, Tuhan? Aku membuka pintu perlahan, lalu menguncinya. Saat akan membuka pagar, ponselku berbunyi. Mamah. Mamah: Pesawat Mamah take off sore nanti. Kamu baik-baik, ya.. Jangan nakal di rumah Tante Ira. Mamah sayang Mika. Baik-baik? Alasan apa yang membuatnya bisa memintaku untuk baik-baik saja? Jika dengan menghancurkan semua impianku, masa depan, hidup, itu pantas di sebut 'baik-baik' saja, maka ya. Aku baik-baik saja. Sudah. Aku terhenyak saat mendapati sebuah mobil di depan gerbangku. Siapa? Saat aku tetap mematung di tempat, kulihat seseorang keluar dari dalam mobil itu. Dan, seketika tubuhku bergetar. Tidak. Jangan. Bukan keadaan ini yang ingin kuperlihatkan kepadanya. Bukan. Tuhan, aku mohon. Jangan bermain dengannya. Jangan dia. Dia tidak pantas setitik pun mengetahui kelemahanku. Tidak. Dia terlalu jauh untuk merasakan betapa rusaknya keluarga dan diriku. Setidaknya, aku ingin memperlihatkan senyum manis. Hanya itu yang bisa kubanggakan dan kuberikan untuknya. Jangan.. Dia berjalan mendekati. Langkahnya begitu pelan namun aku tahu kepastiannya. Dia pasti akan sampai di tempatku berdiri dan mematung. Siapa pun yang mempunyai ilmu untuk menghilang, aku mohon selamatkan aku. Aku tidak bercanda. Terkadang aku ingin memiliki ilmu seperti itu. Pasti sangat berguna untuk situasi seperti ini. Aku mati rasa. "Mika...." Suaranya terdengar ragu, dia mengukir senyum tipis. Mataku bahkan tidak bisa lepas dari wajahnya. Kenapa sulit sekali untuk membuka mulut atau sekadar menyunggingkan senyum seperti biasa? "Aku lihat Papahmu pergi dari pagar ini. Terus Mamahmu jalan buru-buru.., Mika..." Aku menoleh kebelakang. Benar. Mamah tidak membawa mobilnya. Kenapa? Apa mobil itu juga sudah terjual? "Ka-kamu ngapain di sini?" Aku bahkan tidak bisa menahan getaran dalam suaraku. Mika tidak selemah ini. Ayolah, aku mohon, kembali pada dirimu yang biasa, Mika... "Aku tahu semuanya... Aku cuma-" "Kamu tahu?" Aku tertawa sinis, menahan panasnya mata yang sudah siap untuk menangis. Aku benci. "Udah puas ngintilin hidup aku? Apa, sih, mau kamu, Galang? Kamu nyuruh Radian deketin aku buat apa? Biar tahu semua kejelekan aku? Dan sekarang puas, kan? Kamu udah tahu semuanya!" Dia bahkan hanya diam. "Kamu tahu Papahku pergi... Mamahku juga... Sekarang kamu boleh ketawa. Sepuasnya." "Udah?" Aku menatapnya bingung. Mengusap mataku kasar. Air mata memang tidak pernah bisa kuajak kompromi. Semuanya memang tidak pernah ada yang mengerti diriku. Bahkan air mata, yang merupakan benda mati pun, sangat senang melihatku menderita. Aku tidak akan mau berteman dengannya lagi. "Sekarang aku boleh peluk kamu?" Mataku membulat, namun hanya untuk sesaat. Karena setelahnya, kesadaranku kembali normal. Dia menganggapku lemah? Dia salah! Aku tidak butuh orang-orang sepertinya. "Mau lo apa, sih?!" "Aku mau peluk kamu. Aku tahu kamu butuh itu," ucapnya yakin. Aku membuang pandangan. Tatapannya menghanyutkan. Orang yang beriman lemah sepertiku tidak akan kuat bersitatap terlalu lama dengannya. "Gue nggak butuh," ucapku sinis. Aku berusaha sekuat mungkin untuk berani menatapnya. Jangan mau kalah, Mika. Dia masih menatapku dengan tatapan yang sama. Dia ini manusia atau apa? Kenapa tidak ada rasa kesal atau sekadar kecewa dengan penolakanku? Oh, playboy sepertinya mungkin sudah terlalu sering menghadapi perempuan murahan layaknya diriku. "Mau Radian yang meluk? Kalau kamu canggung sama aku, sama Radian nggak apa-apa. Pelukan bisa menenangkan, Mika. Dan kamu butuh itu sekarang." Dia menoleh ke arah mobil. Aku terus mengikuti tatapannya. "Yan.. Keluar bentar..." Aku mendelik. Setelah Galang mengatakan kalimat serunya, Radian keluar dari mobil dengan senyuman hangat seperti biasa. Aku bahkan melihat dia tertawa kecil saat menatap Galang dan mengangkat tangan untuk menyapaku. "Butuh pelukan sekarang?" Dia merentangkan kedua tangannya, memintaku untuk mendekat. Senyuman hangat, yang biasanya menenangkan, sekarang terlihat seperti senyuman iblis di mataku. Aku menatap mereka bergantian. Tanganku bahkan mengepal kuat, bersiap untuk menghantam wajah mereka berkali-kali. "Gue serendah itu, ya?" Aku tertawa kecil. Menyembunyikan kebencian yang teramat sangat. "Segitu nggak berharganya seorang Mika Andrafia, sampai harus ada dua cowok yang siap menghiburnya?" Radian gelagapan. Berkali-kali ia menggelengkan kepala. Dan berjalan mendekat ke arahku. Namun aku segera melarangnya lewat gerakan tangan. Sedang Galang, aku bahkan tidak bisa mengartikan arti tatapannya. Dia begitu tak tertebak. Aku merasa seperti sedang berada di labirin saat berusaha untuk memahaminya. Aku mengangkat tangan di udara, meminta Radian untuk tidak mendekat. Kenapa semua orang tidak pernah mendengarkan aku?! "Kalian boleh tahu semuanya. Boleh tahu seberapa buruk hidup gue. Seberapa berantakkannya pergaulan gue. Seberapa menyedihkannya gue saat ini. Bahkan..." Aku menarik napas sejenak. "... Seberapa murahan gue, karena dengan mudahnya percaya sama lo berdua. Tapi gue nggak butuh kalian. Kalian memuakkan." Sebelum mereka sempat menjawab, aku lebih dulu menutup gerbang. Aku tidak akan kemana-mana sampai mereka berdua pergi. Apa yang mereka pikirkan? Galang? Ya ampun. Aku bahkan tadi sempat tersentuh dan merasa malu saat melihat dia ada di sini. Tetapi, dia meminta Radian untuk memelukku? Apa maksudnya? Apa dia benar-benar berpikir aku sangat murahan karena tubuhku? Kupikir mereka sedikit berbeda, ternyata sama bajiangannya. "Mikaa.. Dengerin dulu.. Gue cuma, gue sama Galang nggak bermaksud apa pun. Gue turut sedih.." Aku menutup mata, menarik napas sebanyak mungkin, agar paru-paruku dapat bekerja dengan baik. "Pergi!" Aku berlari ke dalam rumah. Megunci pintu dan berjalan menuju kamar. Aku harus meminta Amel dan Marsya datang ke sini. Aku butuh mereka. Sangat butuh. Harusnya aku sadar, kalau Tuhan tidak akan sebaik itu dengan mengirimku seorang lekaki yang sebelumnya kuanggap 'tulus'.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD