sembilan

1103 Words
WEEKEND kali ini aku hanya ingin menghabiskannya di dalam kamar. Bila perlu tidak usah makan dan mandi. Aku sudah memberitahu Amel dan Marsya, kalau aku tidak ingin keluar. Galang. Ya, sejak insiden -kecupan-sialan itu, aku sedikit merasa aneh. Maksudku, Galang semakin berani dan terang-terangan. Oke, hanya pesan singkat. Tetapi itu menjadi tidak biasa mengingat dia beberapa bulan lalu. Dia bertingkah seolah sekarang sudah mengenalku lama. Aku memandangi coklat pemberian Galang. Jangan mengejeku, aku memang hanya memakannya dua buah. Sisanya aku simpan, untuk momen-momen seperti ini. Saat aku merindukannya. Sedikit. Dia tidak seramah Radian, dia tidak setampan Radian, dia tidak memiliki lubang di pipi seperti Radian. Tapi, dia punya senyuman lebar yang jarang sekali ia keluarkan. Namun, karena kemarin aku melihatnya sekali, kurasa aku sudah gila. Senyuman lebarnya itu berputar terus-menerus di depan wajahku. Terasa nyata. Galang istimewa dengan caranya sendiri. Aku mengakuinya.... Sudah kubilang, aku ini gadis kopong. Jadi, saat ada lelaki yang masuk ke dalam hidupku sedikit saja, aku tidak bisa lepas darinya. Untuk itu, aku takut untuk terlalu mengikat Galang di dalam diriku. Aku takut aku tidak bisa melepaskannya. Aku takut akan menyakitnya.... Aku takut menyakiti diri sendiri karena ketergantunganku padanya. Ya, aku sangat takut. Niatku untuk tidak keluar kamar sama sekali sepertinya tidak sepenuhnya terlaksana. Tenggorokanku tiba-tiba terasa kering, dan aku tidak menemukan minuman di sekitarku. Itu berarti aku harus turun, kan? Aku mematung, saat sudah sampai di tengah-tengah tangga.... Di sana.... Ada seorang perempuan sedang duduk di sofa depan televisi. Rambutnya panjang, berwarna cokelat seperti milikku. Ada sentuhan ikal di ujungnya. Dia pasti sangat cantik hari ini. Mengabaikannya, aku tetap berjalan ke dapur. Niat awalku adalah mengambil air mineral, bukan menyapa perempuan itu. "Mikaa...." Aku berhenti, menolehkan kepala, menatapnya. Dia tersenyum tipis. Bibirnya yang penuh bewarna cokelat itu terlihat sangat cantik di wajahnya. Dia sangat cantik. Aku mengakui. "Apa kabar?" Aku buruk, seburuk-buruknya orang buruk. "Baik." "Tante masak tumis kangkung, bandeng presto sama sambal terasi. Kesukaan kamu, kan?" Dia berdiri, berjalan ke arahku. "Tadi Tante mau bangunin kamu, tapi kata Papah, kamu seneng di kamar aja kalau weekend." Aku tersenyum tipis. "Makasih." Lalu berbalik, melanjutkan langkahku ke dapur. Mataku melirik ke arah meja makan. Benar, di sana sudah ada makanan yang ia sebutkan tadi. Semuanya. Dia seperti Mamah, pandai memasak. Makanan kesukaanku. Aku menuangkan air ke dalam gelas, lalu meneguknya hingga habis. "Mau temenin Tante makan?" Aku menoleh, diam sejenak, lalu berjalan mendekatinya. Menarik salah satu kursi di seberangnya. Lalu mulai mengambil nasi dan sayur itu. Kami makan dalam diam, tenggelam bersama pemikiran otak masing-masing. "Kenapa nggak ikut Mamah, Mika?" Aku menatapnya datar. "Aku nggak suka tinggal di Papua." Aku juga nggak mau tinggal bareng Mamah atau pun Papah. Setelah itu, suasana kembali hening. Hanya dentingan sendok yang terdengar di telingaku. Tante Citra ini orang yang baik. Tidak seperti film perselingkuhan yang sering kutonton. Mereka akan dengan tak bermoral, mencaci, menghina istri dan anak pacarnya. Maksudku, seperti Tante Citra ini, dia bisa saja mencaciku dan Mamah. Tapi tidak. Dia tidak pernah berkata kasar, baik kepadaku atau pun Mamah. Justru Mamah yang membentaknya saat dia dibawa pertama kali ke rumah oleh Papah. Bahkan, Mamah pernah menampar dan menjambak rambutnya. Tetapi Tante Citra hanya diam. Tidak menangis atau pun melawan. Sampai Papah yang membatunya. Mungkin dia merasa bersalah telah merebut suami orang. Lamunanku buyar, saat mendengar suara bel. Aku meletakkan sendok di atas piring yang sudah kosong. Maafkan karena tadi aku sempat mengatakan tidak mau makan. Aku mengernyit bingung, saat mendapati lelaki yang berumur sekitar 40-an, jika aku boleh menebak, berdiri di hadapanku sekarang. "Pagi, ini benar rumahnya Ibu Olivia Sukmawati?" Aku mengangguk. Dia tersenyum kikuk, lalu menyodorkan kertas. Apa ini? "Saya ke sini mau ambil mobil beliau. Kami sudah melakukan transaksinya minggu lalu. Surat-suratnya juga sudah ada bersama saya." Oh. "Mobilnya di garasi." Dia mengangguk. Lalu berjalan mengikuti arah telunjukku. Apa dia sudah menerima kuncinya? Aku mengikutinya di belakang. Sampai di garasi, dia berbalik menghadapku. "Makasih, ya, Mbak. Saya permisi." Aku mengangguk. Suara mesin mobil dinyalakan. Setelah beberapa menit aku menunggu tapi dia tidak juga berjalan, aku meninggalkannya masuk ke rumah. Mungkin dia sedang memanasi mesin mobilnya. Terserah. "Siapa, Sayang?" "Pembeli mobil Mamah." Setelah menjawab pertanyaannya, aku berjalan, menaiki tangga. Namun beberapa detik kemudian, aku menoleh ke belakang. "Tante?" "Ya?" "Makasih masakannya." Dia tersenyum lebar, dan menganggukan kepalanya cepat. Aku merebahkan diriku kembali di atas kasur. Apa yang dilakukan Marsya dan Amel saat ini? Apa mereka pergi ke Mall? Ah! Jika tidak salah ingat, kemarin Radian bilang kalau dia akan mengajak Marsya ke bioskop. Aku meraih ponsel, dan mengetikkan sesuatu di grup w******p. Mika: Marsya jadi nonton? Tidak ada yang menjawab. Sepertinya mereka sedang tidak online. Marsya: Gue di php-in. Dia malah main futsal sama temen-temen SMPnya. Fak banget pokoknya. Mika: Serius???? Wah, lo kurang gencar kaliiii. Marsya: Apaan? Gue udah nanya terus jadi apa nggaknya. Dia malah bilang "Maaf banget, nggak bisa weekend ini. Jangan marah, nanti nggak manis lagi." Anjing banget kan? Aku tertawa membaca chat terakhir Marsya. Radian memang sialan. Aku benar-benar khawatir dia hanya mempermainkan Marsya. Apa bedanya sama lo, Mik? Oke. Galang dan Radian memang sama saja. Mika: Kalau gitu. Sekarang, lo jarus pasang benteng. Jangan mau kelihatan murah, walaupun emang murah sih. Marsya: Taikk lu. Typo mulu lo, Mik. Kursusin dulu tuh jari. Amel: BERISIK! Lagi klimaksnya nih. Si Romi jadi ngambek kan. Marsya: Aku kembali tertawa. Dalam keadaan apa pun, mereka memang sanggup menyembuhkan lukaku. Suara ketukan pintu, membuatku mengurungkan niat untuk membalas pesan Amel. Memilih untuk mengunci layar dan meletakkan ponsel di sampingku. Papah masuk. "Papah boleh ngomong sebentar?" Aku mengangguk. Papah menggengam tanganku erat. Tangannya terasa dingin. "Jangan benci Mamah, Mika. Papah pengin kamu ikut Mamah." "Makasih. Tapi ini rumahku." Papah tersenyum tipis, kemudian menatapku serius. "Papah sama Tante Citra akan menikah dan tinggal di Bogor. Kalau nanti Mamah ke Jakarta, kamu ikut dia, ya?" Aku menggeleng. "Mamahmu sebatang kara di sini. Orang tuanya meninggal. Dan Papah cuma punya Tante Ira. Kamu bisa ke sana." Aku tidak bergeming. Papah memelukku erat, menciumi seluruh wajahku tanpa terlewat satu pun. Kalau dulu, saat Papah melakukan ini, aku akan tertawa kencang dan memintanya lagi dan lagi. Sekarang, di setiap kecupannya, aku merasa Papah seperti menanamkan satu luka. Terakhir, Papah mencium keningku. Kali ini cukup lama. Sembari membisikan kalau dia mencintaiku. Papah menjauhkan wajahnya, menatapku dalam diam. Aku memberanikan diri untuk balas menatapnya. Merekam semua inci di wajah tampan itu. Aku akan merindukannya. Sedikit. Tetapi aku akan merindukannya. Aku meggerakan mataku ke atas, menghalau air mata yang siap mengalir. Sekali lagi, Papah memelukku, dan berbisik pelan, "Jangan benci Mamah." Kemudian pergi meninggalkan kamar. Siapa pun katakan, bagaimana caranya agar aku tidak membenci Mamah dan Papah?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD