tujuh

832 Words
AKU membeku. Berdiri di antara kerumunan orang yang hanya mematung, menonton pergulatan dua manusia di tengah-tengah kami. Aku ingin berteriak... Apa mereka semua tidak bisa menghentikan semua ini? Kumohon... Cairan kental itu menghiasi bibir Firman, namun tidak ada tanda kalau dia akan mengalah. Aku memekik tertahan. Firman memberi satu pukulan keras di wajah Galang, membuat tubuh kecilnya terjerembab ke belakang. "Apa-apaan ini?! Kenapa malah jadi tontonan?" Semua mata menoleh ke sumber suara. Pak Agus. Guru Olahraga yang terkenal kejam. Menghukum para murid untuk lari lapangan minimal sepuluh putaran. "Berhenti! Galang! Firman!" Pak Agus sudah berdiri di antara keduanya. "Memalukan...." Aku melihat tangan Galang yang memerah itu mengepal kuat. Saat dia membuang pandangan dan justru bertemu dengan mataku...., dia tidak langsung mengalihkan tatapannya. Banyak luka di wajahnya... Aku tahu itu akan menjadi lebam dan sangat sakit. Kenapa mereka bertengkar? "Ikut keruangan saya..." Pak Agus menatap keduanya sengit, lalu berjalan meninggalkan kerumunan. Aku bisa mendengarkan napas memburu Pak Agus saat dia melewatiku. Disusul Firman yang sama sekali tak mau repot untuk menatapku barang sekilas. Dia.... Saat dia berjalan, semuanya terasa begitu lama. Semakin dekat, aku bisa melihat lukanya dengan jelas. Aku meringis. Itu pasti sakit sekali.... Kenapa dia sebodoh itu? Dimana Radian? Aku berjengit, saat merasakan tanganku digenggam... Dia.. Dia menggenggam tanganku erat. Aku selalu gagal memahami tatapannya. "Maaf...." Dia bergumam lirih. Sebelum aku sempat bertanya, dia lebih dulu berlalu mengikuti Pak Agus. Aku mengusap wajahku dengan kasar. Tuhan.... "Menurut lo, mereka kenapa, ya, Mik?" Aku menoleh, Marsya sedang menatap kepergian mereka. "Entahlah." Kami bertiga hanya diam, mematung. Amel mengelus pundakku pelan. Menenangkan. Saat aku akan berjalan, aku mendengar bisikan kecil dari dua orang yang melewati kami. "Katanya gara-gara Firman yang nyebarin gosip kalau orang tua Mika pisah. Makanya Galang ngamuk. Keren, ya?" "Apaan yang keren! Serem iya. Baru kali ini gue lihat Galang kayak gitu. Btw, bukan gosip kali..." "Iya, sih. Emang katanya orang tuanya pisah.." Sebelum terlalu banyak kalimat yang kudengar, aku segera mempercepat langkahku, menjauh. . . . . RADIAN menatapku, menuntut penjelasan mengenai perkelahian Firman dan Galang. Tadi, saat adegan itu, dia sedang memberikan arahan kepada calon model untuk projek baru mereka. Mengingat hanya dialah satu-satunya yang bisa dikatakan normal, maka aku percaya. "Ya... intinya gitu, Yan.... Kita lagi di kelas, ada yang ngasih tahu kalau mereka berantem. Selesai. Kita mah nggak tahu apa-apa." Sejak tadi juga, hanya Amel yang sanggup bersuara. Aku sangat bersyukur dia ada di sini. Karena aku sedang bingung, jujur saja. Marsya, dia hanya menatapku dan Amel bergantian. Biasanya, dia yang paling cerewet untuk bercerita, tetapi karena ini Radian, dia jadi putri malu. Sungguh sayang. Lihatlah, dia bahkan duduk dengan sangat baik. Kakinya ia rapatkan, tidak bersuara sama sekali. "Kamu tahu nggak, Marsya?" Radian menatap Marsya....., lembut? Marsya jelas terlihat terkejut. Pertanyaan tiba-tiba dari seseorang yang spesial untuk kita, bukanlah hal yang baik. "A...aku? Umm, gitu. He-he. Sama kayal Amel. Tahu mereka berantem, tapi nggak tahu karena apa. Karena Mika mungkin?" Dia melirik ke arahku. "Kok gue?" Amel berdecak. "Dia, kan, emang suka berspekulasi seenak dia, Mik. Nggak usah di dengerin...." Aku melihat Radian tersenyum tipis, kemudian berdiri dari duduknya. "Jaga kesehatan, ya, Mik.... Jangan buat dia tambah stres." Aku tahu dia siapa yang dimaksud. "Mel, jagain temen lo." Amel mendengus, "Gue nggak sebodoh itu, sampe harus diingetin!" Radian mengubah senyumnya menjadi tawa kecil. Lalu menoleh ke arah Marsya. "Aku nyusul mereka dulu, ya...," ucapnya pelan, sembari mengacak rambut Marsya. Kemudian berjalan pergi. "Woo woo.....! Apa yang gue lewatin?" Amel menatap Marsya penuh selidik. Aku ingin tertawa, saat melihat Marsya bergerak gelisah di tempatnya. Dia sesekali nyengir, menggeleng, dan menatap kami memelas. "Gue nggak tahu... Argh! Gue yakin, dia cuma mau buat gue ge-er. Sebel!" "Bohong! Bilang sejak kapan?" Amel tetap gencar mengorek informasi dari Marsya. Marsya mencebikkan bibirnya. "Gue serius. Semalem, chat-nya juga masih biasa aja. Arghh kenapa, sih, cowok tuh susah dimengerti?" "Hahaha... Serius, deh, Sya. Radian mulai luluh sama lo. Tatapannya beda setiap dia natap lo." Aku tidak berbohong. Entah sejak kapan, tapi aku yakin, sebentar lagi Marsya akan mendapatkan Pangeran impiannya. "Mikaaaa.... lo jangan buat gue ge-er. Dia juga natap lo beda." "Najis lo!" Amel menoyor kepala Marsya kuat. Ya, sejak aku menjadi model Radian dan kelompoknya itu, Marsya selalu menuding kalau Radian menyukaiku. Di antara ketiganya, memang hanya Radian yang memperlakukanku dengan baik. "Wait... Kalau emang bener mereka berantem karena Mika.. Berarti Firman juga suka sama Mika, dong?" Marsya memutar matanya ke arahku dan Amel bergantian. "Gue pikir, Firman nggak suka sama Mika, deh. Lo denger, kan, tadi anak-anak bilang? Dia yang nyebarin berita itu..." Amel bersuara sangat yakin. Aku menoleh ke arah Amel. Dia benar. Sepenuhnya benar. "Sebenernya..." Aku menceritakan kejadian tadi pagi, saat bertemu dengan Firman di koridor. Bagaimana dia terlihat tidak menyukaiku. Dan kalimatnya yang sedikit menyentil hatiku. Sedikit. "Ihhhhh belagu banget. Sok ganteng. Padahal nggak ada apa-apanya dibanding Radian. Ya Allah amit-amit..." Marsya terus menggerutu. Amel berdeham, "Mungkin, setelah ini ekskul fotografi tinggal Radian sama Galang.... Berantemnya nggak banget, deh. A bad boy VS a good boy."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD