Bab 2-Prasangka

944 Words
"Kak! Kak Kevin!" Teriak Angel sambil mencari-cari sosok sang kakak di rumah luas dan elegan itu. Ia sudah lama tidak bertemu dengan Kevin, kakak yang dirindukannya, setelah lama berada di luar negeri. "Hmm... Ada apa, Dek?" Kevin yang baru saja turun dari lantai dua menatap adiknya, tersenyum kecil melihat Angel yang berlari mendekat. "Kak, Kakak mau ke mal, kan? Angel mau nebeng, ya? Sekalian mau ketemu teman di sana," ujar Angel dengan mata berbinar, menampakkan ekspresi manja. Kevin mengangguk. "Boleh, Kakak juga cuma mau keliling mal dulu. Hari Senin baru resmi masuk kantor dan perkenalan staf," jawab Kevin sambil mengusap lembut kepala adiknya yang manja. "Kalau begitu, Angel siap-siap dulu ya, Kak!" Angel pun langsung berlari kecil ke arah kamarnya. Begitu sunyi kembali, ponsel Kevin bergetar, memperlihatkan sebuah nama yang dulu ia kenal sangat baik. Wajah Kevin langsung berubah dingin. Ia memandangi layar, lalu menolak panggilan itu. Namun panggilan berulang, dan Kevin pun akhirnya menjawab. “Hm, kenapa?” suaranya dingin. “Vin, aku mohon maaf. Itu cuma salah paham. Beri aku kesempatan untuk memperbaikinya... Aku masih sayang sama kamu, Vin…” ujar sebuah suara wanita dari seberang telepon. “Habis sudah. Semua selesai di antara kita, Liliana. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan,” jawab Kevin tegas, mematikan telepon tanpa sedikit pun ragu. Telepon itu datang dari Liliana, mantan kekasih yang pernah menjadi cinta besarnya saat di Singapura. Hubungan mereka kandas setelah sebuah pengkhianatan yang meninggalkan luka mendalam. --- Suatu malam di Singapura, Kevin telah mempersiapkan sebuah kejutan untuk ulang tahun Liliana: cincin dan lamaran yang sudah lama ia rencanakan. Malam itu, ia sengaja membuat alasan tak bisa menemaninya, berpura-pura sedang di luar negeri. Namun, begitu ia masuk ke apartemen, Kevin terkejut mendapati Liliana bersama seorang pria, saling membelai di sofa. “Ahh… uhh… Mark…” suara bisikan penuh gairah itu terdengar jelas saat Kevin memutar gagang pintu. Seketika Kevin mendorong pintu dengan keras. “LILIANA! APA-APAAN INI?!” Suara Kevin yang penuh emosi menggema di ruangan, menghentikan keduanya. Liliana berhambur ke arah Kevin, wajahnya pucat saat menyadari situasi memalukan itu. “Vin, ini… ini cuma salah paham…” suaranya bergetar, berusaha mencari alasan. Kevin menatapnya tajam. “Menjijikkan! Kau bukan siapa-siapa lagi buatku,” ucapnya dingin, melangkah pergi meninggalkan Liliana yang jatuh tersungkur, tersisa rasa sakit mendalam yang mengubah Kevin untuk selamanya. --- Dalam perjalanan menuju mal, Angel sibuk bercerita dengan penuh antusias. "Kak, nanti Angel mau ketemu teman sebentar ya, habis itu kita makan siang bareng?” Kevin tersenyum lembut. Setelah bertahun-tahun di Singapura untuk melanjutkan pendidikan dan mengurus bisnis keluarga, ia akhirnya bisa kembali menghabiskan waktu bersama adik kesayangannya. “Tenang aja, Kakak akan menunggu. Apa pun buat adik cantik Kakak,” ucap Kevin, mengusap kepala Angel penuh sayang. Begitu tiba di depan butik Eliza, Angel turun dengan semangat. "Kak, jemput Angel di sini nanti ya?" ujar Angel riang. "Ok, Dek. Kakak keliling sebentar." Kevin melemparkan senyum kecil sebelum meninggalkan Angel. Kevin pun berjalan berkeliling di dalam mal, menatap gedung tempat kantor pusat yang akan ia pimpin. Namun, tanpa disangka, sesuatu yang lembut dan hangat menabrak dadanya. “Maaf, Om!” suara seorang gadis terdengar serak namun lembut, dan Kevin mendapati seorang gadis muda dengan hidung merah dan wajah salah tingkah, tampak canggung di depannya. Kevin sedikit tertegun melihat tingkahnya yang malu-malu. “Gak apa-apa. Tapi, kayaknya kamu yang kenapa-napa.” Ia merendahkan pandangannya, menyentuh ujung hidung gadis itu dengan iseng. Melihat wajah gadis itu memerah, ada sesuatu yang bergetar dalam diri Kevin—sensasi yang sudah lama tidak ia rasakan. “Ah, iya, Om. Maaf ya…” jawab gadis itu, tersenyum kecil sebelum berlalu cepat, meninggalkan Kevin yang terdiam dalam perasaan asing yang tak jelas. --- Tak lama kemudian, Kevin menerima sebuah pesan dari seseorang di ponselnya. “Aku sudah di VVIP Room, sayang,” demikian pesan itu berbunyi. Kevin menuju ruang karaoke VVIP yang berada di salah satu sudut mal. Begitu ia membuka pintu, seorang wanita berpakaian minim segera menghampirinya. Tanpa aba-aba, wanita itu menyambutnya dengan pelukan erat, bibirnya menempel ke bibir Kevin, lalu melumatnya dengan panas. Kevin membalas ciuman itu sambil mengarahkan wanita itu menuju sofa yang empuk. Dalam waktu singkat, pakaian yang dikenakan mereka berdua sudah berserakan. Wanita itu terbaring di bawahnya, sementara Kevin melumat lehernya, membiarkan tangannya menjelajah kulitnya yang lembut. Tangan Kevin mulai mengangkat rok mini wanita itu, melirik untuk memastikan ia siap. “Kevin…” desah wanita itu serak, menikmati setiap sentuhan Kevin. Kevin mengarahkan dirinya dengan cekatan, tubuhnya semakin dalam menjelajahi wilayah-wilayah tersembunyi sang wanita, memenuhi ruangan dengan suara napas mereka yang semakin cepat. "Ahh… Kevin…" gumam wanita itu saat mencapai puncak kepuasan. Kevin tersenyum tipis, membersihkan tangannya, lalu segera membereskan pakaiannya. "Transferan sudah masuk, kan?" ucap Kevin tanpa basa-basi, seraya mengambil jasnya. Wanita itu mengangguk, tersenyum puas sambil melirik layar ponselnya yang menunjukkan saldo besar masuk ke rekeningnya. “Tentu saja, sayang.” Kevin berlalu tanpa berkata apa-apa lagi, membiarkan wanita itu dalam ruangannya. Bagi Kevin, semua hanyalah rutinitas biasa—tanpa perasaan, tanpa makna. --- Kevin tiba kembali di depan butik Eliza untuk menjemput Angel, namun mendapati pintu terkunci. Ia melihat Eliza tengah berbicara dengan seorang pria yang dikenalnya, Aldi. Tanpa sadar, Kevin berdiri dan mendengar pembicaraan mereka dari jauh. Tak lama kemudian, telepon Eliza berdering dan Kevin mendengar Eliza berbicara dengan nada yang membuatnya salah paham. “Wanita macam apa ini, baru saja bersama sahabatku, sekarang sudah ada pria lain?” pikir Kevin, matanya menyipit penuh sinis. Kenangan buruk tentang Liliana muncul kembali dalam pikirannya. “Kalau itu maumu, Eliza,” gumamnya penuh amarah. Ia berbalik dan melangkah pergi, menyusun rencana di dalam pikirannya yang penuh dendam dan godaan yang kini berubah menjadi keinginan membalas perasaannya yang tak terbalas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD