Wanita Masa Lalu

1113 Words
“Kamu nggak papa acaranya seharian?” “Nggak papa, mas. Ibu bilang aku hanya duduk, kalau lelah aku bisa masuk kamar.” Acara tujuh bulanan dilaksanakan sesuai dengan rencana, Gina tidak ikut dalam persiapan apapun karena semua sudah ditangani mertuanya. Gina hanya duduk manis tanpa melakukan apapun nantinya, ditambah lagi jika lelah bisa istirahat di kamar. “Kamu duduk disini aja, nggak perlu ngapa-ngapain. Umi, saya tinggal dulu ke belakang.” “Saya bantu saja, bu.” Gina melihat pembicaraan mereka dimana mertuanya menolak bantuan uminya, tapi akhirnya umi hanya bisa duduk disampingnya atas permintaan ibu mertuanya. Orang luar jika melihat akan menganggap Gina sebagai menantu yang beruntung mendapatkan mertua dan suami yang sayang, apa yang tampak luar sangat berbeda jauh dengan kesehariannya dan Gina tidak akan cerita pada siapapun termasuk orang tuanya. Acara tujuh bulanan yang berisi pengajian berjalan lancar, Gina setidaknya tidak mengalami sesuatu sama sekali, rasa lelah juga tidak dirasakannya sama sekali. Menyalami beberapa tamu yang mengucapkan selamat padanya dan keluarga mertua, tidak hanya ucapan selamat tapi juga doa sebelum mereka pulang yang hanya dijawab Amin dan senyuman. “Fierly, di depan ada Nadia.” Gina mengerutkan keningnya mendengar nama wanita yang disebut ibu mertuanya, lidahnya ingin bertanya tapi tidak bisa disamping itu orang tua dan saudaranya ada disampingnya. Gina mencoba tidak peduli atas apa yang dilakukan suaminya, kehadiran keluarganya lebih penting dibandingkan yang lain. “Nanti kabari kalau butuh apa-apa.” Gina menemani keluarganya keluar menuju mobil, sudut matanya melihat Fierly dengan wanita tapi tidak lama langsung melangkah kearah Gina untuk menemaninya ke mobil keluarganya. Mencium punggung orang tuanya sebelum masuk kedalam mobil, kesedihan menghampiri Gina saat melihat mobil yang membawa keluarganya menjauh. “Mas sama siapa?” tanya Gina saat mereka berjalan berdua. “Nadia.” “Kemana dia?” Gina menatap sekitar dan tidak menemukannya. “Kamu nggak lelah? Mau diantar kamar?” tanya Fierly tidak peduli dengan pertanyaan Gina tentang Nadia. “Aku makan dulu tadi belum makan, mas.” Langkah mereka menuju meja makan, melihat kedatangan Gina seketika asisten rumah langsung menyiapkan makanan. Gina makan dengan Fierly berada disampingnya melakukan hal yang sama, rasa penasaran ketika tidak melihat keberadaan wanita yang bernama Nadia, harusnya menghampirinya untuk mengucapkan selamat bukan hanya bertemu suaminya. Curiga? Sedikit, pasalnya hal tersebut sangat tidak etis sama sekali. “Udah?” tanya Fierly lembut. “Ibu sama mbak-mbak kemana?” Gina menatap sekitar. “Ibu masih di dapur, mbak habis ini balik ke rumah. Mau istirahat atau gimana?” “Teman mas memang sudah pulang? Aku padahal mau ketemu, harusnya kan datangi aku bukan langsung pulang.” Gina mengatakan apa yang ada dalam isi kepalanya. Fierly terdiam menatap Gina seakan berpikir jawaban yang aman atau tidak menyakitinya “Masih disini, mungkin sama ibu di belakang.” “Memang dia apanya mas?” Gina menatap penasaran. Otaknya mencoba mengingat tentang nama dan juga wajah dari wanita yang bernama Nadia, menutup mulutnya saat mengingat tentang wanita itu. Menatap Fierly yang hanya diam tidak bisa menjawab pertanyaan Gina, pertanyaan selanjutnya adalah hubugan apa yang mereka jalin saat ini. Gina masih ingat ketika Darwin, suami Erlin. Darwin waktu itu bilang jika Fierly ditinggal menikah, alasan wanita itu meninggalkan Fierly sampai sekarang tidak ada yang tahu dan mereka teman-temannya tidak ada yang membahas karena mereka berdua sudah dengan pasangan masing-masing. “Datang sama suami?” Fielry menggelengkan kepalanya “Lalu? Suaminya kemana?” “Nggak tahu, tadi nggak tanya dan kita bicarakan hal lain.” Fierly mengambil jawaban aman. “Hal lain? Apaan? Mengenang kejadian masa lalu?” Gina mengangkat alisnya. “Udah ya, sayang. Kamu butuh istirahat, nggak usah bahas tentang Nadia.” Fierly menghentikan pembahasan tentang sang mantan. “Memang dia nggak ada niat ketemu atau lihat aku? Acara ini bukannya tujuh bulanan? Harusnya ketemu sama aku.” Sebenarnya tidak ada keinginan bertemu, tampaknya wanita yang menjadi masa lalu Fierly memang datang bukan untuknya, entah apa saja yang mereka bicarakan tapi tampaknya sesuatu yang membuat Gina berpikir negatif. “Aku keatas sendiri saja, mas nggak usah anter.” Gina memutuskan ke kamar sendiri ketika tidak mendapatkan jawaban sama sekali tentang mantan suaminya. Berjalan meninggalkan suaminya dengan pelan, langkahnya menuju keatas dengan menaiki lantai satu per satu dengan pelan dan tampaknya sang suami benar-benar tidak mengikuti langkahnya. Membalikkan badannya saat sudah berada di anak tangga terakhir setelah berjalan ke tempat aman, melihat ke tempat dimana tadi berpisah dengan Fierly. Menatap sekitar dan tampaknya tidak menemukan sang suami dimanapun, tapi tatapannya terhenti saat melihat satu titik dimana tampak sang suami dengan mantannya. Gina hanya diam melihat pemandangan dihadapannya, melihat interaksi mereka tampak jika mereka masih dalam hubungan yang baik-baik saja. Memicingkan matanya ketika wanita tersebut dengan santai melakukan sentuhan pada lengan suaminya, walaupun melakukannya diluar pakaian tetap saja bukan pemandangan atau hal yang bagus. “Apa mereka masih hubungan dengan baik?” Gina berbicara sendiri dengan suara pelannya. Pemandangan yang lain terlihat kedatangan ibu mertuanya, tampak mereka masih akrab satu sama lain. Sikap mereka bertiga memberikan sesuatu nilai yang berbeda, memicingkan matanya saat tangan sang suami berada di punggungnya. Gina harus membesarkan matanya melihat tangan itu di punggung, tidak lama mereka bertiga berjalan kearah pintu tanpa ibu mertuanya dan langkahnya terhenti dengan duduk disalah satu sudut. Tatapan Gina tidak lepas dari mereka berdua, tampaknya sang suami tidak menyadari keberadaan dirinya diatas sedang melihat kearah mereka. “Kamu bahagia?” suara Fierly terdengar jelas di telinga Gina. Keadaan ruangan yang sepi membuat Gina bisa mendengarkan suara mereka sedikit jelas, walaupun masih ada suara-suara lainnya tapi mencoba fokus dengan suara mereka berdua. “Bahagia atau nggak tetap harus dijalani, kamu sendiri?” “Sama, kamu tahu kenapa aku menikahi dia.” “Memang harus?” “Ya, alasan itu yang membuat aku memilih mengakhiri hubungan kita.” “Andaikan bukan karena ibu, aku nggak akan menyetujuinya. Aku lihat ibu sudah sehat, aku juga dengar Mbak Winda hamil. Setidaknya aku bahagia saat melihat keluargamu bahagia, kamu juga harus bahagia.” “Pasti, kamu juga.” Gina membelalakkan matanya saat melihat Fierly mencium kening mantannya, pikirannya sudah tidak sehat dan tidak bisa berpikir positif. Hubungan mereka sudah tidak benar sama sekali, keberadaannya di rumah ini seakan tidak ada artinya. Mengingat pembicaraan mereka seketika mengingat pembicaraan yang di dengarnya ketika pertama kali datang atau beberapa bulan yang lalu. “Kalian tidur disini?” Fierly menganggukkan kepalanya “Sampai kapan?” “Selamanya, rumah ini akan jadi milikku nantinya. Kamu mau pulang sekarang? Suami sudah menunggu?” “Kita ketemu lagi?” “Tentu.” “Kamu nggak cinta sama dia?” “Kamu tahu kalau aku cintanya sama kamu, dia hanya sebagai alat agar keluargaku sehat dan bahagia. Dia kunci dari semuanya, makanya kita membahagiakan dia agar tidak pergi.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD