Transfer gelap
Bismillah jangan lupa like comment dan subscribe ya Bunda. Semoga cerita ini bisa memberikan hiburan serta membuat pembaca bermain dengan pikirannya. Hihihi ??
*
Aneh sekaligus niat sekali, kusebut niat sekali seseorang melakukan itu, karena berarti, sekali mengirim pesan mereka harus mengirimkan uang juga. Itupun minimal sepuluh ribu per transaksi, sepuluh ribu dikalikan sepuluh pesan, seratus pesan dan ... ah, aku tak habis pikir, betapa relanya seseorang mengorbankan uangnya demi tetap terhubung dengan orang yang seharusnya tidak mereka hubungi.
*
"Sayang, sudah gajian belum, aku ingin beli alat sekolah anak dan belanja dapur," ucapku pada Mas Widi. Lelaki yang sedang asyik mengesap kopi beringsut dari meja makan, ia mengulum senyum lalu merogoh dompetnya dan memberiku sejumlah uang.
"Tumben, ditanya dulu baru ngasih?" Kutatap mata dokter berusia 35 tahun itu, tatapan kami beradu, netranya yang selalu meneduhkan membuat hatiku bergetar serta senyum di bibirnya yang cerah meningkatkan moodku.
"Aku sengaja membuatmu resah," jawabnya tergelak. Lelaki bertubuh tinggi atletis dengan berat badan proporsional dan giat merawat ototnya itu, mengerling sekaligus menertawaiku.
"Ya ampun teganya, ini sudah dua hari lewat dari tanggal gajianmu. Teganya kau buat istrimu terlunta lunta sementara ia malu bertanya pada suaminya," ucapku setengah merajuk, Aku memimicingkan mata dan dia langsung menyambar pinggangku untuk mengambil hatiku.
Dia berusaha menciumku tapi aku menghindarinya, sengaja sikap itu kubuat untuk bermanja padanya. Aku tahu dia sangat mencintaiku. Dia akan selalu membujuk saat aku merajuk, memberiku pelukan dan kecupan hangat serta menghibur hatiku yang kalut.
"Hei, hei, jangan cemberut Nona cantik, lihatlah, bulan ini resekiku bagus. Aku akan memberimu uang belanja lebih, agar kau bisa beli bedak dan sepatu yang kau inginkan," ujarnya sambil mengecup keningku.
Mata ini berbinar, senyum pun tersungging dari bibirku, dia mengecup kedua mata ini dan bilang kalau ia bangga memilikiku sebagai istri. Ya Tuhan, pagiku benar-benar sempurna aku dapat perlakuan romantis dan kelebihan Uang belanja.
Masya Allah, Alhamdulillah, betapa sempurnanya Allah memberikanku rumah tangga dan keluarga yang bahagia. Ternyata sesederhana itu cara suamiku untuk membuat moodku berubah dari kesal jadi bahagia. Aku sungguh terharu, dan hati ini diliputi rasa syukur tiada kiranya.
"Tapi kenapa kau menahan hakku?"
"Hei, aku sudah bilang ... aku sengaja mengerjaimu."
Aku pura-pura mencucu sambil menghitung uang yang ia berikan. Itupun posisi masih di atas pangkuannya. Dia tertawa sambil menggigit kecil bagian tengkuk dan leherku, aku menggeliat dan merasa geli lalu tak sanggup menahan tawa, anak-anak yang kebetulan lewat juga ikut tersipu dan malu-malu melihat orang tuanya yang bermesraan.
"Ah, kau ini," ungkapku.
"Aku sangat mencintaimu ayolah tidak bisakah kau memberikanku hadiah pagi ini."
"Apa maksudnya Mas?" Aku pura-pura bodoh padahal tahu ia memberiku isyarat agar kami segera masuk ke kamar dan bermain di atas tempat tidur.
"Ah sudahlah, kau harus bekerja," ucapku sambil menepis semua keinginannya, lelaki itu hanya menggigit bibirnya sambil tertawa.
"Berangkat dulu ya Sayang," ucapnya sembari menghabiskan kopi terakhir di cangkirnya.
Suamiku lantas memasukkan handphone dan kunci ke dalam sakunya, dia mengemasi beberapa laporan yang tadi ia letakkan di atas meja makan dan laptopnya ke dalam tas, kemudian mengulurkan tangannya untuk kecium.
Kuantar dia ke depan pintu dan mengiringi kepergiannya dengan begitu banyak doa dan ketulusan. Aku berharap tugas-tugas suamiku sebagai dokter bisa ia selesaikan dengan lancar sehingga pasien bisa sembuh dan pulang dengan senyuman.
Sudah sembilan tahun aku dan Dokter Widianto menikah, perkenalan kami berlangsung singkat serta kecocokan itu seperti sebuah chemistry yang dikirim dari langit. Sehabis menikah aku tidak menunda untuk kehamilan, kemudian kami punya dua buah hati yang berumur 7 dan 5 tahun, kuberi nama putra-putriku dengan nama Farel dan Farisa.
Hariku terasa sempurna, di tahun ke-7 pernikahan. Seakan aku memenangkan pencapaian terbesar begitu diri ini telah lolos dari masa-masa mengasuh balita menuju ke jenjang sekolah anak anakku.
Aku antarkan mereka ke gerbang sekolah dengan hati penuh kebanggaan, berharap bahwa suatu hari mereka akan mengikuti jejak ayahnya menjadi dokter yang sukses.
Selagi suami dan anakku sibuk dengan kegiatannya di luar, aku sendiri menikmati peranku sebagai ibu rumah tangga yang sepanjang hari di rumah dan menikmati me time-ku.
Kukerjakan semua tugas-tugas sepenuh hati dan berusaha sebisa mungkin untuk tetap di rumah saat suami pulang kerja.
Aku tidak akan kemana-mana tanpa izinnya, setiap langkahku harus diiringi oleh persetujuan dan itu pun diantar oleh suami.
Kata orang aku terlalu sibuk di rumah dan enggan keluar bergaul seperti teman-temanku yang lainnya,aku memang berbeda dari mereka yang tetap menghabiskan akhir pekan dengan bertemu di mall untuk sekedar ngopi-ngopi cantik atau pergi piknik bersama.
Aku lebih suka di rumah, merata dan menghias hunianku, juga membuatkan kue untuk anak-anak. Kalaupun aku keluar di akhir pekan, biasanya kami pergi belanja atau bermain ke rumah mertua, kadang juga menghabiskan waktu di taman sambil menikmati senja.
Sesimpel itu hidupku, aku bahagia hidup dengan sederhana dan tidak banyak melakukan kegiatan yang menghabiskan uang.
Di samping itu, aku harus berhemat untuk menabung demi merenovasi rumah dan bisa mencicil mobil impian keluarga, masih banyak hal yang harus dilakukan jadi aku harus berhati-hati dengan uang.
Tring...
Tiba-tiba suamiku menelepon.
Dia memintaku untuk mengirimkan sejumlah uang untuk ibunya.
"Oh bener juga Sayang, aku benar-benar lalai. Entah apa yang akan dikatakan ibu mertua kepada menantunya yang pelupa ini...." aku sampai menepuk keningku karena lalai dengan tugasku sebagai menantu.
"Ah tidak juga dia akan memaklumimu selama ini kau adalah menantu kesayangan yang berbakti, jadi lalai sehari dua hari akan dimaklumi."
"Tapi tetap saja itu membuatku malu, Oh ya saldo rekeningku sedang kosong karena aku baru saja membayar SPP anak, bisakah nanti Mas transfer dari rekening Mas saja?" Tanyaku kepada Mas Widi.
"Aku sedang sibuk sekali di UGD, sebaiknya tunggu aku pulang saja ya, kau yang akan lakukan transfer sendiri agar kau tidak mencurigai jumlah transferanku kepada ibuku."
"Astaghfirullah... Kamu bilang apa sih Mas berapapun kamu kasih ibumu, aku tidak akan keberatan."
"Dan aku adalah suami yang akan menjaga kepercayaan dan keyakinan istrinya. Aku percaya bahwa kau wanita bijak yang pandai mengatur serta menempatkan diri, jadi biar kau saja yang kirim uang untuk ibuku."
Sikapnya yang demikian gentlemen membuatku merasa jadi istri paling beruntung di dunia, bayangkan ia memintaku langsung untuk membagikan uang pribadinya kepada ibunya. Aku sungguh merasa tersanjung, dan dengan demikian, aku jadi makin menghormati dan menyayanginya.
*
Pukul 04.00 sore mobil suamiku masuk ke garasi aku yang telah mandi dan cantik langsung menyambut dan mencium tangannya. Ia pun yang masih terlihat lelah tak pernah lekang untuk menyunggingkan senyum dan mengecup keningku. Kami kemudian bergandengan masuk ke dalam rumah, para tetangga yang kebetulan lewat dan mau pergi ke suatu tempat menggoda kami.
"Cie mesranya, kayak pengantin baru." Aku dan Mas Widi tersenyum saja menanggapi mereka.
Usai makan suamiku memberiku ponselnya, dia memintaku membuka m-banking yang memang sudah kuketahui pin-nya kemudian memintaku untuk segera mengirimkan uang pada ibunya.
"Kok nggak Mas aja sih dari tadi, kasihan loh, Ibu nunggu."
"Biar kamu aja,"jawabnya santai.
Jujur saja aku tidak pernah terlalu jauh untuk menguasai ponselnya, meski aku tahu pin m-banking-nya tapi aku tidak pernah berani membuka dan kepo dengan isi tabungan suamiku, kecuali dia sendiri yang memperlihatkannya. Sejauh ini kami berumah tangga dengan azas kejujuran dan saling pengertian, tanpa diminta pun ia sendiri yang memberitahuku nominal gaji dan ke mana saja uangnya.
Aku sendiri juga tidak pernah ingin tahu demi tidak membebani pikiranku, apalagi sampai penasaran membuka mutasi rekening.
*
Kucoba mengirimkan uang tapi entah kenapa jaringan yang tiba-tiba terganggu membuat proses transfernya berjalan lama. Tidak ada tulisan berhasil transfer karena sistem yang terus loading, tapi saldo di rekening berkurang.
Maka demi memeriksa semua itu dan yakin kalau uangnya sudah terkirim, aku untuk pertama kali membuka mutasi rekeningnya.
Ternyata aku berhasil mengirimkan uang ke ibu mertua, tapi aku terkejut dengan beberapa transferan di bawahnya.
Ada transferan uang dari sebuah akun dengan kode yang sama, nominal transfernya juga sama, sepuluh ribu. Transferan itu beruntun dan aku yang heran terus menggulir ke bawah hingga aku sadar kalau si pengirim terus mengirimkan uang setiap 15 menit sekali.
Yang lebih mengejutkan adalah pesan opsional dibawa keterangan bukti transfer.
"Sayang aku se-effort ini loh, untuk terus bisa bersama kamu."
Lalu ada balasan transferan suamiku kepada dirinya dengan pesan keterangan opsional,
"Kita harus aman, maaf aku nggak bisa dihubungi lewat WA atau telepon biasa."
Hah?
Deg.
Jantungku seakan berhenti berdenyut, tiba-tiba nafasku tersengal dan tungkai kakiku lemas. Tunggu, tunggu, siapa dia? Kenapa bunyi pesan mereka begitu terdengar intim dan akrab, seolah-olah mereka menyembunyikan rahasia atau hubungan tertentu.
Siapakah pemilik nomor rekening Itu.
Aku terus menggulir ke bawah dan membaca pesan keterangan transfer yang tidak boleh lebih dari beberapa jumlah kata itu.
(Kangen.) Pesan opsional di transferan Rp. 10.000 di jam 11.00 pagi.
(Ketemu yuk.) Itu balasan suamiku yang balik mentransfer Rp10.000.
(Aku lagi sibuk di poli kamu di UGD kan, kangen aku. ) 5 menit kemudian ada balasannya.
(Hari ini hectic banget dengan pasien, kayaknya nggak bisa curi waktu.) Suamiku transfer balik.
Ya Tuhan ...sudah berapa banyak uang yang terkirim.
Sepertinya suamiku saling mengirim pesan dengan rekan sejawatnya. Sepertinya seseorang yang kuasumsikan sebagai wanita itu, juga seorang dokter. Tapi kalau memang dokte,r bukankah mereka sudah disumpah untuk bersikap profesional dan tidak melakukan sesuatu di luar batas. Oh astaga, jangan sampai pikiran dan asumsiku mengarah pada perselingkuhan, aku benar-benar ketakutan dengan kalimat yang satu itu.
Tapi kalau tidak selingkuh kenapa harus bilang sayang dan kangen, dan kalau tidak menyembunyikan sesuatu yang sensitif Mengapa juga harus sesulit itu untuk sekedar mengirimkan pesan. Kenapa tidak langsung lewat w******p atau SMS saja? Apakah ini benar-benar sesuatu yang memang disembunyikan.
Haruskah aku sekarang bertanya pada suamiku yang tengah asik merebahkan dirinya dan menyalakan tv. Apakah aku sudah siap dengan kenyataan berikutnya?