Semakin Menggila

1025 Words
Jam delapan. Jam delapan. Sella terus berguman sepanjang jalan, kepalanya benar-benar pening sekarang. Entah apa yang sedang terjadi, tetapi jalanan sangat macet, padat merayap. Sella mengacak-acak rambutnya frustasi, bus yang dia naiki sama sekali tidak bergerak. Kalau seperti ini terus, bisa sangat dipastikan Sella akan telat. Sekilas Sella melirik jam di pergelangan tangannya, lagi-lagi dia dibuat frustasi. Jam setengah delapan pas. Iya, setengah delapan. Sial! Tidak ada cara lain, Sella akhirnya berjalan ke arah depan, berbicara dengan kernet bus untuk membuka pintu. Rasa-rasanya Sella lebih baik turun daripada terus berdiam diri tanpa ada aksi. Saat kakinya melompat, Sella dibuat kaget karena mendapat klaksonan brutal dari para pengendara. Secepat kilat Sella menepi, berlari menyusuri trotoar dengan wajah super pucat pasi. Mati kalau dia sampai telat. Bukan lagi tidak diterima kerja, tetapi hidupnya ikut terancam, belum lagi perihal hutang. Sungguh, otak Sella semakin pening tidak karuan. Kenapa hidupnya jadi penuh drama? Kenapa harus seperti ini? Andai saja Ayahnya masih berjaya, tidak mungkin Sella selelah ini, pasti sekarang dia sedang menikmati hidupnya di kampus, bergelut dengan tugas. Akan tetapi, kali ini Sella teramat lelah. Melelahkan. Sambil terus berlari, Sella menyeka air matanya. Menangis tidak akan menyelesaikan masalah, itulah yang berusaha Sella tanam. Napas yang mulai menipis, membuat Sella berhenti sejenak sambil menyeka peluh di keningnya. Boleh saja dia berangkat dengan pakaian rapi, wajah fresh. Tetapi lihatlah saat ini, Sella lebih cocok disebut gembel. "Sedikit lagi, Sel, sedikit lagi. Tahan, lo pasti bisa. Lo harus ingat, Ayah butuh cuci darah." Masih dalam kondisi napas terengah, Sella terus menyemangati dirinya sendiri. Diliriknya jam, kini Sella pasrah. Lima menit lagi jam delapan, sudah bisa dipastikan dia telat. Apakah harapannya akan gugur kali ini? Walaupun begitu, Sella terus melangkah sampai kini kakinya berhenti di salah satu bangunan tinggi nan kokoh. Ini benar alamat yang dituju, tetapi ... apa Sella masih diterima? Apa lagi melihat tampilan yang absurd seperti ini. Sella meringis, dia sudah membayangkan betapa mengerikannya pria bernama William. "Anda telat, tetapi masih bisa berdiam diri? Tuan William sudah menunggu, memang anda siapa membuat beliau menunggu lama?" Sella tersentak kaget. Tubuhnya memutar, menatap pria di belakangnya dengan awas. Sella tidak asing dengan pria itu, bahkan Sella ingat. Kenapa semua orang sangat mengerikan? Apa tidak bisa santai sedikit, lalu memberi senyuman? "Anda membuat Tuan Will murka, Nona." "S-sa-saya harus apa? H-harus ke mana?" Susah payah Sella menelan salivanya. Mendengar kata 'murka' tentu saja Sella sangat takut. "Mari ikut saya." Sella mengangguk, mengikuti langkah kaki pria di depannya. Dalam hati Sella tidak henti-hentinya memohon, meminta, karena dia masih mau hidup, masih ingin bernapas dengan lancar. Kalaupun hari ini Sella tertolak, dia tidak akan sedih. Demi apapun Sella tidak sedih! Dan semoga, ini menjadi hari terakhir dia berurusan dengan orang seperti William. Selama dijalan, bahkan di dalam lift, Sella hanya diam tanpa berani buka suara. Sella hanya takut kalau dia buka suara, pria di sampingnya akan murka. "Jaga kesopanan anda di depan Tuan William. Anda cuma orang biasa, jangan banyak tingkah, apa lagi membuat moodnya rusak. Sekali anda melakukan itu, hari-hari kesialan sudah melambai." GLEK! Tenggorokan Sella sangat tercekik, rasanya sangat kering, dia butuh air untuk mendinginkan. Belum apa-apa sudah mendapat ultimatum, apa iya calon bosnya seegois itu? *** Jam delapan sudah lewat beberapa menit, namun wanita itu tak kunjung datang. Apa dia berani main-main? Kalau memang iya, itu artinya target William menjadi satu keluarga. Senyum tipis terganbar, kedua tangannya masih menjadi penopang di dagu. Suara ketukan pintu yang terdengar membuat William menoleh sekilas, lalu dia menyahut memberi izin. Saat pintu terbuka, William menatap Andrew yang baru saja datang. "Selamat pagi, Tuan." "Katakan ada apa? Ada masalah?" "Tidak ada, saya hanya mau mengantar Sella." Mendengar nama Sella membuat sebelah alis William terangkat. "Apa dia datang? Tetapi dia telat, bukankah kau tahu saya tidak suka orang lambat plus tidak tepat waktu?" Andrew mengangguk paham, maka dari itu dia tidak banyak berbicara. "Kalau begitu, akan saya suruh pulang kem-" "Suruh dia masuk menghadap saya." "Baik, Tuan." Seperginya Andrew, William kembali memutar kursinya ke arah belakang. Wanita itu sudah jelas telat, William ingin mendengar penjelasan apa yang akan dia lontarkan. Sewaktu di club boleh saja William menahan diri, tetapi tidak dengan di sini. Ini adalah kantornya, ranahnya, jadi William mempunyai hak lebih besar untuk melakukan apapun. Terdengar derap langkah di belakang sana, secara tidak sadar membuat sudut bibir William terangkat membentuk senyuman. Semudah itu memang membawa mangsa untuk masuk ke dalam perangkap. "Selamat pagi, Tuan, ini Sella baru saja datang." "Terima kasih, Andrew, silahkan ke luar. Satu lagi, selama Sella di sini, saya tidak menerima tamu dalam bentuk apapun." "Baik, Tuan." Melihat pria di depannya melangkah ke luar, tentu saja membuat Sella memekik heboh. Kenapa harus pergi? Kenapa dia tidak di sini saja? Saat Sella akan mengejar, suara dehaman sudah lebih dulu terdengar. "Kau sudah telat, dan masih berani banyak tingkah? Kemarin, mendekat," titah William sambil memutar kembali kursinya. Mati sudah. Sella sama sekali tidak bergeming, dia tidak menggubris perintah William. Demi apapun, dari jarak jauh saja Sella sudah sangat awas dengan pria angkuh itu. "Kau telat hampir dua puluh menit." "M-maaf, T-tuan, jalanan sangat mac-" "Saya tidak menerima alasan apapun! Kau tahu? Saya paling tidak suka dengan karyawan lambat, banyak alasan, dan semaunya," potong William dengan cepat, membuat Sella kembali bungkam sambil menunduk. Wiliam kembali tersenyum, dia bangkit dari kursi kesayangannya lalu mendekat ke arah Sella. Wanita di depannya sungguh mengenaskan, penampilannya sangat tidak layak masuk ke dalam kantornya. Tangan William terulur, menyentuh dagu Sella agar wanita itu mengangkat wajahnya. "Lihat apa kau di bawah? Saya di sini. Sekali lagi saya tanya, apa kau tahu ini sangat telat?" Sella mengangguk. "Dan kau masih berharap bekerja di sini?" Secepat kilat Sella menggeleng. Rasanya dia tidak perduli kalau ditolak, sungguh. William terkekeh. Kekehan yang terdengar dingin membuat tubuh Sella bergidik ngeri. Walaupun takut, Sella berusaha menepis tangan William dari dagunya. "Saya memang telat, tapi saya berangkat dari rumah sejak pukul enam pagi. Saya tidak tahu kalau jalanan sangat macet. Kalau memang saya ditolak, itu tidak masalah, saya akan pergi." "Selangkah kau mundur, kembalikan uang sepuluh juta saya." Kaki Sella kembali berhenti, dia membalikan tubuhnya ke arah William. "Lalu saya harus apa? Bagaimana caranya saya bayar hutang itu?" "Tubuhmu." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD