Hingga siang hari aku hanya rebahan di kasur. Untuk berjalan rasanya tulang belakangku mau patah. Aku merasa nyaman jika rebahan di kasur. Ataupun menyandarkan punggung di dinding dengan ganjalan bantal.
Hari ini justru istriku yang melayaniku. Padahal istriku sendiri sebenarnya masih harus dilayani. Untuk minum dan mengisi perut, Lela yang melayani. Aku tidak meminta dilayani. Tapi Lela sendiri yang memaksa.
“Sudah siang Bang! Abang mau makan siang, biar Neng ambilkan?” Tawar Lela padaku.
“Gak usah Neng! Abang bisa ambil sendiri nanti. Neng diam saja di sini, gak usah banyak gerak!” Aku menolak. Justru aku meminta Lela untuk diam dan beristirahat.
“Tapi Bang? Memangnya Abang sanggup ambil sendiri? Sudah biar Neng aja yang ambilkan!” Lela keras kepala. Meski aku sudah melarang, Lela tak peduli. Dia tetap melangkahkan kakinya ke ruang makan.
“Neng, gak usah Neng!” Aku menaikkan nada suaraku agar Lela mau mendengarkan perintahku.
Namun, Lela tetap tak peduli. Lela tetap ingin mengambilkan makan untukku.
“Ya Tuhan, kenapa hari ini Lela begitu keras kepala. Dia sendiri kalau bisa harus dilayani! Eh malah layani aku! Mudah-mudahan saja gak ada enyak di dalam. Aku gak enak.” Ucapku sendiri.
Tak lama, Lela kembali ke kamar. Ditangan kanan dan kiri masing-masing memegang piring berisi nasi beserta lauk dan sayur serta gelas berisi air putih.
“Sekarang Abang makan! Neng udah ambilkan!” Lela memberikan piring makan yang ada di tangan kanannya.
“Makasih ya Neng!” Ucapku lirih.
“Abang mau makan di meja makan saja Neng! Masa iya Abang makan di kamar, gak lucu Neng!” Aku berniat beranjak dari tempat tidur.
“Eh... eh, gak usah Bang! Gak papa makan di kamar. Neng temani.” Lela menghalangiku.
“Tapi Neng? Abang kan masih mampu berjalan. Masa makan di kamar!” Aku tetap menolak. Aku ingin tetap ke meja makan.
“Bang... Bang... jangan Bang! Abang makan sini aja ya!? Neng mohon Bang, Abang gak usah ke meja makan!” Lela sampai memohon agar aku tidak ke meja makan.
“Neng ini kenapa sih? Kok aneh gini? Biasa Abang juga makan di meja makan. Kenapa Neng melarang?” Aku semakin bingung dengan sikap istriku siang ini.
“Gak papa Bang! Pokoknya Abang makan di kamar aja! Neng temani di sini! Memangnya Abang gak mau berduaan sama Neng? Sudah lama kan Abang sama Neng gak makan berdua? Memangnya Abang gak kangen?” Lela tetap melarangku. Berbagai alasan dia yakinkan aku agar tak ke meja makan. Akhirnya aku pun hanya bisa menurut.
“Ya sudah kalau Neng maunya di kamar! Abang nurut saja!” Aku gak mau saling berebut.
Tapi aku bingung dengan Lela. Kenapa Lela begitu keras kepala siang ini. Rasanya bukan seperti Lela istriku yang aku kenal selama ini. Untuk apa juga Lela melarang aku makan di meja makan. Mungkin ucapan Lela memang benar ingin berdua denganku.
“Gitu dong Bang! Orang istrinya ingin temani makan berdua aja gak mau!” Lela tersenyum.
“Abang makan yang banyak biar cepat sehat, besok bisa kerja lagi!” Lela melanjutkan ucapannya.
Aku pun mengangguk mengiyakan. Menuruti permintaan istriku siang ini yang tidak seperti biasa. Aku tak masalah, karena permintaan Lela ini hanya ingin berdua denganku saja. Harusnya aku senang dengan permintaan istriku siang ini.
***
Sembari menyuapkan nasi ke mulut, aku memandang wajah istriku yang tampak gelisah. Sejak mengambilkan makan untukku, perubahan wajahnya begitu jelas. Bahkan, istriku sampai memaksa aku untuk tetap makan di dalam kamar.
“Neng, kamu gak papa?” Ucapku sembari mengunyah makanan yang ada di mulut.
“Gak papa Bang. Abang makan aja dulu, nanti kesedak! Gak boleh makan sambil bicara!” Istriku melarangku untuk tidak bicara dulu.
Aku pun menghabiskan makanku dengan cepat. Usai makan, aku ingin mengantar sendiri piring ke dapur. Karena aku sendiri merasa masih sanggup berjalan. Aku tak mau merepotkan istriku.
“Abang mau ke mana?” Tanya istriku saat melihat aku beranjak dari tempat tidur.
“Mau antar piring kotor ke dapur Neng.” Balasku singkat.
“Gak usah Bang! Sini Neng aja!” Lagi-lagi istriku melarang aku ke dapur.
“Gak papa Neng, Abang kan yang habis makan. Abang bukan bayi yang harus dilayani Neng. Abang juga bisa jalan sendiri!” Aku memberi pengertian.
“Udah biar Neng aja! Abang duduk aja sini!” Lela merebut paksa piring kotor di tangan kananku dengan cepat. Lalu mengantarnya ke belakang.
Aku kembali bingung. Lagi-lagi aku dilarang ke belakang. Entah itu ke meja makan ataupun ke dapur. Seperti ada yang ditutupi Lela saat ini.
Sudah sepuluh menit Lela mengantar piring kotor ke dapur. Tapi Lela belum kembali lagi ke kamar.
“Lela kok lama? Apa dia sekarang gantian makan?” Aku berucap sendiri.
Aku meraih air minum di gelas yang dibawa Lela tadi. Setelah itu aku ingin melihat istriku di belakang. Sekaligus menghirup udara luar. Karena aku bosan dari pagi aku hanya di kamar.
Aku baru saja memasuki ruang makan. Ruang di mana berada di sebelah dapur. Dari ruang makan aku mendengar suara enyak tengah membahas namaku. Sementara Lela terdengar sedang membelaku di depan ibunya. Dari percakapan mereka, aku bisa mengambil intinya. Enyak tidak suka dengan pekerjaanku sekarang.
Aku memilih membatalkan niatku. Aku berniat memutar badan untuk kembali lagi ke kamar. Mendengar ucapan enyak yang menganggap aku tak berguna membuat hati aku sakit. Sekarang aku jadi tahu. Kenapa dari tadi Lela melarangku ke belakang. Ternyata ini alasan Lela. Dia ingin melindungi suaminya yaitu aku.
“Jadi ini Neng alasan kamu! Makasih kamu sudah membela abang di depan enyak. Abang akan berusaha membahagiakan kamu sebisa abang.” Aku berucap dalam hati.
Aku melangkahkan kedua kakiku pelan. Selain karena menahan sakit di punggung, tubuhku juga lemas mendengar Lela yang harus menerima kesalahanku. Harusnya aku yang menerima ucapan enyak. Bukan Lela yang menanggung sendiri.
Aku kembali naik ke ranjang tempat tidur. Aku sendiri, sebenarnya ingin membalas ucapan enyak. Lalu menolong istriku dari ucapan enyak yang menyudutkannya. Padahal semua ini karena kesalahanku. Aku yang tidak berguna jadi suami.
Tak lama aku mendengar langkah kaki seseorang masuk ke kamar.
“Itu pasti Lela! Aku harus bersikap biasa. Seperti tadi, saat aku belum tahu apa-apa. Karena setahu Lela, aku memang belum tahu apa yang terjadi antara dirinya dan enyak.” Aku berucap dalam hati.
Di luar pandangan Lela, aku melihat wajah Lela yang sebenarnya menutupi banyak hal dari aku. Aku tak menyangka, istriku selama ini selalu membelaku di depan orang tuanya. Mulai saat ini aku berjanji akan membahagiakan kamu semampu aku. Bagaimanapun caranya yang penting aku bisa membahagiakan istriku.
“Abang gak tidur?” Ucap Lela padaku seolah tidak terjadi apa-apa di belakang tadi.
“Gak Neng! Abang gak bisa tiduran terus di kamar, bosan! Abang juga gak biasa tidur siang.” Aku membalas. Aku masih belum bicara kalau aku sudah mendengar pertengkaran antara Lela dan enyaknya.
“Mumpung Abang di rumah, Abang istirahat aja!” Ucap istriku lagi.
Melihat wajah istriku yang masam membuat aku tak tahan melihatnya. Aku tak rela istriku harus menanggung beban yang bukan kesalahannya. Aku tak bisa tinggal diam. Sebagai suami aku tak rela istriku diperlakukan seperti ini. Meski oleh ibunya sendiri.
“Neng, Abang ingin tanya sama Neng. Tapi tolong, jawab dengan jujur! Abang gak mau Neng menutupi sesuatu dari Abang. Abang ini suami Neng. Jadi Abang harap, apa pun yang terjadi sama Neng. Neng harus cerita sama Abang. Percuma juga kita berumah tangga kalau tidak diikuti dengan kejujuran. Rumah tangga itu pasti akan goyah.” Ucapku sudah tak tahan lagi.
“Maksud Abang? Abang kok ngomong seperti itu? Neng gak menutupi apa-apa dari Abang!” Lela masih belum mau jujur.
“Neng, Abang ini suami kamu! Sekarang lihat Abang! Selama ini kamu anggap Abang ini siapa? Kenapa bisa kamu menutupi kejadian seperti tadi dari Abang?!” Aku benar-benar tidak tahan lagi. Aku tak rela jika Lela menahan bebannya sendiri.
“Kejadian tadi?” Lela masih menutupi. Seolah tidak terjadi apa-apa di belakang tadi.
“Kamu gak usah bohong Neng! Abang sudah dengar sendiri sedikit pertengkaran kamu tadi bersama enyak. Makasih karena Neng sudah membela Abang di depan enyak. Tapi Abang gak rela kalau Neng yang harus menanggung beban dari kesalahan Abang.” Aku membuka semua karena istriku tak mungkin mau bercerita.
“Jadi Abang sudah mendengar semua?” Lela tampak terlonjak.
Aku mengangguk.
“Neng kita ini suami istri. Jadi, apa pun yang terjadi di antara kita jangan pernah ada yang ditutupi. Maafkan Abang ya, gara-gara Abang, Neng jadi ikut susah.” Aku terus memandang wajah istriku.
“Iya Bang! Maafkan Neng juga karena sudah berbohong pada Abang. Neng janji, Neng gak akan tutupi apa-apa dari Abang lagi.” Lela tampak menyesal.
“Mulai sekarang kita lewati sama-sama masalah keluarga kita. Aku yakin, kita pasti bisa keluar dari masalah ini secepatnya!” Aku memeluk tubuh istriku hangat.
***
Sejak kejadian siang tadi, aku tidak mau terus berada di dalam. Sebisa mungkin aku melakukan aktivitas yang bisa membuat hati enyak senang. Karena aku tidak kerja hari ini, aku membantu enyak melakukan pekerjaan rumah tangga. Seperti menyapu serta menyiram tanaman. Bahkan aku tak segan juga untuk mencuci piring.
Istriku melarangku. Namun, aku tak peduli. Karena saat ini hanya itu yang bisa aku lakukan. Aku tak mau istriku terus menanggung beban dari kesalahanku. Siapa tahu dari apa yang aku lakukan saat ini, enyak bisa sedikit menerima kondisiku saat ini.
“Nah begitu dong! Lo kan numpang di sini, jangan enak-enakkan saja! Sudah gak kerja, lo enak-enakkan tidur terus di kamar! Makan aja istri lo yang ambilkan! Enak banget sih hidup lo Mat!” Cibir enyak Royani padaku saat aku sedang mencuci piring di dapur.
“Sabar Mat! Lo harus sabar! Ingat saat ini kamu memang masih menumpang rumah mertua kamu!” Ucapku dalam hati.
“Kerja cuma jadi kuli angkut! Lo mau kasih makan istri sama anak lo apa nanti?! Apalagi buat kontrak rumah! Boro-boro bisa beli rumah sendiri! Kontrak rumah aja gak sanggup lo! Tahu hidup lo miskin begini mending gua nikahkan Lela sama temannya dulu! Sekarang dia sudah kaya gak seperti lo! Pegangannya udah mobil! Lah lo pegangannya karung sayuran!” Enyak kembali mencibir.
“Nyak udah Nyak! Bang Rahmat kerja jadi kuli panggul kan hanya sementara sambil tunggu panggilan. Nyak tolong hargai suami Lela Nyak!” Lela memberi pengertian sekaligus memohon.
“Sementara apa selamanya?! Pokoknya sekarang laki lo udah miskin!” Omongan enyak masih menyakitkan.
Aku hanya bisa menahan rasa sakit di hati. Atas ucapan enyak Royani padaku. Tapi aku juga tak bisa berbuat apa-apa saat ini. Aku memilih diam. Meski dalam hatiku bertekat akan merubah kehidupanku ini. Aku akan buktikan pada enyak suatu saat nanti aku bisa sukses dan membahagiakan Lela.