Tiga hari dirawat di rumah sakit, Lela sudah bisa dibawa pulang. Sebelum membawa pulang, aku harus melunasi administrasi rumah sakit dulu. Administrasi yang tidak murah tentunya untuk aku yang saat ini hanya pengangguran.
Aku terpaksa mengambil sebagian uang pesangon dari perusahaan tempatnya bekerja dulu yang jumlahnya tak seberapa. Tapi aku masih bersyukur. Karena, aku tak sampai kebingungan mencari biaya rumah sakit. Tuhan masih sayang padaku.
Kondisi kehamilan Lela yang masih lemah, Abdul dan Royani memutuskan membawa pulang Lela le rumah mereka. Mereka tak ingin terjadi hal buruk pada putri kedua mereka serta calon cucu di perut Lela.
Maklum saja, calon anak Lela merupakan cucu pertama bagi Abdul dan Royani. Karena Leha, kakak Lela sampai saat ini belum juga memiliki momongan. Mereka ingin menjaga Lela dan calon bayi yang nanti akan menjadi cucu mereka.
Sampai saat ini, Abdul dan Royani belum tahu. Jika, Lela dan Rahmat sekarang sudah tidak tinggal di kontrakan lama yang luas. Saat ini, Lela dan Rahmat hanya bisa kost satu petak kamar serta kamar mandi. Yang pasti sangat jauh dengan kontrakan sebelumnya.
“Sekarang lo istirahat dulu aje La! Kalau di sini pan lo ade yang jagain! Ade Enyak, babe lo! Lo di kontrakan sendirian, laki lo kerja! Udeh lo baik-baik aje di mari!” Ucap enyak Royani pada Lela dengan logat Betawi.
“Iye Nyak, makasih! Tapi, nanti kalau abang Rahmat balik kerja bagimane? Kasihan Nyak die sendirian.” Lela memikirkan suaminya.
“Nanti laki lo bisa ke sini atau di kontrakan bentar! Tunggu lo benar-benar sembuh. Mase iye, die kagak bise urus badan sendiri! Biar laki lo belajar, nanti kalau lo udah punye anak.” Enyak Royani menenangkan.
“Ya Nyak!” Lela menurut.
“Ya udeh, sekarang lo istirahat! Nyak mau beberes rumah dulu! Lo baik-baik istirahat, ingat kandungan lo! Kalau butuh ape-ape, panggil Enyak ape babe aje!” Enyak Lela terus menasihati.
“Baik Nyak!” Lela kembali menurut.
Lela mencoba menenangkan pikirannya. Dia berusaha untuk tidak berpikiran macam-macam. Karena, saat ini kesehatan diri dan bayinya paling penting. Rahmat, suaminya pasti bisa urus dirinya sendiri sementara.
Selama Lela dalam pemulihan, memang rumah orang tuanya yang paling tepat saat ini. Di sini ada yang benar-benar bisa menjaganya. Karena ibunya selalu berada di rumah. Tidak seperti di kontrakan, Lela sendirian.
Selama di rumah orang tua, kebutuhan dipenuhi enyak dan babe Lela. Orang tua Lela juga tidak keberatan. Toh Lela di rumah mereka hanya beberapa hari, selama Lela pemulihan. Suami Lela, Rahmat juga sering menyisihkan rezekinya untuk orang tua Lela. Makanya mereka tak mempermasalahkan Lela tinggal di sana.
***
Tak terasa lima hari sudah berlalu. Aku harus menjemput Lela ke rumah orang tuanya. Selain rasa rindu, aku juga merasa tidak enak. Karena harus merepotkan mertuaku. Mereka sudah sangat baik sama aku selama ini. Dan sebagai menantu, aku tidak ingin terus membebankan istriku pada mertuaku.
Meski saat ini aku dalam kesusahan. Aku tetap tidak mau merepotkan mertuaku. Aku yakin, Tuhan tidak akan memberi cobaan di luar kemampuan aku. Selama ini aku selalu diberi rezeki lebih. Jadi untuk ujian ini, aku yakin bisa melewati secepatnya.
Aku yakin sebentar lagi aku akan mendapatkan pekerjaan yang layak. Sebentar lagi aku bisa memboyong istriku ke tempat yang lebih layak. Kontrakan yang lebih besar dari sekarang.
Sore ini, aku berniat menjemput istriku di rumah mertua. Meski aku dalam kesusahan saat ini, aku tidak mau datang ke rumah mertua dengan tangan kosong. Sebisa mungkin ada buah tangan yang bisa aku bawa untuk mertuaku. Karena itu sudah menjadi kebiasaanku selama ini.
Terpaksa, aku kembali mengambil dari simpanan uang pesangon yang jumlahnya semakin menipis. Aku membelikan buah-buahan serta berbagai macam sembako untuk mertua. Intinya aku tak mau merepotkan mertua meski aku dalam kesusahan.
Sekarang harta yang aku miliki tinggal sepeda motor ini. Sepeda motor yang menemani hari-hariku saat belum ada Lela di sisiku. Ya, sepeda motor matic ini yang selalu menemani ke manapun aku pergi. Meski sudah tak semulus dulu. Suara juga tak seindah motor baru. Sepeda motor ini sudah memberi banyak manfaat dalam hidup aku selama ini.
Aku sudah tiba di tempat mertuaku. Rumah berukuran cukup besar. Dengan desain adat Betawi yang masih tampak menghiasi di setiap sudut rumah. Mendengar suara motorku, enyak langsung keluar untuk menyambut kedatanganku. Mertuaku memang selalu bersikap baik padaku. Apalagi saat mertuaku tahu, Lela yang sebentar lagi akan memiliki momongan.
“Eh elo Mat! Kenapa lo baru ke mari!” Tanya enyak Royani sembari mengulurkan tangan kanannya.
“Iya Nyak maaf! Rahmat sibuk. Lela bagaimana Nyak, sudah sehat?” Aku ingin tahu. Tak lupa aku mencium punggung tangan kanan ibu mertua sebagai tanda hormat.
“Alhamdulillah! Lela udeh baikkan! Lo lihat aje sono di kamar!” Enyak menyuruh aku langsung ke kamar.
“Iya Nyak, makasih. Oh ya, Rahmat lupa! Ini ada sedikit buat Enyak sama Babe!” Aku memberikan bungkusan besar pada mertua.
“Elo Mat, pakai repot-repot segale! Lela kan anak Enyak sama Babe, jadi gak papa kalau dia mau tinggal di mari! Sama elo juga, dari pada kalian kontrak mesti buang-buang uang. Di sini pan rumah Enyak sama babe luas! Masih cukup lebar buat tinggal kalian berdua.” Enyak Royani menyarankan.
“Iya Nyak sekali lagi makasih buat tawarannya. Nanti saya coba pikir-pikir lagi sama Lela!” Aku belum bisa mengambil keputusan langsung. Alu butuh bicara dengan istriku dulu.
“Ya udeh, buruan sono lo lihat bini lo!” Enyak Royani memintaku cepat mendatangi istriku.
“Iya Nyak, saya permisi dulu!” Aku berpamitan.
Aku melangkahkan kedua kaki penuh semangat. Selama istriku di rumah mertua, aku memang jarang mengunjunginya. Karena aku saat ini sedang tahap kesusahan. Aku tak mau datang dengan tangan kosong. Makanya aku memilih jarang menjenguk istri aku.
Aku sudah berada di depan kamar. Kamar yang dulu aku tempati saat aku dan Lela resmi menjadi sepasang suami istri. Kamar yang menjadi kenangan. Menjadi saksi bisu penyatuan cintaku sama Lela pertama kali.
“Lela!” Panggil aku lembut pada istriku.
“Abang!” Jawab Lela tampak girang melihat aku datang.
“Maafkan Abang ya, Abang baru sempat ke sini jenguk Neng!” Ucapku sembari memeluk hangat tubuh istriku yang masih terbaring di tempat tidur.
“Iya Bang gak papa, Lela paham.” Istriku mengerti keadaanku saat ini.
Istriku memang sangat mengerti keadaanku saat ini. Meski aku dalam kesusahan saat ini, istriku tak pernah mengeluh. Istriku juga bisa menjaga rahasia ini dari keluarganya.
Aku bisa yakin kalau istriku tak cerita pada keluarganya. Karena sampai saat ini, enyak ataupun babe tak pernah membahas soal aku yang sudah tak bekerja lagi. Mertuaku pasti belum tahu keadaan aku saat ini. Tapi aku tak ingin menutupi terus dati mereka. Karena suatu saat mereka juga akan tahu.
“Neng gimana, masih sakit perutnya?” Tanyaku perhatian.
“Gak Bang, sudah mendingan. Tapi kata enyak Neng harus banyak istirahat dulu sampai benar-benar pulih. Neng gak boleh kerja dulu! Jadi maafkan Neng ya Bang, Neng belum bisa urus Abang.” Istriku meminta maaf karena dia belum bisa mengurus keperluanku.
“Iya gak papa Neng. Yang penting Neng sembuh dulu. Abang mah gampang!” Aku berusaha menenangkan istriku.
Melihat keadaan istriku yang belum pulih sempurna, aku jadi teringat penawaran ibu mertua tadi.
“Apa aku terima saja penawarannya tadi? Di sini ada yang menjaga istriku sepenuhnya saat aku mencari kerja. Aku juga bisa memakai uang yang seharusnya buat bayar kost untuk keperluan istri aku. Karena istri aku sampai saat ini harus terus mengonsumsi obat demi menguatkan calon anak kami.” Aku berucap dalam hati.
“Bang! Abang mikir apa kok diam” Istriku mengagetkan lamunanku.
“Gak papa!” Aku beralasan.
“Apa ini kesempatan aku untuk coba bicara pada istri aku tentang penawaran enyak tadi?” Aku kembali berucap dalam hati.
“Neng, Abang boleh cerita gak?” Aku mencoba memulai membahas penawaran enyak tadi pada istriku.
“Iya Bang, cerita aja!” Istriku tak menolak.
“Begini Neng, tadi enyak kembali menawarkan pada Abang untuk tinggal di sini. Menurut Neng bagaimana? Abang melihat kondisi Neng yang masih butuh perhatian penuh. Sementara Abang kan harus cari kerja. Kalau Neng di kontrakan, siapa yang akan jaga Neng? Terus uang untuk bayak kost bisa kita pakai buat berobat Neng. Abang janji, jika Abang sudah dapat kerja kita pindah lagi dari rumah orang tua Neng. Abang gak akan merepoti keluarga Neng lagi!” Aku mencoba memberi pengertian pada istriku.
Istriku tampak terdiam. Sepertinya dia sedang memikirkan apa yang aku ucapkan tadi.
“Kalau Neng terserah Abang aja! Neng kan istri Abang, apa pun keputusan Abang. Neng setuju! Neng mau tinggal di rumah ini sementara.” Istriku mengiyakan.
Istriku memang sangat menghargai aku sebagai suaminya. Dia tak pernah membantah perintahku. Meski sebenarnya istriku tidak suka tinggal di rumah orang tuanya setelah menikah. Karena istriku tak ingin terus merepotkan orang tuanya. Bagi istriku jika dia sudah menikah, tanggung jawabnya sudah pada suaminya. Bukan orang tuanya lagi.
Namun, melihat kondisiku saat ini. Istriku mau tinggal di rumah orang tuanya meski sudah menikah. Istriku juga tak tega melihat kondisiku saat ini.
“Makasih ya Neng!” Aku kembali memeluk tubuh istriku.
Istriku hanya mengangguk sembari mengulas senyum keikhlasan. Senyum yang selalu memberi aku semangat selama ini. Meski berat aku akan berusaha demi terus melihat senyum istriku yang selalu menenangkan hatiku.
Aku akan bicara pada ibu mertuaku segera. Aku bersedia tinggal di rumah ini untuk sementara. Sampai kondisi istriku benar-benar pulih. Begitu juga dengan kondisi keuanganku yang mulai membaik. Aku sudah bisa mendapatkan pekerjaan yang layak lagi. Aku tidak akan merepotkan orang tua istriku lagi. Agar aku bisa membuat istriku bahagia. Sesuai janjiku dulu sebelum kami mengikat janji suci pernikahan.
Aku akan berusaha keras untuk menepati janjiku pada istriku. Meski banyak rintangan aku tak peduli. Akan aku lewati semua rintangan itu. Yang penting istriku tetap berada di samping aku.