Part 2

1555 Words
Ana pun mendongakkan kepala menatap siapa orang yang telah menabraknya hingga sampai tersungkur di atas tanah. Betapa terkejutnya dia ketika mendapati bahwa yang menabrak dirinya itu tak lain malah ketua OSIS, yaitu Dafa. Dia mengedipkan kedua matanya berkali-kali untuk mengetahui dan memastikan bahwa apa yang dilihatnya itu benar. Dia tidak tahu lagi harus berbuat apa selain menahan rasa malu karena tadi telah iseng menggoda Dafa dan sekarang malah seakan-akan dirinya malah terpojokkan oleh keadaan. Ana tidak boleh grogi seperti ini, karena jika dia terlihat grogi maka dia pun akan merasakan bagaimana nanti rasanya jika dirinya tertangkap basah sedang menahan malu. Akhirnya Ana pun berhasil menutupi rasa malunya dengan menatap Dafa datar. Ketika dia akan berdiri, ada sebuah orang yang mengulurkan tangan di depan wajahnya untuk membantunya berdiri. Ana yakin bahwa itu tangan Dafa. dia baru menyadari bahwa menatap Dafa dari jarak dekat benar-benar terlihat lebih ganteng. Pantas saja jika sejak tadi banyak perempuan yang membicarakan Dafa. Awalnya Ana ragu untuk menerima bantuan tersebut, tapi tangan tersebut semakin maju ke arah depan wajahnya sebagai tanda Ana harus menerima bantuannya. Akhirnya Ana pun memutuskan untuk menerima bantuan tersebut dan dengan ragu dia menggenggam tangan Dafa. "Sorry," ujar Dafa ketika Ana sudah berhasil berdiri. "Sama-sama, aku juga--" Ana membelalakkan matanya tidak percaya karena Dafa langsung meninggalkan dirinya yang masih kebingungan. Namun, lagi-lagi Ana mencoba untuk masa bodo saja karena sekarang dia harus menuju ke kelompoknya. Ketika membalikkan badan, semua orang menatapnya, baik itu siswa baru, pendamping kelompok, maupun beberapa anggota OSIS yang berada di sana. Jantung Ana pun sangat berdebar merasakan ada sesuatu yang menyerang dirinya. Kali ini Ana benar-benar malu dan tidak tahu lagi harus berbuat apa karena semua temannya sudah berbaris rapi, hanya tinggal dirinya saja. Ana pun sedikit menundukkan kepala lalu melangkahkan kaki menuju kelompoknya, yaitu kelompok 1 yang tentunya berada di barisan paling ujung. Ana pun melangkahkan kaki sambil sedikit berpikir saja karena tiba-tiba Dafa menabrak dirinya hingga terjatuh, lalu memberikan bantuan. Satu hal yang paling membuat Ana bingung ketika Dafa memberikan bantuan kepada dirinya dia yakin pasti banyak orang yang menatapnya. Sebelum Ana mengetahui hal tersebut, dia yakin bahwa Dafa lebih mengetahui terlebih dahulu mengingat posisinya tadi yang saling berhadapan. Di setiap langkah kakinya, Ana dapat mendengarkan beberapa siswa baru ada yang sedang membicarakan Ana dan bahkan ada yang memujinya. Wajar saja sih karena Ana itu memiliki paras wajah yang bisa dikatakan cantik, tapi lebih tepatnya manis dan imut, sehingga dia tidak membosankan jika dipandang. Apalagi jika Ana sudah tersenyum maka akan ada kemungkinan bahwa kadar kecantikan dia bertambah. Akhirnya Ana pun berhasil menuju barisan nomor 1, dia memutuskan untuk baris di barisan yang paling terakhir mengingat bahwa dirinya itu bisa untuk memposisikan dirinya jika nanti ada orang yang melihatnya. Lagi pula sudah telat masa iya mau baris di barisan yang paling depan, bisa-bisa Ana menjadi bahan pembicaraan orang lain. Saat ini pun Ana merasakan bahwa saat ini dirinya sedang menjadi bahan pembicaraan orang lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa Ana sangat merasakan malu di pagi hari saat acara MPLS pada hari pertama. Tidak ada hal lain yang memang bisa membuat dirinya tenang, selain menenangkan dirinya sendiri. Pikiran Ana juga masih terbayang dengan datangnya Dafa yang secara tiba-tiba, padahal kan tadi dia itu sedang berada di barisan paling depan untuk memberikan pengarahan kepada siswa baru dan tentunya sudah seharusnya dia sibuk dengan urusannya masing-masing, misalnya menuju ke aula gitu. Namun, entahlah Ana sendiri juga tidak tahu mengapa hal itu bisa terjadi karena dia tidak tahu apa urusan Dafa, apalagi Ana sendiri merupakan salah satu siswa yang anti organisasi, sehingga dia tidak tahu urusan mengenai kegiatan ini. Ana pun memilih untuk membuang pikirannya jauh-jauh karena jika dipikir sama halnya membuang waktu secara sia-sia.  "Cantik banget sih, wajar kalau jadi sasaran ketua OSIS," ujar seorang perempuan yang berada di barisan paling belakang, tepatnya anggota kelompok 3 yang ucapannya masih bisa didengar oleh Ana. Mendapatkan pujian bukan sesuatu yang luar biasa bagi Ana karena sejak kecil dia sudah terbiasa mendapatkan pujian dan bahkan menjadi idaman teman laki-lakinya semenjak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Bukannya Ana sombong, tapi memang itulah pada kenyataannya yang dirinya alami semenjak kecil. Jadi, dia pun tidak mudah bawa perasaan (baper) ketika ada orang yang mengejarnya atau bahkan memujinya secara langsung. Hanya saja semenjak dulu, Ana belum pernah berminat untuk menjalin hubungan sebagai pacar orang karena dia tidak ingin ada yang namanya perpisahan yang sudah mengikat hati. Dia belum siap saja menerima perpisahan, baik itu perpisahan suka maupun duka. Oleh karena itu, Ana lebih suka menghabiskan waktunya untuk persahabatan, baik itu laki-laki maupun perempuan. Ana bukan orang yang bodoh, dia menjalin persahabatan dengan laki-laki juga paham bahwa tak jarang sahabatnya banyak yang diam-diam menyukainya, sehingga sebelum dia menjalani hubungan sebagai sahabat, dia membuat perjanjian bahwa selama menjadi sahabat tidak boleh ada yang namanya rasa saling menyukai karena resiko cinta itu ada dua, memiliki sampai hidup dan mati atau malah berakhir di tengah jalan yang nanti pada akhirnya berakibat rasa canggung atau bisa dikatakan mengakhiri hubungan persahabatan. Ana belum siap menerima itu karena dia juga ingin menambah relasi dalam menjalani hidup di masa mudanya. "Sst, Ana!" Panggil Dewi yang baris di depannya. Ana pun mengerutkan kedua alisnya hingga pada dahinya membentuk gelombang-gelombang kecil tanda dia bingung. "Apa?" "Kamu jadi pusat perhatian karena tadi sama Kak Dafa si ketua OSIS," ujar Dewi memberi tahu bahwa tadi dia mengamati kejadian yang menimpa diri Ana. "Sudah tahu," sahut Ana biasa saja, tidak ada sedikitpun rasa terkejut maupun kagum terhadap dirinya sendiri. "Sumpah ya, gue nggak nyangka banget kalau ternyata Kak Dafa itu ganteng banget," puji Dewi lalu senyum-senyum sendiri seperti orang gila, tapi lebih tepatnya karena dia terlalu membayangkan suatu hal mengenai Dafa. "Idih biasa saja, orang ganteng yang lebih dari dia sih masih banyak banget." "Ekhem!" Dehem seseorang dari belakang. Dewi pun langsung membalikkan badan karena takut siapa orang yang berada di belakang Ana. Lain dengan Ana, dia malah bingung terhadap apa yang Dewi lakukan. Harusnya kan dia tidak sepanik itu, Ana pun memutuskan untuk membalikkan badan karena penasaran siapa yang berada di belakangnya. Tepat sekali, dia berhadapan dengan orang yang berdehem tadi. Orang yang berdehem tersebut adalah Dafa.  Ana benar-benar mati kutu dan tidak bisa berkata-kata apa-apa lagi. Jaraknya kali ini lebih dekat daripada tadi. Lagi-lagi pandangan mata pun banyak yang menatapnya lagi dan Ana menjadi sorotan lagi, ya meskipun tidak semuanya, kebanyakan dari beberapa orang yang berada di barisan paling belakang. "Sudah puas ngomongin orang?" Tanya Dafa membuat Ana bungkam. Sebenarnya Ana ingin mengatakan sesuatu sebagai jawaban dari pertanyaan Dafa, tapi dia tidak tahu kenapa lidahnya itu keluh dan bibirnya sulit untuk dibuka. Hanya pandangan mata lah yang memberikan sorot mata seakan memberikan jawaban. "Hey, kamu yang dibelakang!" Panggil anggota OSIS yang bertugas memeriksa kerapian dan kelengkapan pakaian sesuai dengan aturan yang diberikan untuk mengikuti kegiatan MPLS ini. Untung saja sekarang ini tiba pada posisi Ana yang sekarang ini akan diperiksa, sehingga Ana bisa melarikan diri dari pertanyaan Dafa yang cukup membuatnya malu. Ana merutuki dirinya sendiri, dia sangat menyesal karena tadi sudah menjahili Dafa yang sedang memberikan pengarahan. Kalau seperti ini jadinya, Ana ingin sekali memiliki kekuatan untuk bisa menghilangkan diri tanpa meninggalkan jejak. "Tunjukkan kuku kamu!" Suruh anggota OSIS yang tidak Ana kenal. Ana pun menunjukkan 10 jarinya tangannya untuk diperiksa. Anggota OSIS tersebut memeriksa Ana dari mulai kuku, rambut, kaos kaki, sepatu, dan yang terakhir adalah seragam. Semuanya sudah lengkap dan sesuai aturan, yaitu kuku pendek, rambut rapi, kaos kaki berwarna putih panjang sampai bawah lutut, dan sepatu berwarna hitam pekat. Kemudian Ana pun di suruh membalikkan badan untuk mengukur seragam yang dipakai Ana. Satu hal yang membuat Ana terkejut rupanya Dafa masih saja di belakang sambil menatapnya dengan kedua tangannya bersedekap di depan d**a. Namun, Ana berusaha tidak peduli akan kehadiran dia.  "Lain kali pakai bajunya yang menutup p****t karena di sini tidak diperbolehkan memakai baju yang ketat dan di atas p****t. Lagi pula itu buat kebaikan kamu sendiri, setidaknya bisa menghindari beberapa kejahatan yang sangat marak pada akhir-akhir ini," nasihat si pemeriksa tersebut. Dia pun menghela napas. "Sebentar biar saya bantu kamu agar bajumu itu bisa menutup pantat." Ana tidak tahu apa yang akan dilakukan si pemeriksa tersebut, tapi Ana juga tidak tahu apa yang akan dilakukan dirinya sendiri. Jujur saja kali ini dia bingung mau berbuat apa karena saat ini, dia bisa merasakan dan melihat ada sesuatu yang aneh dalam diri Dafa yang masih bersedekap di depan d**a. Kali ini, Ana memutuskan untuk menundukkan kepala saja maupun membuang muka menatap hal lain yang ada di sekitarnya. Tak lama kemudian si pemeriksa tadi pun datang membawa kertas koran dan strapless. Dia mengambil satu lembar kertas koran lalu distraplesskan pada bagian bawah baju Ana sebagai penutup pantatnya. "Besok lagi pakai bajunya yang akan besaran sedikit ya." "Tapi kan ini nggak kecil kak, paling selisih tiga sentimeter saja tidak menutup pantatnya. Lagian ini kan seragam SMP, jadi wajarlah kalau sudah kecil!" Protes Ana tidak terima, rasanya dia sangat malu ketika banyak orang mengetahui kesalahan yang menurut Ana tidak terlalu fatal dan dia masih ingat bahwa peraturan tersebut tidak dibacakan ketika acara technical meeting. "Ini sudah sesuai peraturan dan saya sebagai anggota OSIS hanya menjalankan saja apa perintahkan kepada saya." "Kak, tapi kan saya--" "Bagi yang sudah selesai pemeriksaan langsung masuk ke aula ya karena untuk mempersingkat waktu!" Tukas Dafa ketika mengetahui Ana akan protes kepada anggota OSIS yang bertugas sebagai pemeriksa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD