1

1071 Words
Hingar bingar kota semi besar ini sudah menyeruakkan alunan musik keras yang terdengar dari satu kawasan terkenal di Lorong Barbie. Begitulah namanya, lorong gelap menuju surga dunia kota semi besar itu. Di sana akan banyak ditemui manusia secantik Barbie. Tak hanya itu saja, semua perlakuannya pun manis seperti Barbie. Saking manisnya, sampai lupa kalau obat itu rasanya pahit. Karena obat para hidung belang hanya masuk ke Lorong Barbie dan menikmati surga dunia hingga pagi. Pina Kartika adalah gadis berusia Sembilan belas tahun. Pinka Barbie adalah nama beken Pina saat memulai bekerja di sebuah tempat karaoke sekaligus tempat dugem itu. Ya, Pinka adalah gadis yang baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas. Ia langsung ďiajak bekerja di dunia malam oleh ayahnya sendiri yang suka main judi. Ia suda satu tahun ini menjadi seorang purel atau pemandu karaoke. Menemani para hidung belang yang kesepian atau terlalu banyak uang dan bingung cara menghabiskan uang. Samuel lelaki tua berusia lima puluh tahun biasa di panggil Paman Sam. Ia adalah tangan kanan Madam Rose, pemilik Lupi Karaoke. "Pinka ... Ada Om Lukman nih," ucap salah satu temannya yang biasa di panggil Miss Glow. Wajahnya yang cantik dan sangat mulus. Sampai -sampai lalat pun terpeleset hinggap di wajah Miss Glow. Pinka masih merapikan make up-nya. Lipstiknya sedikit pudar saat ia menyelesaikan makan malamnya tadi. "Iya sebentar," teriak Pinka keras namun tetap terdengar merdu suaranya. Pinka merapikan rok putih pendeknya dan baju crop top tanpa lengan berwarna pink. Ciri khas Pinka adalah pakaian seksi berwarna pink. Sepatu hak tinggi sudah berbunyi menuruni anak tangga menuju ruang karaoke yang dipesan oleh Om Lukman yang sedang ingin berduaan saja ditemani oleh Pinka, si gadis manis mirip Barbie itu. Ceklek ... Pinka masuk ke dalam ruang karaoke private itu dan menghampiri Om Lukman lalu duduk di pangkuannya sambil bergelayut manja. "Hei seksi ... Maaf ya baru kesini lagi. Biasa nyonya besar minta liburan," ucap Om Lukman lembut dan memegang gemas dagu Pinka. Pinka yang manja dan centil pun hanya mengerucutkan bibirnya. Ia berpura -pura marah pada Om Lukman karena sudah satu minggu ini tak ada kabar. Memang Om Lukman ini adalah lelaki paling royal dan loyal. Sesekali memang Pinka di ajak makan bersama di luar jam kerjanya. "Pinka agak kehilangan. Tapi, untung saja. Tempat ini selalu ramai," ucap Pinka pelan. Kedua wajah mereka memang sangat dekat tapi Om Lukman hanya bisa menikmati Pinka yang cantik dengan menatap dan mencium aroma harum tubuhnya yang kadang membuat syahwat Om Lukman pun mulai nakal ingin menerkamnya. Sesuai kesepakatan dengan Madam Rose. Seorang purel hanya bertugas menemani bukan untuk dinikmati tubuhnya kecuali memang sang purel mengiyakan. Jadi kalau ada pelanggan karaoke yang bersikap kurang ajar, Madam Rose tak segan -segan membawa bodyguard untuk memukuli pelanggan tersebut. "Om Lukman mau nyanyi apa?" tanya Pinka lembut sambil mengambil remot untuk mencari lagu kesukaan Om Lukman yang biasa di nyanyikan. "Apa saja yang kamu pilihkan, Pinka," ucap Om Lukman pelan. Om Lukman merogoh kantong celananya dan memberikan sebuah hadiah cantik untuk Pinka. Pinka masih sibuk mencari lagu yang ia sukai. Saat sudah selesai memilih lagu, remot itu diletakkan di meja dan menoleh ke arah Om Lukman yang sejak tadi tersenyum lebar. "Ini untuk kamu, Pinka. Pakai ya," titah Om Lukman yang memberikan hadiah indah untuk Pinka. Wajah Pinka begitu berbinar. Ia mengambil kotak kecil itu dan mengucapkan terima kasih. "Bener ini buat Pinka? Om Lukman kenapa repot -repot membelikan ini untuk Pinka? Pinka buka ya," cicit Pinka yang manja dan centil itu. Seorang purel memang dituntut seperti itu agar laris dan banyak pelanggan setianya. Tak hanya bermodalkan cantik dan seksi saja, tapi memiliki sikap yang baik, lembut, ramah, manja dan centil. "Bukalah. Semoga kamu memang suka," ucap Om Lukman sambil tertawa renyah. Pinkan membuka kotak kecil dengan pita pink di atas kotak itu hingga terlihat manis sekali. Saat kotak itu terbuka, dan terlihat hadiah berkilau dengan bandul huruf P yang berarti inisial nama Pinka. "Kalung? Ini cantik sekali? Ini beneran buat Pinka?" tanya Pinka mengulang. Ia merasa tak pantas menerima hadiah cantik seperti itu. Pinka memegang kalung yang berbahan emas putih dengan insial huruf dan ada berlian kecil di sekitar huruf itu. "Sini saya pakaikan. Biar selalu kamu pakai dan kamu selalu ingat saya, Pinka," ucap Om Lukman sendu dan tatapannya begitu mendamba. "Arghh ... Kok jadi melow begini. Udah ah ... Bukannya Om Lukman ke sini tuh mau senang -senang sama Pinka, inj malah bersedih," ucap Pinka pelan. "Saya akan jarang kesini setelah ini. Saya ada urusan di luar kota, Pinka," ucap Om Lukman terbuka. "He em ... Mau minum?" tanya Pinka memcari pembahasan lain. Pinka tidak mau terhanyut dalam perasaan dan hatinya. Ia hanya ingin melayani pelanggannya murni sebagai purel bukan sebagai simpanan. "Kau memang pintar mengalihkan pembicaraan," ucap Om Lukman pelan. "Harus itu. Biar nggak terjebak sama lelaki hidung belang," ucap Pinka terkekeh dan mengedipkan satu matanya pada Om Lukman. Pinka berdiri dan mengambil satu botol minuman keras yang ada di pojokkan dinding dekat pintu. Pinka membuka botol itu dan menuangkan minuman keras ke dalam gelas kecil. "Minum Om," titah Pinka sambil berjoget mengikuti alunan lagu yang enak untuk bergoyang. Om Lukman pun menurut dan menegak minuman itu dan ikut bergoyang sambil memeluk Pinka. Lama kelamaan satu botol minuman itu habis diminum oleh Om Lukman. Tak terasa juga Pinka sudah empat jam menemani Om Lukman di dalam ruang karaoke itu. Pinka masih bernyanyi dan berjoget centil. Bernyanyi memang hobby-nya. Om Lukman sudah mulai melayang karena minuman dan ia menatap Pinka yang cantik sekali dengan kilauan keringat karena kelelahan berjoget malah membuat Om Lukman bernafsu. Om Lukman berdiri dan memeluk Pinka dari belakang. Itu hal biasa. Pinka mulai bisa menerima kalau hanya pelukan tanpa ada ciuman. Apalagi keintiman. Pinka menolak dengan tegas. Napas Om Lukman mulai memburu saat aroma wangi tubuh Pinka dan parfum Pinka menyatu dan membuat birahi Om Lukman makin membara. Bibirnya mulai nakal mencium leher Pinka. Awalnya Pinka membiarkan, tapi lama -lama Om Lukman mulai ngelunjak dan memegang area sensitif Pinka. Semeru menguncup Pinka pun tak luput dari sentuhan nakal Om Lukman. Pinka pun mendorong Om Lukman saat tangannya mulai berani masuk ke dalam pakaian Pinka. Brakk!! "Om Lukman kira, Pinka ini murahan?!! Pinka tidak mau terima Om Lukman lagi!!" teriak Pinka kesal. Pinka pergi dan keluar dari rung karaoke itu meninggalkan Om Lukman sendirian di ruangan itu dengan tatapan tajam ke arah Pinka. Pinka menangis sesegukan di ujung ruangan lantai atas. "Kamu kenapa!! Mana uangnya? Setoran untuk Ayah!!" ucap Sam, Ayah Pinka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD