Bab 4. Lupa Waktu

1155 Words
Yozico masuk ke dalam kamarnya. Dia melihat ponselnya menyala. "Kok nyala?" Dia menghampiri ponsel itu dengan wajah tampak bingung. Dia meraihnya, terlihat ponsel menyala di akun gamenya "Loh, perasaan sudah aku log out, deh." Yozico terdiam sembari menatap ponsel itu. "Sudahlah, mungkin aku lupa." Yozico yang memilih acuh, memilih untuk memainkan game itu hingga larut malam. Tiba-tiba di telinganya terdengar suara seperti bisikan yang mana persis banget dengan yang ada di gamenya itu. Dia hanya menoleh, tak melihat apapun di dekatnya. Lalu, di menyempatkan untuk menatap ke arah jam dinding yang sudah menunjukan pukul satu dini hari. "Bentar lagi kali, ya. Besok ada kuliah pagi," ujar Yozico. Berawal dari kata sebentar lagi yang berulang membuat Yozico lupa akan waktunya. Dia seakan-akan terpikat dengan apa yang di tatapnya saat ini. Sayup-sayup terdengar suara adzan berkumandang, game yang dijalankan masih belum berhenti. “Kok sudah pagi saja,” gumam Yozico. Tok! Tok! Suara ketukan pintu kamar Yozico yang setiap pagi selalu terdengar, saat ini sudah terdengar kembali. Mama Yozico yang selalu mengingatkan sholat, pasti melakukan hal yang sama setiap harinya. “Zico, bangun!” ujar mamanya sedikit berteriak. Yozico yang terlalu serius sehingga lupa untuk menjawabnya. “Zico!” teriak ibunya sembari membuka pintu kamarnya Terlihat Zico yang terpaku ke ponselnya membuat mamanya murka. “Zico!” mama Zico merampas ponsel anaknya. “Mama apa-apaan, sih? Belum selesai itu, loh,” pinta Yozico. “Apa kamu nggak tidur gara-gara game ini? Mau jadi apa kamu” bentak mamanya. Prangg!! Ponsel Yozico di lempar mamanya ke lantai hingga pecah. “Mama!” teriak Yozico dengan amarah yang memuncak. Papa Yozico yang mendengar mereka ribut bergegas menghampirinya. “Kenapa, sih? Masih pagi ribut banget,” tegur papanya. “Mama buang ponselku itu, Pa. Lihat!” Yozico menunjuk ke arah ponselnya. Papa Yozico menatap ke arah istrinya. “Bagaimana nggak marah, tanya itu anakmu semalaman tidur nggak?” ujar Mama Yozico dngan nada ketus. “Zico!” Papa Yozico ikut marah. Papanya yang biasanya hanya diam, saat ini terlihat wajahnya memerah. “Kenapa nggak tidur? Dapat apa kamu? Jika kamu nggak tidur apa terus jago seperti gamemu, hah?” Yozico tidak berani membantah papanya. Dia tahu, jika beliau marah maka dunianya tidak pernah baik-baik saja. Orang yang tak pernah marah, jika sekali marah pasti akan murka. “Jawab!” teriak papanya. “Maaf, Pa,” ujarnya seraya menundukkan kepala. “Cepat ambil wudhu, sholat terus tidur sebentar. Kamu masuk jam berapa?” ujar Ppanya dengan nada ketus. “Masuk jam delapan, Pa. Maaf Pa, Ma,” ujar Yozico menundukkan kepala. “Pa, lalu aku kuliahnya pakai ponsel apa?” “Nggak usah pakai ponsel,” jawab mamanya dengan sedikit membentaknya. “Pa, aku semua kegiatan koordinasi pakai itu.” Yozico menatap ponselnya yang bagian layarnya retak. Entah masih menyala atau tidak, dia juga belum memastikannya. “Sholat dulu saja sana. Biar Papa dan mama bicarakan ini. Makanya jadi orang itu tahu waktu. Boleh main game, main keluar rumah asal semua tahu tahu dan batasannya,” tegur papanya. Yozico hanya pasrah seraya menganggukkan kepalanya. Dia berjalan meninggalkan kedua orang tuanya yang masih berada di kamarnya. Dia menyesali perbuatannya, tetapi entah kenapa seakan-akan lekat akan apa yang menjadi pusat perhatiannya saat ini. Sedangkan kedua orang tuanya hanya saling menatap saat Papa Yozico meraih ponsel anaknya yang sudah hancur. “Bagaimana, Pa?” tanya mama Yozico. “Mati, Ma. Nggak bisa dinyalain lagi,” jawab suaminya. “Hufft ... habisnya Mama kesal banget sama dia, Pa. Perasaan sedari dia pulang kuliah sampai pagi gini masih ponsel terus yang ia sibukkan. Nanti kita belikan sekalian Mama belikan laptop yang ia mau sebagai permintaan maaf untuknya. Tapi, bantu Mama buat bujuk dia agar tak terlalu sibuk sama gameny,” pinta Mama Yozico. “Iya,” jawab suaminya sembari tersenyum. Mereka bergegas keluar kamar saat Yozico belum kembali ke kamarnya untuk menunaikan ibadahnya. Mereka juga melakukan hal yang sama. Pagi itu, Yozico terlihat lebih murung dari biasanya. Selain kurang tidur, dia juga meratapi nasib ponselnya. Semua bahan kuliah beberapa dokumen dan yang lain masih di simpan di sana. Saat sarapan Yozico memilih untuk diam dan tak menyapa kedua orang tuanya. “Tumben diam?” tanya papanya. “Nggak apa-apa kok, Pa. Aku minum s**u saja,” ujarnya dengan singkat seraya mengangkat segelas sussu yang sudah disiapkan ibunya. “Kamu marah sama, Mama? Maaf, ya. Nanti Mama ganti,” ujarnya Mama Yozico. “Enggak, kok. Ehm iya, makasih, Ma. Aku Cuma bingung sama data penting, nanti bisa minta temenku lagi. Soalnya kemarin lupa untuk pindhin ke laptop,” ujar Yozico memberitahu. “Iya, maafkan Mama, ya. Untuk hari ini bawa laptop kamu dulu, minta datanya kirim ke sana. Nanti pulang kuliah, usahakan langsug pulang. Kita beli yang kamu mau,” ujar mamanya. “Iya, aku berangkat dulu.” Yozico beranjak dari tempat duduknya lalu menjabat tangan papa dan mamanya. Dia menaiki motornya secara perlahan menuju kampus. Sesampainya di sana, saat di parkiran kampus dia datang bersamaan denag Fernando teman sekelasnya. “Hei, kenapa muka kamu lecek banget?”tanya Fernando. “Kurang tidur iya, sama bencana ini,” jawab Yozico. “Kenapa?” Mereka berjalan bebarengan menuju kelas. “Ponselku dibuang emakku tadi pagi. Aku game sampai subuh tadi, emakku ngamuk,” ujar Yozico memberitahukan. “Kamu sih, nggak tahu waktu. Terus bagaimana?” tanya Fernando. “Hehehe, file kemarin kirim ke emailku yang aku cantumin di laptop aku, ya. Kelupaan soalnya belum aku pindah,” ujar Yozico. Sesampainya di kelas, Yozico dan Fernado di kursi yang berdampingan. Saat itu, Yozico malah kepikiran untuk menceritakan perihal barang yang ia lihat di toko elektronik yang mereka datangi. “Nando, kamu tahu perihal laptop yang diistimewakan di toko kemarin?” tanya Yozico. “Tahu, memang kenapa?” tanya Fernando. “Aku ingin beli itu, boleh nggak, ya?” ujar Yozico. “Gila luh, ya. Untuk apa? Yang lain kenapa?” tanya Fernando. “Bodo amatlah, aku mau itu. Nanti aku mau ajak Mama atau Papaku ke sana buat menanyakan itu. Sumpah, kaya ada daya pikatnya begitu. Jodohku sepertiku.” Yozico tersenyum sendiri. “Bener-bener rada gesrek ini anak.” Fernando memegang kening Yozico. “Cialan, lu. Kenapa?” Yozico menghempaskan tangan Fernando. “Periksa sana, kamu kena gangguan mental kayanya. Jauh-jauh, sana.” Fernando mengejeknya. Mereka tetap melakukan hal yang sama hingga waktunya pelajaran baru terdiam. Yozico yang memang selalu aktif akan kegiatan, tanpa ponselnya dia kelabakan melakukan tugasnya. Dia menjadi koordinator di beberapa kegiatan itu. “Yozico!” teriak salah satu teman saat dia hendak pulang. “Iya.” Yozico menoleh ke arahnya. “Kamu nggak baca w******p apa bagaimana kok nggak ada typingan dari kamu?” tanya salah satu temannya itu. “Maaf, ponselku rusak. Memangnya kenapa?” tanya Yozico. “Besok pulang kampus, kumpul di tempat biasa. Kita bahas yang dulu pernah ketunda itu,” pinta temannya. “Iya, besok aku kabarin, ya,” jawab Yozico. Lalu, dia hendak menuju parkiran untuk mengambil motonya kemudian pulang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD