"Mrs. Walt?" lontar Eric.
"Tante Beverly dan juga putranya."
Eric mengerutkan keningnya. Ia tentu tahu Beverly, wanita itulah yang telah menyewa jasanya untuk merawat Jillian. Tetapi putranya?
Tiba-tiba, ia ingat jika semalam ada seorang pria yang datang ke vila ini dalam kondisi mabuk berat. Apakah pria itu yang sedang Jillian bicarakan padanya? Dan bagaimana Jillian sampai mengetahui tentang kehadiran pria itu semalam?
"Apakah semalam Anda ...."
Jillian menggelengkan kepalanya, "Semalam aku belum tidur, dan teriakannya terlalu keras. Aku bisa mendengarnya dari kamarku," terang Jillian.
Eric manggut- manggut, akhirnya ia baru mengerti ucapan pria semalam yang bertanya padanya, "Apa kau tahu siapa aku?"
"Jangan katakan kalau desakan Mrs. Waltlah yang telah membuat Anda memutuskan untuk berpura-pura depresi?"
Jillian hanya diam, ia sama sekali tidak berpura-pura. Andai semua orang menyadarinya. Ia, benar-benar depresi dan patah hati. Ia memiliki trauma yang sangat besar di jiwanya yang terkait dengan pesawat dan juga air laut. Ia depresi, namun ia tidak kehilangan kesadarannya. Seakan ... Mike melindunginya dari jauh.
Mike, sejujurnya ia belum percaya sepenuhnya jika suaminya itu telah tiada. Ada keyakinan di dalam hatinya yang terkadang mengingatkannya bahwa mayat Mike belum ditemukan. Yang menandakan Mike kemungkinan bisa saja selamat. Hanya ... Jillian tidak bisa membuktikan teorinya ini.
"Eric." Jillian mendongak, menatap Eric dengan wajah hampa. "Aku ... memang depresi."
***
Matahari merayap di atas langit dengan sinar cerah, namun bagi Jillian, dunia di luar sana tak lebih dari bayangan kelabu. Di atas kursi roda, terkurung dalam pikirannya sendiri, ia terus menatap pesisir pantai.
Bel vila tiba-tiba berbunyi, Jillian melirik Eric yang sedang memberi isyarat pada perawat wanita yang ingin membukakan pintu, agar menemaninya. Sedangkan Eric sendiri bergegas ke arah pintu.
Jika dikatakan tangguh, Eric cukup tangguh. Meski tubuh pria itu lebih kurus sedikit dari Mike.
"Mrs. Walt?"
Mendengar panggilan Eric pada seseorang yang berdiri di depan sana, Jillian kembali mengarahkan pandangannya ke arah pesisir pantai yang sepi.
"Jill?"
'Mike?'
“Jillian, Sayang?” Beverly yang telah memasuki ruang tamu vila dan berada tak jauh dari Jillian, menegur menantunya itu dengan nada lembut. "Bagaimana kabarmu hari ini?" hanya dalam hitungan detik ia telah berdiri di hadapan Jillian.
Jillian memutar kepalanya, menengadah, dan menatap wanita paruh baya itu dengan tatapan kosong. Berusaha keras menyembunyikan ketidaknyamanan yang mencengkeramnya. Ia yakin, jika kedatangan Beverly bukan hanya untuk sekadar menanyakan kabarnya.
"Oh, Jill."
Jillian menurunkan pandangannya, pada tangan Beverly yang sedang menggenggam kedua tangannya.
"Sayang, Tante memiliki kabar baik untukmu. Pagi ini Nick sudah menghubungi Ayahnya, dia membicarakan tentang pernikahan kalian. Dia ... sudah menyetujuinya."
'Pernikahan lagi?' Jillian meringis dalam hati, meski begitu— wajahnya tetap tidak menunjukkan ekspresi apapun.
"Nick, kau mengenal putra bungsu Tante itu, 'kan?"
Jillian masih bergeming, tentu saja ia mengenal Nick. Ia pernah diperkenalkan Mike pada adiknya itu saat pesta pernikahan mereka. Pria itu angkuh, dan terlihat seolah tidak peduli pada sekitarnya. Namun di dalam binar mata Nick, Jillian menangkap ada kesedihan dan juga kesepian yang terpancar di sana.
Masih dengan ekspresi yang sama, ia terus memperhatikan Beverly. Ibu mertuanya itu berbicara banyak hal dan juga mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tasnya.
“Sebelum pernikahan kalian dilakukan, Tante ingin kau melihat surat ini terlebih dahulu.” Beverly memberikan amplop itu pada Jillian.
Jillian hanya melihat amplop tersebut dengan tatapan kosong.
Tahu bahwa hal ini akan terjadi, Beverly kembali tersenyum lembut pada Jillian. Ia juga mengeluarkan isi amplop itu untuk sang menantu.
“Ini adalah surat pernyataan bahwa kau sudah resmi menjadi janda."
'Janda?' hati Jillian seakan teriris mendengar kata itu. Ini baru sebulan lebih sejak pernikahannya dengan Mike, dan kini ia sudah menjadi janda? Bukankah Mike belum ditemukan?
Melihat Jillian hanya diam seperti biasanya, Beverly pun melirik ke arah Eric, namun pria itu hanya terus menatapnya dengan tatapan yang sulit untuk ia artikan. Mengapa? Apakah pria itu merasa kesal karena ia terus mendesak Jillian yang masih depresi untuk segera menikah dengan putra bungsunya? Bukankah ia melakukan hal ini demi kebaikan menantunya ini?
“Sayang." Beverly kembali menatap Jillian. "Tante mengerti dengan perasaanmu. Tapi kau tidak bisa menunggu Mike selamanya. Dia ... sudah lama tidak kembali,” imbuhnya.
Jillian lagi-lagi bergeming, tetapi ia melemparkan tatapannya ke arah pesisir pantai.
Beverly menghela napas lelah melihat kebisuan sang menantu. Setelahnya, ia menegakkan tubuhnya dan melangkah menghampiri Eric, lalu memberikan isi amplop yang tidak sempat ia perlihatkan pada Jillian
"Bukankah dia hanya mau berbicara padamu?" lontarnya pada pria itu.
Eric menyipitkan matanya saat Beverly mendesakkan kertas yang wanita itu pegang ke atas telapak tangannya.
"Aku harap kau bisa membantuku untuk memperlihatkan kertas ini padanya. Dan satu lagi, aku mengadakan pernikahan tertutup untuknya dan juga Nick dua hari dari sekarang. Karena itu ... lakukanlah tugasmu dengan baik. Tunjukkan padaku bahwa aku tidak salah telah memilihmu untuk merawatnya."
"Ini tidak ada hubungannya dengan profesiku, Mrs. Walt. Andalah yang terlalu terburu-buru, semua orang yang mengalami trauma membutuhkan lebih banyak waktu untuk menyembuhkan diri mereka sendiri," balas Eric, tak terima karena keprofesionalannya dalam bekerja diragukan.
"Baiklah, baiklah." Akhirnya Beverly mengalah, sedikit bingung atas sikap Eric yang menurutnya terlalu santai dalam bekerja. Apakah semua Psikiater memang seperti pria ini?
"Mike?"
Beverly tersentak, ucapan Jillian itu membuat ia sontak melemparkan pandangannya pada sang menantu yang masih menatap pesisir pantai. Namun, ada yang berbeda kali ini. Jillian kini menunjuk ke arah air laut yang berkilau terkena cahaya matahari.
"Oh, Jill," lirihnya. Sedetik kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya pada Eric. Sama seperti dirinya, pria itu juga sedang memperhatikan Jillian seperti yang telah ia lakukan tadi. Tatapan Eric pada menantunya itu membuat hati Beverly berdetak cemas. "Kau lihat, 'kan? Jika kau tidak membantunya, apa kau ingin melihatnya terus seperti itu?" ocehnya pada pria itu.
Tanpa Beverly duga, Eric tiba-tiba menatapnya dengan tajam. Ada apa dengan pria ini?
"Sudahlah." Beverly meninggalkan Eric dan kembali menghampiri Jillian, lalu membungkuk untuk mengecup pucuk kepala menantunya itu. "Hari ini ada yang harus Tante lakukan, tapi besok ... Tante akan ke sini lagi untuk menemuimu," ujarnya. Beverly mengusap wajah Jillian dan menatap menantunya itu selama beberapa saat. Duka berkabut di matanya saat ia melihat kebisuan Jillian. "Oh, Jill. Andai saja Mike benar-benar masih hidup," tukasnya getir.
Sebelum air matanya luruh mengenang putra sulungnya, Beverly langsung bergegas pergi. Eric mengikuti wanita paruh baya itu dari belakang.
Sementara Jillian memilih kembali ke dunia pikirannya, seolah-olah ia ingin menjauh dari kenyataan. Sudah diputuskan, ternyata kehidupannya sudah diputuskan tanpa persetujuannya.
Ayahnya, Jillian sangat yakin ayahnyalah yang telah mengatur semua ini. Ayahnya adalah seorang pria yang menghitung untung dan rugi, dan kerugian tidak ada di dalam kamusnya. Selama bisa menghasilkan keuntungan yang besar, ayahnya bahkan rela menjual jiwanya.
'Nick? Apa yang harus kulakukan agar pria itu bersedia melepaskanku?'