"Kenapa kau keluar darah?" Om Redi menatapku curiga. Tatapannya tertuju pada sprei tempat barusan kami memadu kasih.
Jantungku berdetak kencang dan aku tiba-tiba menjadi sangat tegang. Bagaimana cara aku menjelaskannya? Jelas aku tak mungkin mengatakan padanya yang sebenarnya. Ia pasti akan sangat marah jika tahu aku masih perawan.
Om Redi mengernyit heran saat tatapannya kembali tertuju pada darah di sprei. Kami baru saja menikah.
Om Redi menatapku dengan wajah semakin curiga saja. Tatapannya padaku yang mulanya biasa saja kini berubah menakutkan. "Apa jangan-jangan, kau bohongi aku?!" Lelaki berbadan tegap ini mengikis jarak, masing-masing tangannya mendarat di pundakku. Ia menggeretakkan gigi dan terlihat sangat marah.
Wajar, jika dia sangat marah. Aku mendapatkan lelaki seusia ayahku ini dengan cara curang. Aku mencintainya tapi dia hanya menganggapku anaknya. Maka kepada ayahku, aku bilang bahwa aku dan Om Redi telah tidur bersama saat Om Redi mabuk karena ditinggal bibi menikah. Om Redi mulanya tak percaya dan tak mau bertanggung jawab. Tapi, ayahku memaksa karena aku mengaku hamil. Dan beginilah, akhirnya kami menikah.
Om Redi menatapku tajam, membuatku sangat takut. Cari alasan, Putri. Cari alasan. Ucapku dalam hati mencoba menenangkan diri.
"Jangan-jangan aku ... pendarahan, Om."
"A-pa?!" Wajah Om Redi kini berubah cemas. Tatapannya tertuju ke arahku. Lalu ke sprei.
"Jangan-jangan flek, Om. Aduuh, perutku kok tiba-tiba sakit, ya, Om. A-duuh." Aku mendramatisir keadaan dengan memegangi perut. Om Redi memakai bajunya lalu menggendongku.
"Tenanglah. Aku bawa kau ke bidan."
Tubuhku menegang kini. Bisa ketahuan jika dibawa ke bidan. A-duuh, gimana, iniii.
"Om, a-kuu ...."
"Diamlah. Aku pun tak ingin anak kita kenapa-napa." Ia menggendongku menuju mobil. A-duuuh bisa ketahuan aku kalau masih gadis.
*Jangan lupa follow akunku Soh lalu b**********n cerita ini biar nanti dapet notif tayang. Tegang gak, tuuh, kalau kamu yang jadi Putri?