10

1883 Words
Linda mengernyit memandang ke arah perginya Om Redi. "Lucu ya, Om ituu?" Aku hanya menggaruk kepala. Om Redi marah gak, yaa? Linda menatap jam di tangan kanannya. Gadis bertubuh langsing itu menepuk dahinya lalu berucap, "Aduh emakku bisa marah nih kalau dia pulang dari kebun aku belum beres-beres rumah. Pulang dulu ya, Put." Aku mengangguk, seharusnya dari tadi, kek. Begitu teman-teman pulang, kutelpon Om Redi, tapi dimatikan terus. Sepertinya ngambek deh Om Redi. Aku masuk ke dalam dan meminta bibi mengantarku ke rumah ayah dengan alasan nomer Om Redi tak bisa dihubungi. Bibi langsung menolak, namun nenek membujuk agar mengantarku. Untunglah, Om Redi ada di rumah ayah. Motornya terparkir di halaman. Aku melambaikan tangan pada bibi lantas menuju rumah. Kudengar kesal suara suamiku. "Parah anak kau, In. Dia bilang aku ini siapa di depan teman-temannya? Katanya, aku ni teman ayahnya." Tuuh, kan, Om Redi beneran marah. Aku membuka pintu sedikit, Wajahnya tampak sangat kesal. Sementara ayah tergelak. "Putri kan masih anak-anak, Red. Mungkin dia malu." Ayah membelaku. Memang dia yang terbaik. "Apa kau bilang? Tak bolehlah dia seperti itu. Hey, ayah mertua! Aku pun malu lah orang tau biniku masih belum matang, tapi aku tak bilang kalau dia anakku!" Ayah hanya tertawa kecil. Ia terdiam saat bersitatap denganku yang tengah mengintip. Aku pun menutup pintu. Brak. A-duuh "Siapakah di situ? Kau kah Cinta? Ke sinilah kau!" "Mungkin terkena angin. Kamu mau makan?" "Malas lah. Anak kau buat moodku jadi jelek. Pulang sajalah aku!" Aku bergegas ke samping rumah. Menunggu cukup lama sampai akhirnya Om Redi keluar dan menaiki motornya. Ndren ndreeen! Dia mengegas-ngegasnya. Lalu motor itu meluncur ke halaman. Eh, aku bisa beneran ditinggal dong jika terus bersembunyi. "Oooom!" teriakku akhirnya sambil melangkah tergesa menuju halaman. Om Redi menoleh, ia menghentikan motor, menatapku terlihat jengkel. "Ada perlu apa kau panggil aku?" Aku mendekat, menatapnya tak enak hati. "Om kok, gi-tu, siiih." "Om kok gitu, siiih." Ia mengikuti ucapanku dengan gerak bibir menyebalkan. Aku tersenyum malu sambil mengulurkan tangan. "Om, maafin aku, ya? Aku itu gak bermaksud bicara begitu ta-dii." Ia mengibaskan tangan ke udara. "Alah kau ini cari alasan. Naiklah cepat!" Aku pun naik. Ia diam saja sepanjang perjalanan yang membosankan. Saat kulingkarkan tangan ke perutnya, ia menepisnya. "Tak usah sentuh-sentuhlah kau. Aku ni teman ayah kau." Duuh, dia beneran ngambek. Kalau lelaki ngambek, menghiburnya pakai apa, ya? Ah, mungkin, aku bisa joget-joget nanti di rumah. Atau bertingkah manja menggoda? Iiih, malas. Nanti dikacangin lagi kan malu. Aku kembali memeluk Om dan ia langsung membuang tanganku dari pinggangnya. "Om kok gi-tuuuu." Aku pura-pura cemberut. Wajahku tampil di spions. "Om kok, gi-tuuu." Ia membeo dengan gerak bibir menyebalkan. "Jangan gini dong, Om, kayak anak kecil aja ngambek." Tak ada sahutan. Saat kami bersitatap di spions, dia melengos. Begitu sampai rumah, ia langsung mengambil handuk, melangkah cepat menuju muara. Aku mengikutinya. Kulihat Om Redi meluncur ke bawah dan menggerak-gerakkan tangannya di air. Aku membelalak tak percaya. "Om, awas ada buayaa!" kataku saat ia berdiri di tepian. Lelaki basah kuyup itu hanya menatapku kesal. "Sekalian sajalah kau doakan aku ni disantap buaya!" Tatapannya begitu kesal. "Ya gak gitu juga, Om." Aku menggaruk kepala. Cukup lama ia berenang ke sana kemari. Aku menatapnya dengan takjub. Sungai kan dalam banget. Cukup berani. "Romantisnyaa," kata Bu Win. Ia adalah tetangga samping rumah, perempuan berbadan subur, jilbabnya panjang sampai ke pinggangnya. Aku tersenyum kecil pada perempuan berkulit eksotis itu. Ia itu tak tahu saja kalau suamiku sedang ngambek dan aku tengah mencoba membujuknya. "Main-main ke rumah." Aku mengangguk. "Iya, Bu." Ibu pemilik warung itu pun berlalu. Aku kembali memperhatikan Om Redi. "Kenapa kau disitu terus? Masak sanalah, lapar aku ni." Ia mengibaskan tangan isyarat mengusirku pergi. Oh, benar juga. Aku memberinya ciuman jarak jauh dengan telapak tangan yang langsung ia tanggapi dengan pura-pura muntah. Nyebelin, sumpah. Aku mengentakkan kaki lalu melangkah cepat menuju rumah. Kucuci kangkung juga irisan bumbu dari air di bak yang diangsu Om Redi dan mulai memasak. Tak lama kemudian, Om Redi menghampiriku di dapur yang tengah menggoreng tempe mendoan. Ia mengambil satu dan menggigitnya. Saat bertemu tatap denganku, ia langsung melengos. "Kenapa lihat-lihat?!" "Enak, Om?" Aku tersenyum kecil. Ia menatapku tajam. "Tak!" sahutnya. "Kok, dimaem?" Aku menoel pinggangnya. Ia mengenakan kaus merah terang bergambar pistol, pas di tubuh membuatnya terlihat seksi. "Apalah kau ini toel-toel. Tak ada makanan lain ya kumakan, lah!" Ia membawa sepiring tempe goreng ke ruang tamu. Aku hanya menggelengkan kepala. Begitu selesai masak, kubawa sayur juga lauk ke meja. Aku menggeser kursi lantas duduk di hadapan Om Redi, bertopang dagu memandanginya sambil senyum-senyum sendiri. "Kenapa, laah, kau ini?!" Dia mengibaskan tangan dan terlihat salah tingkah. Aku menggeleng. "Om kalau lagi ngambek, tambah ganteng, deh. Bi-kin aku tambah cinta, deeh. Suer." Aku mengerling menggodanya. Lalu memonyongkan bibir dan mendekatkan tubuh seperti hendak menciumnya. Ia menatapku dengan ekspresi jijik. "Geli aku ini lihat kau seperti itu." Aku tersenyum. Kembali ke posisi semula, meraih piring lantas mengambilkannya nasi. Juga sayur dan telur goreng. "Dimakan, Om." Ia meraih sendok dan mulai makan dengan cepat. Aku makan sambil sesekali memperhatikannya. Ia terus saja diam mengabaikanku sampai jam 9 malam. "Om mau diamin aku terus, ya?" tanyaku sambil duduk di sampingnya. Ia tengah menonton televisi, hanya menoleh sekilas. Aku tak berani menatap ke arah layar lebar itu. Bisa tak tidur aku kalau ikut saksikan film horor karena akan terus kepikiran. "Om." Aku menoel tangan Om Redi. Ia menoleh. "Kenapa sih kau ini?" Ia memicingkan sebelah mata. "Jangan gini, doong. Aku kan sedih, Om, dikacangin mulu dari ta-dii." Tangannya terangkat lalu menjitak kepalaku. "Kau itu tak seharusnya malu bersuamikan aku. Kenapa kau nikah sama aku kalau malu akui laki kau ini?!" Ia menepuk-nepuk keras dadanya. Aku mengangguk menyesal. "Iya, Om. Gak kuulangi lagi, deeh. Janji." Ia menyentak napas. "Tidurlah sana." Aku pun menurut. Namun tak bisa tidur saat mendengar gueeek gueeeek bunyi burung hantu di samping rumah. Pasti nangkring di pucuk pohon tinggi. Bunyinya mengerikan di malam sunyi dan hening ini. Ditambah lagi suara cekikan dari depan, menambah horor suasana malam mencekam. Om Redi benar-benar, jam segini kok nonton film setan. Aku akhirnya bangkit menuju ke arahnya. "Om, udah malam tau. Bobok, yuk?" Aku duduk di sampingnya. Ia hanya menoleh sekilas. "Kau tak lihat, itu lagi seru!" tunjuknya ke arah layar televisi. Jantungku berdetak kencang saat menatap ke layar televisi, dua tangan busuk berkuku panjang nan runcing tengah bergerak pelan keluar dari kubur. "Udah malam, Om. Bobok, yuuk, aah." Aku benar-benar bergidik. "Kau ini. Tidur dulu, lah, sa-naa!" Ia memandangku dan tertawa mengejek. Didongakkannya wajahku dengan satu tangan. "Pucat begini wajah kau. Pipis di sini tar kau!" Kucubit kuat perutnya. "Iiih, apaan sih, Oom!" Aku mendengkus sebal. Ia mengambil bantal lalu tiduran di kasur lantai. Lalu tangannya menepuk ruang kosong di sebelahnya. "Si-ni, lah. Di ketekku." Ia menepuk dadanya sambil tertawa. Aku melotot. Nyebelin banget, sumpah. Ia tertawa semakin ngakak sampai tubuhnya bergetar begitu. "Kau dulu suka lelap di sini, kau. Tidur di ketekku. Lalu aku, akan nyanyikan lagu, balonkuu a-daa liii--" Mulutnya masih membuka saat aku mendelik. Di televisi si kuntilanak sedang cekikikan, pula. Hiiihihihihiii. Bikin aku semakin takut aja. Kesal, kutarik bantal dari kepala Om Redi lantas melemparkannya keras ke arahnya dan ia dengan cepat menangkapnya. Dengan kesal aku menuju kamar. Menutup tubuh dengan selimut dan memejamkan mata. Kucueki bunyi gueeek gueeek juga hiiihihihii dari arah depan. Bobok, Putri. Besok bangun pagi masakin suami. Dan aku pun perlahan terlelap. Namun, tak lama. Suara cekikikan dari arah depan membuatku terjaga. Benar-benar Om Redi. Kusingkap selimut lantas bergegas bangun. "Om, ini udah jam berapa, coba?!" Tatapanku tertuju pada benda segi empat sedang di dinding. Pukul 00.05. Lalu tatapanku turun ke bawah, tersentak kaget karena tak melihat Om, malah di televisi sedang tampak si kuntilanak, pula. Aku buru-buru mencabut kabel VCD dari colokan dan menatap ke arah pintu keluar yang dalam keadaan tertutup rapat. Aku mendekat dan menarik handelnya. Terkunci. Sepertinya digrendel dari luar. "Oooom!" Benar-benar, masa aku ditinggal sendirian. Sudah rumah dekat banget dengan sungai, ditumbuhi rerimbunan nipah, pula. Belum lagi pepohonan besar di kanan kiri rumah. Berasa di tengah hutan. Aku dengan cekatan meraih HP dan menghubungi Om Redi. Tapi dering HP-nya terdengar bersumber dari ruang kamar. Di mana siih, dia? Bisa-bisanya tinggalin aku sendirian. Jangan-jangan mancing di muara, lagi. Om Redi hobi banget mancing. Ia sering datang ke rumah membawa gabus besar-besar. Gu-eeek gu-eeeek Bunyi burung hantu kini terdengar semakin mengerikan saja. Aku masuk kamar, coba memejamkan mata namun tak bisa juga. Malah kebelet pipis, pula. Mana berani aku ke belakang sendirian. Rasanya aku ingin nangis, deh. Dan akhirnya, aku beneran nangis. Spontan saja kedua mataku mengeluarkan air. Masa aku ditinggal sendirian, rumah tetangga berjauhan, pula. Bagaimana kalau ada makhluk rambut panjang yang melayang-layang di luar? Aku pun menghubungi ayah. Setidaknya, aku punya teman ngobrol untuk mengusir kesendirian. "Ada apa, Put?" Mama yang mengangkat. Suaranya terdengar sedikit jengkel. "Ada apa anak itu malam-malam telpon? Ganggu orang sedang 'bisnis' saja." Gerutu ayah. "Mana ada bisnis malam-malam, Yah?! Nggak tau, apa, aku sedang ta-kuut?" "Takut kenapa?" tanya ayah terdengar penasaran. "Ya masa aku ditinggal di rumah sendirian sama Om Re-dii. Huhuhu. Aku nangis nih Yah aku takut, ta-uuu." Ayah malah tergelak. "Haha, suamimu sering keliaran malam-malam. Mungkin mancing dia di.muara." "Harusnya kamu ikat saja, Put." Timpal mama. Lalu mereka tertawa kompak. "Lebih baik tidur sudah malam." Itu suara mama. "Benar yang dikatakan mamamu. Percaya sama ayah, tidak ada apa-a-" "Tar yah jangan dimatikan dulu. Aku kebelet pipis, nih. Tar bentar." Dengan membawa HP aku membuka pintu belakang. Gelap gulita dan senyap. Bunyi gueeek gueeek semakin keras saja di sini. Tampak beberapa ekor kunang-kunang terbang rendah di udara. Cahaya keperakannya berpendar-pendar. Moga bukan tanda ada setan. Aku pun menyalakan senter HP lalu menuju WC dengan tubuh panas dingin dan gemetaran. Sumpah deh deg kan. Aku pun pipis lalu cebok dengan cepat. "Yah?" Aku membelalalak kaget saat HPku tiba-tiba mati kehabisan daya. Secepat kilat aku berlari lintang pulang menuju rumah. Brak! "A-duuuh!" Aku mengaduh dengan napas tak beraturan. "Om Re-diiiii!" kataku setelah menyadari ia yang kutabrak. Aku memeluk tubuhnya erat. Masih deg deg kan karena lari-lari tadi. "Hahaha. Kau takut?" Tubuhnya dalam berukanku bergetar pelan. "Nggak lucu tau, Om nertawain a-ku! Nyebelin! Nyebelin!" Aku memukul-mukul kuat dadanya. Ia mencekal kedua tanganku dan tergelak. "Om, dari mana sih keluyuran malam-malam?" Aku menatap ke tangannya, baru menyadari ia membawa ember berisi ikan gabus gede-gede. "Mancing lah aku ini. Biar anakku ini tak kekurangan gizi. Sudah tiga bulan tak terlihat, cemaslah a-kuu." Ia usap perutku. Diletakannya ember itu ke lantai dan ia keluar untuk mencuci tangan. Okelah, besok pakai pengganjal perut. "Kalau kau takut pipis di luar, pipis saja lah di dalam. Sudah kusiapkan. Pagi tinggal buang!" Tangannya menunjuk ember besar di sudut dapur. Mataku melebar sempurna. What? Aku suruh pipis di ember besar itu? Buka kaki lebar-lebar lalu .... Astagaaa. *Ada yang nyadar gak kalau cerita ini tuuh squel cerbung Nafkah Batin kisah ayahnya Putri juga ada kisah Om Redi dulu? Yuuk baca Nafkah Batin cover gambar cowok. Dijamin bikin sedih, lucu, bikin tegang, dan romantis juga. Btw teman, tolong bantu tap love cerbung baru aku judulnya Suamiku Calon Mertuaku penulis Soh. Aku butuh 500 love agar cerbung Suamiku Calon Mertuaku bisa tayang eklusif hanya di aplikasi ini. Karena untuk kontrak syaratnya 500 love, butuh 300 love lagi. Makasih sebelumnya, moga rejeki kalian selalu dilancarin. Amiin. Lanjut gak niiiih cerbung ini? Komentari doooong
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD