5

1342 Words
"Ayok, kita ke dokter sekarang." Om Redi berdiri yang segera disusul ayah dengan antusias. Ayah ini ya ampun, ngebet banget. Padahal ia dulu marah-marh saat kuberi tahu anaknua ini hamil. Tanganku yang memegang sendok begitu dingin, aku menatap Mama dengan memohon. Tolong aku, Maa, pleasee. Mama menatapku jengkel. Ia akhirnya memandang suaminya lalu tatapannya pindah ke Om Redi yang menatapnya dengan heran karena mama tiba-tiba tertawa tampak dibuat-buat. "Kenapa lah kau ini, Cin. Masih waras kan, kau?" Tangan Om Redi mendarat di kening mama dan ayah langsung melotot pada Om Redi. "Dia mertuamu sekarang. Perbuatanmu tidak sopan," kata ayah protes. Tapi ia juga menatap Mama yang terus tertawa penuh keheranan. "Apanya yang lucu? Kami sedang panik malah kamu tertawa." Ayah menggelengkan kepala. Wajahnya terlihat jengkel. "Yaa aku ngerasa lucu aja, Mas. Kan masih 3 bulan, yaaa belum keliatan lah jenis kelaminnya." Ayah memicingkan mata. "Siapa yang mau melihat jenis kelaminnya? Kita hanya ingin memastikan apa kandungan Putri baik-baik saja." "Betul tu. Coba kau lihat, wajah Putri pucat begitu. Apa kamu baik-baik saja?" Om Redi memandangku terlihat khawatir. Aku mengangguk, sedikit tersentak saat tangan suamiku ini tiba-tiba menarikku berdiri. "Ayo ke dokter sekarang." Ayah mengangguk setuju. Aku menatap Mama memohon. Mama mengibaskan tangan pada Om Redi setelah mendelik padaku. "Perempuan hamil tentu wajahnya pucat. Putri, ayo ke ruangan depan mama akan periksa." Lalu, mama memandang Om Redi dan ayah bergantian. "Aku ini bidan masa kalian lupa. Soal USG, nanti saja setelah tujuh bulan bisa lihat jenis kelaminnya." Ayah dan Om Redi saling pandang, entah apa yang mereka pikirkan. Selamaaat, selamat. Aku bisa menghela napas lega begitu berbaring di ruang depan tempat mama membuka praktiknya. "Anak nakal!" Mama mencubit pinggangku sambil sedikit melotot, mirip seperti ibu tiri kejam dalam dongeng Cinderella. "Ma-maaa. Sa-kit, ta-uuu." Aku mengerucutkan bibir. Mama kembali mendelik. "Ini yang terakhir mama membantumu. Kamu harus jujur saja. Cari moment yang tepat untuk jujur. Dengar?" "Tapi, Ma?" "Dengar?" Aku mengangguk lesu. Mama jadi seperti ini padaku pasti sudah ketularan ayah. "Kamu akan pusing sendiri jika terus berpura-pura." "Kalau Om Redi marah bagaimana, Ma? Dia itu ngeri banget kalau marah." Ya. Aku memang sering banget dibentak-bentak sama Om Redi saat pergi diam-diam menemui pacarku sebelum meninggal. Kalau sampai ia tahu aku membual ... Aku bergidik sendiri, tak mau membayangkannya. "Tinggal minta maaf." Simpel sekali mama berucap. Cukup lama, barulah kami keluar dari kamar. Ayah duduk di kursi menggendong dedek berhadapan dengan Om Redi. "Bagaimana? Apa kandungan Putri baik-baik saja?" Ayah menatapku terlihat cemas, dan mama tersenyum kecil. Tangannya terjulur kemudian meraih dedek yang mulai mengantuk. Mama mengayun-ayun dengan tangannya. Sangat pelan. Dan ayah menatap keduanya penuh cinta. Apa Om Redi akan seperti ayah yang begitu mencintai mama jika aku punya anak? Tanpa sadar, tanganku mengusap perut. Kapan, yaa, aku hamil. Om Redi memperhatikan gerakan tanganku, dan ikut mengusap perutku dengan wajah terlihat lega. "Syukurlah anak kita baik-baik saja." Mama mengangguk. Dedek sudah terlelap dalam gendongannya. "Perempuan hamil itu wajar kalau pucat. Karena dia berbagi nutrisi Dengan janinnya. Mas, eh, Redi, jaga Putri dengan baik." "Tentulaah. Aku akan jaga dia dengan baik, Ma-maa," sahut Om Redi dengan ujung kata mama dibuat manja, membuat ayah menatapnya memperingatkan. "Okelah. Aku dan Putri cabut dulu kalau begitu." Berkata begitu, Om Redi mengulurkan tangan pada Ayah yang membuat ayah langsung terpana. Om Redi cengengesan. "Kau kan mertuaku sekarang." Ia meraih tangan ayah dan menciumnya, membuat ayah tertawa kecil. Begitu pun mama. Keduanya mengantar kami sampai di depan pintu. "Red, tolong jaga anakku dengan baik." "Tentulaah. Kau tak perlu melakukan itu." "Dan dia sangat manja. Kamu mengerti, kan?" "Tentulah aku mengerti." "Dan keras kepala." Om Redi mengangguk. "Siaap!" "Dan jangan biarkan putriku terlalu lelah." "Siap, ayah mertua!" Ayah langsung meninju pelan bahunya. "Dan ingat putriku habis pendarahan. Kamu mengerti, kan?" Om Redi mengangguk-angguk. "Mengerti sekali! Baiklah, ayo Putri, kita cabut." "Tunggu sebentar." Ayah membalikkan badan, menuju ke kamarnya dengan langkah panjang-panjang. Tak lama kemudian, ia kembali membawa dua amplop. Satunya agak kecil mengembung, satunya lagi ukuran lebar. Mungkin isinya selembar kertas. "Ini apa, laah?" Om Redi menerimanya saat ayah memberikan dua amplop itu padanya. Dibukannya lalu ditekankannya ke d**a ayah sambil menatap ayah dengan wajah marah. "Ini apalah, In. Kau tak perlu begitu padaku." Ayah kembali memberikannya ke Om Redi. "Itu sertifikat rumah yang di muara. Kado dariku atas pernikahan kalian." "Kau tak perlu melakukan ini. Aku pun punya rumah, lah. Kau seperti tak tau saja." "Itu kado. Kamu tempati saja. Biar kamu mudah juga tidak perlu bolak-balik ke rumahmu ke muara tempat kamu kerja. Satu jam perjalan itu, bisa kamu habiskan bersama Putri." Ah, ayah. Aku benar-benar terharu memiliki ayah sepertinya yang selalu galak banyak aturan tapi ada sisi baiknya juga. "Lalu ini apa, laah?" Om Redi memandang amplok yang tampak mengembung. "Uang." "Kau ini. Kau pikir aku tak ada uang!" Om Redi mendekat pada ayah, mencengkeram kerah bajunya dan hampir menonjoknya tapi mama langsung melerai. "Itu uang kado pernikahan dari aku, Mas." "Kalian seolah-olah melakukan ini untuk menyogokku agar benar-benar mengurus Putri. Begitu?!" Tatapan tak suka terlihat jelas di mata suamiku. Aku menatap keduanya dengan ngeri. Sementara mama menggelengkan kepala. "Jangan berburuk sangka dong, Mas. Memberi uang untuk anak sendiri itu gak salah." Ayah mengangguk mengangguk membenarkan. "Aku tahu kamu dapat uang setiap bulannya dari sawet. Tapi aku sebagai mertua ingin memberi. Sudahlah. Pulang sana!" Tangan ayah terjulur ke arah pintu. Om Redi terdiam melihat ayah tampak kesal. Gak usah heran. Mereka selalu begini sejak dulu. Tapi gak lama juga pasti baikan. "Jadi kau usir aku ceritanya?" "Kamu bilang sendiri kamu harus kerja. Putri, jadi istri harus menurut pada suami. Kamu dengar perkataan ayah?" Aku mengangguk. "Dengar, Yah." "Redi, kamu harus penuhi janjimu, Putri habis pendarahan. Dengar?" Om Redi meletakkan tangan ke dahinya. "Dengar ayah mertua!" "Ini untuk kalian, kado pernikahan dariku dan Cinta." Ayah kembali menyodorkan amplop itu. Om Redi mendesah kesal, dan ayah memaksanya. Lalu ayah merogoh sakunya, memberi 4 lembar ratusan ribu padaku. "Uang jajanmu." Om Redi menatap ayah jengkel. Tangannya langsung menyambar tanganku yang hendak meraih uang dari ayah. "Kau itu, In. Dia sudah jadi biniku sekarang. Tak perlu lagi kau beri dia uang jajan. Ayo kita pulang. Ayah kau buatku jadi darah tinggi!" Om Redi menarik tanganku. "Redi, kamu harus tepati janjimu." Om Redi tak menyahut. "Dia menantu yang tak berbakti." Terdengar gerutuan ayah di belakang kami yang membuat Om Redi langsung bersungut-sungut. "Tapi dia dari dulu selalu melindungi Putri." "Iya itu benar." Suara mereka tak lagi terdengar saat On Redi menutup pintu mobil dengan kesal begitu aku masuk. Mobil melaju pelan membelah jalanan yang sunyi. Aku sesekali melirik ke arah Om Redi yang masih tampak jengkel. "Kenapa, Om?" "Tak apa-apa lah. Hanya masih kesal pada ayah kau itu." "Ayah memang begitu." Ia membuang napas. "Sebagai ayah mertua katanya? Kita seumuran." "Om kan nikah sama aku. Otomatis, ayah jadi mertuanya Om." Ia menoleh, tangannya terjulur dan menarik pipiku. "Kau itu sungguh nakal. Bisa-bisanya kau suka padaku buatku jadi terjebak situasi seperti ini." Aku berpaling karena malu. Dan akhirnya aku kembali memandangnya. "Apa Om gak suka sama aku?" "Ha ha ha. Hahaha." Ia langsung terbahak. Satu tangannya memegangi Perutnya. "Putri, kau itu jangan melawak, laah. Geli aku ini dengarnya. Kau itu sudah kuanggap anakku dari dulu." Sesuatu yang menyakitkan menyeruak ke dadaku. Kami bahkan sudah tidur bersama sadar dengan sadar. Wajah Om Redi yang tampak mengejek membuatku menarik napas panjang, mencoba mengenyahkan rasa berat dan menyakitkan di d**a. "Apa Om mau belajar mencintaiku?" Aku menatapnya penuh harap. Om Redi terpaku. Tampak ia menelan ludah. "Om." "Putri, jangan kau libatkan perasaan dalam pernikahan kita. Kau tau sendirilah, aku nikahi kau karena apa." Karena anak dalam kandunganku. Sangat menyakitkan memikirkannya. Om Redi terheran-heran saat aku mengusap air mata. "Kenapa kau nangis? Kau tau hal itu sejak kita belum nikah." Aku menelan ludah dengan susah payah. "Iya." Tak ada percakapan lagi di antara kami. Hanya keheningan sepanjang jalan. Om Redi sesekali melirikku. Sungguh dia memang tak peka. Tuhan, tolong bisa tidak bisa, jadikan dia jodohku sampai mati. Sakit, tapi nggak berdarah. Apaan, tuuh? Ada yang kasian sama si Putri? Tap love dan komentar jika pengen cepat lanjut
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD