BAB 4 :: MAMPUS!

2027 Words
            “Ma… Mama..” Vanya menuruni anak tangga satu persatu seraya memanggil Mamanya. Namun, tidak ada sahutan dari wanita yang bernama Yuni itu. Vanya pun berjalan menuju dapur, berharap bisa menemukan Yuni di sana.             “Bi.. Mama mana?” tanya Vanya ketika gadis itu hanya melihat pembantu rumah tangganya sedang membesihkan dapur.             “Eh Kak Uti, Mama tadi telepon. Katanya bakal pulang telat.” Jawab Bi Derti. Uti adalah panggilan Vanya dirumah. ‘Uti’ diambil dari nama belakangnya yaitu ‘Putri’.             Yuni adalah seorang single parents. Hanan, Papa Vanya sudah meninggal tiga tahun yang lalu akibat kecelakaan. Dan perusahaan yang dulu dipimpin oleh Papanya, kini diambil alih oleh Yuni. Sehingga membuat wanita itu mau tidak mau harus menghabiskan waktunya lebih banyak di perusahaan daripada bersama anak semata wayangnya. Namun meskipun begitu Vanya bisa mengerti. Gadis itu tidak banyak menuntut. Toh selama ini Vanya bisa melihat sesibuk apapun Yuni di luar sana wanita itu selalu berusaha menyempatkan waktu untuk memberikan perhatian-perhatian kecil untuknya. Hal itu pun sudah cukup bagi Vanya.               Sesampainya di kamar, Vanya berjalan menuju balkon kamarnya. Duduk di kursi yang memang sengaja disimpan dibagian sudut balkon ini. Vanya memandang langit malam yang kini hanya diisi oleh beberapa bintang. Namun, ada satu bintang yang paling terang diantara bintang yang lainnya.             Vanya tersenyum. Kemudian mengambil handphonenya yang berada di atas meja. Mengetikkan beberapa kalimat di sana.             Malam Mama! Mama semangat ya! Uti kangen Mama, cepat pulang Ma.. I love you dari Uti dan Papa ♥             Vanya pun mengirim pesan tersebut kepada Yuni. Tak lama, wanita paruh baya itu pun membalasnya.             Malam juga sayang! Tunggu Mama ya, bentar lagi Mama pulang. I love you too sayang..♥♥♥             Setelah membacanya, Vanya pun bingkas dari duduknya dan berjalan menuju samping balkonnya. Berniat untuk memanggil seseorang sekaligus menghilangkan rasa jenuhnya.             “Aldiiiii!!!” panggil Vanya. Tak perlu waktu lama, Aldi pun langsung keluar dari kamarnya menggunakan boxer berwarna biru serta kaos oblong berwarna putih polos.             “Ada apa? Kangen gue?” ucap Aldi kemudian melompati pagar balkon kamarnya dan berdiri di samping Vanya.             “Dih, ngapain kangen sama lo. Nggak guna.” Cibir Vanya. “Gue lagi bosan aja. Lo kan pelampiasan gue kalau gue lagi bosan.” Lanjut Vanya.             “Sialan lo!” Umpat Aldi. Vanya yang mendengarnya hanya tertawa. “Oh iya, nyokap lo belum balik?” lanjut Aldi.             “Belum. Nyokap gue katanya bakal pulang telat. Kenapa emang?” Balas Vanya.             “Nggak. Gue Cuma kangen sama camer gue aja.” Seru Aldi dengan cengirannya.             Vanya langsung menempeleng wajah Aldi membuat laki-laki itu meringis sambil mengusap kepalanya yang sedikit sakit. “Lo apa-apaan sih! Main mukul-mukul gue sembarangan.” Ucap Aldi.             “Lagian lo, seenak udelnya. Mama gue bukan camer lo! Tapi camernya Ji Chang Wook.” Ucap Vanya ketika mengingat actor tampan yang berasal dari negeri gingseng itu. Actor yang membuatnya selalu jatuh cinta ketika melihat perannya dalam setiap  drama yang diperankan oleh laki-laki berparas kelewat tampan itu. Terutama dalam serial drama ‘The K2’  yang sudah kesekian kalinya ditonton oleh Vanya.             “Elaahh.. Siapa lagi sih itu? kemarin si jungkat-jungkit itu. Sekarang beda lagi.” Seru Aldi.             “Heh! Nama dia bukan jungkat-jungkit! Namanya, Song Joong Ki. Seenak udel aja lo ledekkin mantan gue.” Ucap Vanya. “Ji Chang Wook siapa? Yang jelas dia calon suami gue.” Lanjut Vanya sambil senyum mesem-mesem ketika membayangkan wajah actor pujaan semua umat perempuan itu.             “Elah! Jangan mimpi ketinggian lo! Emangnya dia udah pasti mau sama lo? Udah pendek, jelek lagi. Mana mau dia sama lo.” Ledek Aldi.             “Dih! Lo belum tahu aja, cewek pendek kaya gue itu enak dipeluk, lucu dan ngegemesin.” Ucap Vanya memuji dirinya sendiri.             Aldi langsung bertingkah seperti orang yang sedang muntah. “Lucu? Iya lo lucu. Saking lucunya rasanya gue pengen muntah.” Ucap Aldi Sarkas. ***             Ardan terbangun dari tidurnya. Pandangannya langsung tertuju kearah gadis yang kini tengah terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Ardan meraih lengan Fany yang tertempel selang inpus di punggung tangannya kemudian menggenggam lengan itu. Ardan menatap Fany sendu ketika melihat gadis itu belum juga sadar.             Ardan menatap wajah Fany yang pucat itu. Dirinya kini merasa sangat jahat kepada Fany. Jujur saja, sampai saat ini perasaannya untuk Fany hanya sebatas perasaan sayang terhadap seorang Adik. Ardan sampai saat ini belum atau bahkan tidak pernah memiliki perasaan lebih terhadap Fany sebagai seorang perempuan di mata lelaki. Ardan menjalankan hubungan asmara ini hanya atas dasar kasihan dan rasa sayangnya terhadap sahabat yang sudah Ardan anggap sebagai adiknya itu. Bukankah itu begitu jahat? Fany yang selalu berharap kepada Ardan dan dengan bodohnya Ardan membuat harapan itu semakin membesar dengan pura-pura mencintai Fany. Ardan tersenyum kecut. Jika saja Fany tahu kepura-puraan Ardan selama ini, mungkin Fany akan membencinya. Bahkan sangat membencinya.             “Ngghh…” lenguhan Fany membuat Ardan langsung memasang senyumannya. Perlahan mata Fany terbuka. Fany tersenyum ketika melihat Ardan berada di sampingnya.             Ardan mengambil gelas berisi air putih yang berada di nakas samping ranjang rumah sakit ini. “Ini minum dulu.” Ucap Ardan lalu menuntun Fany untuk meminum air yang telah disodorkan oleh Ardan.             “Kamu tunggu di sini. Aku mau panggil dokter dulu.” Ucap Ardan setelah Fany selesai minum.             Fany langsung memegang tangan Ardan ketika laki-laki itu baru saja bingkas dari duduknya. “Nggak usah. Kamu di sini aja.” ucap Fany dengan suara yang lemah.             “Tapi…”             “Sttt… aku udah nggak apa-apa Ardan. Aku baik-baik aja.” Potong Fany. Ardan hanya menganggukkan kepalanya pasrah.             “Kata dokter, sekarang kondisi aku gimana?” tanya Fany.             “Kamu cuma perlu istirahat. Nggak boleh terlalu kecapekan. Jangan terlalu dipikirkan. Oke?” Fany tersenyum kemudian mengangguk. Jauh didalam lubuk hatinya, Fany tahu penyakitnya ini semakin menjadi. Dan Fany masih ingat betul percakapan Orang tua dan Dokter yang memeriksanya saat itu. Fany harus secepatnya menemukan pendonor itu. Jika tidak…             “Ar, penyakit aku ini udah parah banget ya? Aku pernah dengar, aku harus dapat pendonor secepatnya. Kalau aku nggak dapat.. apa aku masih bisa bertahan?” ceracau Fany dengan pandangannya yang terlihat sendu.             “Sst… aku kan udah bilang Fan, jangan terlalu dipikirin. Secepatnya kita akan dapat Fan. Kamu tenang aja. Kamu pasti bisa. Kamu kuat!” Ucap Ardan menyakinkan Fany walaupun kenyataannya dirinya pun sama-sama tidak yakin akan mendapatkan pendonor dalam waktu yang singkat. Terbukti dari tiga bulan yang lalu sampai saat ini baik Ardan maupun keluarga Fany belum menemukan pendonor sama sekali. Pasalnya, belum ada ginjal yang cocok dengan Fany. Mungkin jika hanya satu ginjal yang Fany butuhkan, Papanya sudah memberikannya kepada Fany. Tapi masalahnya yang Fany butuhkan adalah dua ginjal sehingga tidak memungkinkan untuk Papanya mendonor kedua ginjalnya untuk sang anak. Karena ini masalah hidup dan mati.             “Oh iya, Papa sama Mama mana?” tanya Fany ketika baru menyadari bahwa kedua orang tuanya tidak ada di sini.             “Mereka lagi diperjalanan mau kesini. Paling bentar lagi mereka nyampe.” Jawab Ardan.             Benar saja. Tak lama Ardan berbicara seperti itu, kedua orang tua Fany datang. Papanya masih menggunakan jas kerjanya sedangkan Mamanya sama seperti Papanya.             “Maaf sayang, kita datang telat.” Ucap Wenda sambil memeluk putri semata wayangnya itu.             “Iya Ma nggak papa. Fany ngerti kok.” seru Fany sambil membalas pelukan Mamanya.             “Oh iya Ardan, makasih udah mau jagain anak om.” Ardan menganggukkan kepalanya dan tersenyum sopan kearah Arya.             “Sama-sama om. Itu kan udah kewajiban saya sebagai pacar Fany.” Ucap Ardan. Arya maupun Wenda sama-sama tersenyum ketika mendengar jawaban Ardan. ***             Keesokan harinya…             Vanya kini tengah bersiap-siap untuk berangkat kesekolahnya. Gadis itu kini tengah mengikat rambutnya dengan gaya kuncir kuda. Setelah mengikat rambutnya Vanya sedikit memakaikan bedak bayi kewajahnya kemudian mengoleskan bibirnya dengan lipbalm yang tidak memiliki warna. Sehingga membuat penampilannya terlihat cantik natural.             Setelah selesai, Vanya pun keluar dari kamarnya dan berjalan menuju meja makan. Disana sudah ada Mamanya yang sudah duduk di kursi meja makan bersama Bi Derti di sampingnya. “Pagi Mama, Pagi Bibi..” ucap Vanya lalu mencium pipi Yuni.             “Pagi Kak…” balas kedua wanita berbeda usia itu.             “Nih.. kamu agak cepet ya makannya. Pagi ini Mama ada meeting soalnya.” Ucap Yuni setelah memberikan sepiring nasi goreng kepada Vanya lengkap dengan telur ceplok di atas nasi goreng itu.             Vanya mengangguk. Dalam hatinya, merasa kasihan terhadap Yuni yang tidak pernah ada waktu untuk beristirahat lebih. Vanya dapat melihat dengan jelas guratan kelelahan di wajah Yuni.             “Hari ini Mama pulang telat lagi. Jadi kalau kamu mau makan malam, makan aja duluan nggak usah nunggu Mama.” Ucap Yuni setelah meneguk habis segelas susunya.             “Iya Ma..” balas Vanya. Vanya pun kembali melanjutkan sarapannya. Setelah sepiring nasi goreng itu habis, Vanya langsung meminum setengah gelas s**u putih di sampingnya. “Uti udah selesai. Yuk berangkat! Takut Mama telat.” ucap Vanya.             Vanya dan Yuni pun bingkas dari duduknya. “Bi.. Yuni sama Vanya berangkat ya. Hati-hati dirumah. Kalau ada apa-apa telepon Yuni aja ya Bi. Assalamualaikum..” ucap Yuni lalu pergi diikuti oleh Vanya di belakangnya.             “Iya.. hati-hati ya Dek!” teriak Bi Derti kepada majikannya itu. Bi Derti memanggil Yuni dengan sebutan ‘Dek’ atas kemauan Yuni sendiri.             Hanya memerlukan waktu 15 menit, akhirnya mobil yang dikendarai oleh Yuni sampai di depan gerbang sekolah anaknya itu. Vanya membuka seat beltnya.             “Yaudah Ma, Uti duluan ya. Mama hati-hati dijalan. Kalau Mama capek, Mama istirahat ya. Walaupun cuma lima menit aja. Uti nggak mau Mama kecapekan dan Mama sakit. Uti sayang Mama. Assalamualaikum..” Vanya mencium punggung tangan Yuni. Kemudian kedua pipi Yuni. Setelah itu, barulah Vanya keluar dari mobil ini dan berjalan memasuki gerbang.             Sekolah terlihat masih sepi. Hanya ada beberapa tukang bersih yang setiap paginya selalu membersihkan koridor. Mulai dari lantai empat sampai lantai satu. Vanya pun berjalan menuju kelasnya yang berada di lantai tiga sambil bersenandung kecil.             ‘Bruk’             “Awwsshh….” Vanya meringis ketika pantatnya menyentuh lantai lumayan keras. Untung koridor masih sepi. Sehingga membuat Vanya tidak harus menahan rasa malunya.             “Lo nggak papa kan?” Vanya pun langsung mendongakkan kepalanya ketika merasa familiar dengan suara baritone itu.             “LO!” Teriak Vanya. Gadis itu menatap laki-laki di depannya dengan kesal. Hatinya semakin kesal ketika mengetahui orang yang menabraknya adalah laki-laki yang sama. Yaitu Ardan.             Ardan yang tadinya fokus dengan handphonenya langsung mengalihkan pandangannya kearah gadis yang berada di bawahnya itu. Ardan memasang senyum menyebalkannya. “Oh… ternyata cewek pendek toh yang gue tabrak. Gue kira siapa.” Ucap Ardan.             Vanya pun bingkas. Lalu sedikit mengusap roknya yang sedikit kotor oleh debu itu. Sesekali Vanya pun meringis ketika merasakan sakit di sekitar pantatnya. “Lo! Bukannya minta maaf, malah ngeledekin gue. Dasar cowok nggak punya sopan santun!” kesal Vanya.             “Yaudah, karena hari ini gue lagi pengen baik. Gue minta maaf. Mana yang sakit?” tanya Ardan dalam pikirannya Ardan ingin sekali mengerjai gadis di depannya ini.             “Menurut lo?” ucap Vanya ketus.             “p****t lo. p****t lo yang sakit. Mau gue usapin nggak?” ucap Ardan dengan seringainya.             Vanya bergidik ngeri ketika melihat seringai yang ditunjukkan oleh Ardan. “Nggak! Nggak usah!” bentak Vanya.             “Yakin nggak mau? Udahlah mana, sini gue usapin. Mumpung masih sepi.” Tangan Ardan pun terjulur. Dalam hati, Ardan berusaha menahan tawanya ketika melihat wajah Vanya yang memasang ekspresi aneh itu.             Dasar cowok m***m! Batin Vanya. Dengan cepat Vanya menyingkirkan tangan Ardan. “Lah kok malah nyingkirin tangan gue sih? Katanya sakit, yaudah mana sini gue usapin.” Ucap Ardan dengan seringainya.             “Ardan! Lo.. apa-apaan sih!” seru Vanya berusaha menutupi kegugupannya.             “Yakin nggak mau? Padahal kapan lagi coba lo bisa ngerasain tangan gue.” Goda Ardan. Ardan pun berjalan mendekat kearah Vanya dengan seringaiannya. Vanya yang merasa takut pun berjalan mundur. Ardan pun terus berjalan. Semakin dekat. Dan…             ‘Buk’             Tubuh Vanya membentur dinding kelas sepuluh. Dan kini tubuh Ardan mengunci tubuh mungil Vanya. Membuat Vanya semakin takut.             “Mau…Mau nga..ngapain lo?” tanya Vanya gugup. Pasalnya jaraknya dengan Ardan sangat dekat. Bahkan Vanya dapat merasakan hembusan nafas Ardan yang beraroma mint itu.             “Menurut lo?” ucap Ardan dengan seringai yang menakutkan di mata Vanya.             “Mi..minggir lo! Gu..gue mau ke kelas. Ka..kalau lo nggak minggir gue bakal…” Vanya menghentikan ucapannya. Dirinya seperti sedang berpikir ancaman yang tepat untuk menyingkirkan laki-laki m***m dihadapannya ini.             “Bakal apa hmm?” tanya Ardan lalu mempersempit jarak wajahnya dengan wajah Vanya.             “Gue bakal…” sedetik kemudian Vanya menyeringai. Dengan sekuat tenaga, Vanya langsung menedang pusaka Ardan. Membuat Ardan langsung menjauh dan meringis sambil memegang pusakanya.             Vanya yang sudah terbebas pun langsung berlari menuju kelasnya. “Hahahahha… rasain tuh! Dasar cowok m***m!!” teriak Vanya.             Ardan yang masih meringis menahan rasa sakitnya pun membalas teriakan Vanya. “Awas aja lo cebol! Lihat pembalasan gue!” teriak Ardan.             Vanya pun membalikkan badannya kearah Ardan. “Coba aja balas gue. Gue nggak takut. Wlee..” Teriak Vanya sambil menjulurkan lidahnya.             Ardan hanya bisa meringis kesakitan. Masa depan gue..astaga!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD