Part 9 Kiriman Paket

1039 Words
Keesokan pagi setibanya ia di kantor, Darren langsung memerintahkan Leo membuat rincian barang keperluan wanita. Karena selama ini Darren tidak pernah tahu apa yang perempuan butuhkan hingga para kaum hawa itu rela menghabiskan waktu untuk berbebelanja selama berjam-jam. (Ralat: kaum hawa yang Darren kenal ^.^) “Semuanya pak?” Leo menatap heran dengan coretan kertas di tangannya. Di kertas itu tertulis parfum? pakaian desainer terkenal, tas bermerk, mobil mewah? perlengkapan make up? Skin care? berlian? Darren sanggup membeli itu semua, yang penting ia tidak harus panik karena harus kehilangan gadis itu lagi. “Tambahkan lainnya! Pokoknya aku tidak mau kekurangan satu apapun. Kau mengerti?” Leo mengangguk cepat sebelum ia keluar dari ruangan dan berkeliling kantor, menginterogasi semua karyawan wanita di sana, karena ia bahkan tidak pernah tahu apa yang wanita butuhkan dari kekasihnya. Tak butuh waktu lama, Leo kembali datang sambil membawa secarik kertas bertuliskan daftar belajaan yang Darren minta. Ia lalu menyerahkannya pada Darren. “Pembalut wanita? Apa ini?” Darren bahkan tidak tahu apa fungsi benda tersebut. 32 tahun perjalanan hidupnya, ia bahkan tak tahu kenapa wanita membutuhkannya. Leo terlihat canggung untuk menjelaskannya. Bagaimana bisa, Darren yang lebih mengenal wanita dibanding dirinya tak tahu apa fungsi dari pembalut. “Apa bapak benar-benar tidak tahu?” Tanya Leo, tak yakin. “Ah, sudahlah! aku akan mencarinya sendiri di Google nanti!” Sahut Darren tak mau ambil pusing. “Hanya ini?” Ia kembali bertanya. Daftar belanja tersebut bahkan tidak perlu membuatnya harus menjual asetnya, pekik Darren dalam hati. Kenapa Malea suka sekali berbelanja kebutuhan hingga berjam-jam? Ia tak habis pikir. “Iya pak. Saya sudah mencatatnya sedetail mungkin. Saya pastikan tidak ada satupun yang terlewat.” "Baiklah kalau begitu, kau pesan semua barang itu sekarang juga dan kirim segera ke apartemenku. Mengerti?” Tentu saja Leo mengerti, tidak sulit memesan semua barang itu ketika bosnya juga pemilik supermarket terbesar di Jakarta. “Mengerti, pak!” Leo langsung melakukan perintah bosnya segera. *** Siangnya, Malea kewalahan menerima kiriman paket yang tak terhitung lagi jumlahnya. Ia bahkan tak tahu, dimana lagi ia bisa menaruh semua kotak yang terus berdatangan. Beberapa kurir datang membawa dus-dus ke dalam apartemen. Malea hanya memperhatikan mereka berlalu-lalang di depannya. Beberapa pekerja sibuk membawa dus. Beberapa lainnya fokus menata dus yang dibawa rekannya. Seorang pria yang Malea pikir sebagai atasan kurir lainnya, sibuk mengecek kardus yang mereka kirimkan. “Kalau boleh tahu, barang apa ini semuanya, pak?” Malea penasaran dengan barang yang mereka kirimkan. “Tuan Darren memesan semua ini untuk kebutuhan anda selama satu bulan, nona.” Untuk satu bulan?? Malea memekik tak percaya. Semua barang ini bisa memenuhi kebutuhannya selama lebih dari enam bulan. Malea bahkan tidak memerlukan semua barang ini. Ya, mungkin ada beberapa yang benar-benar ia butuhkan, tapi tidak sebanyak ini! Apalagi ketika ia melihat satu dus kotak pembalut wanita yang didalamnya berisi ratusan pembalut. Dalam sebulan, ia hanya membutuhkan dua pak pembalut saja, itupun terkadang masih sisa dan ia bisa pergunakan lagi di bulan berikutnya. Belum lagi satu kotak make-up berbagai merk yang sama sekali Malea tidak butuhkan. Karena ia jarang sekali berdandan. Ya Tuhan, Malea hanya bisa memekik saat dus lainnya kembali berdatangan memenuhi ruang tamu. “Sudah selesai?” Malea bertanya pada seorang pengantar yang sibuk mengecek barang. “Sepertinya kami sudah menurunkan semuanya, Nona. Apa ada yang lagi yang anda butuhkan?” “Tidak!” “Kalau begitu saya pamit undur diri. Kalau ada benda yang dirasa kurang, anda bisa menghubungi kami segera.” Pria itu menyerahkan kuitansi pemesaran barang yang sudah ia cek. Kemudian kurir tersebut berlalu pergi bersama rekan-rekannya yang lain. Malea mendongakkan kepala, berdiri menghadap tumpukan kardus yang menjulang tinggi di atasnya. Darren tersenyum puas di belakangnya, gadis itu tak menyadari kehadirannya sampai ia mendengar pria itu berbicara. "Aku sudah menyuruh Leo mengecek semua keperluanmu dan dia memesan semua yang kau butuhkan untuk sebulan ini. Apa masih ada yang kurang?" Malea menggelengkan kepala, kehabisan kata-kata. “Darren ini terlalu banyak. Aku tidak mungkin memakainya semua.” Darren hanya tersenyum. “Aku hanya memastikan kebutuhanmu, Malea. Kau hilang kemarin!” Darren kembali mengungkit hal itu lagi. Malea menarik napas panjang, mencoba mengontrol emosinya. Ada apa dengan pria ini? Ia bahkan tidak hilang atau kabur walau pikiran tersebut pernah terlintas di benaknya. Tapi Malea tak melakukan itu. “Aku hanya belanja, Darren! Itupun masih di lantai dasar apartemen ini. Aku bahkan tidak berusaha untuk kabur!” Malea membela diri. Darren tersenyum miring, “tentu saja aku tidak akan membiarkan uang satu miliarku hilang begitu saja!” Mendengar itu, sontak Malea merasa kecewa. Jadi begitu...? Pria ini hanya khawatir uang miliarnya hilang. “Lalu apa maumu Darren?” “Aku ingin kau patuh padaku. Hanya itu! Bisakah kau melakukannya?” Sesederhana itu? Malea nyaris tak percaya. Kurang patuh apa lagi dia sekarang? Bahkan Malea tak berani mendebat atau melawan kekuasaan pria itu. Malea menganggukkan kepala dibalas oleh senyum lebar Darren yang memesona. “Bagus," Darren meraih jasnya dan bersiap kembali ke kantornya mengurusi beberapa pekerjaan yang sempat tertunda, "kalau begitu, aku akan kembali ke kantor. Jangan lupa hubungi aku jika kau butuh sesuatu." Darren menyerahkan sebuah ponsel pintar seri terbaru, yang mungkin belum dirilis di Indonesia. "Aku sudah menyimpan nomorku di dalamnya." Sebenarnya Malea ingin menolak pemberian pria itu, tapi ia tak ingin membuat Darren tersinggung dengan penolakannya. Ia pun terpaksa menerimanya, lagipula Malea tidak akan menelepon Darren, karena ia tidak membutuhkan apa-apa lagi. Selama ini Darren sudah memenuhi semua keperluannya. Baginya itu sudah lebih dari cukup. “Ambillah. Aku membelinya karena aku ingin tahu bagaimana keadaan peliharaanku?” Malea mendesis pelan. Apalah arti dirinya yang hanya seorang peliharaan. Seperti kucing yang harus menuruti apa kata majikannya. Sama seperti dirinya kini. Darren berjalan menuju pintu, Malea mengikutinya dari belakang, sebelum pergi Darren membalikkan badan, "ingat Malea, kau milikku. Jangan pernah pergi kemana pun tanpa sepengetahuanku. Kau mengerti?" Malea menganggukkan kepalanya, memastikan bahwa ia akan mematuhi apa yang diperintahkan Darren padanya. Darren tersenyum kecil, "Nah, begitu seharusnya. Jadilah kucing yang manis..." Darren menyematkan rambut Malea yang terjuntai ke belakang telinga gadis itu. Tindakan spontan itu, membuat jantung Malea berdegup kencang, terlebih Darren tak lupa mendaratkan kecupan ringan di keningnya. Malea mengerjapkan mata menerima ciuman yang membuat tubuhnya bergetar. Sial, sepertinya pria itu kembali merobohkan pertahanan hatinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD