Kebetulan tepat di hari sabtu ini, adalah kegiatan MOS yang terakhir. Setelah pulang sekolah lebih awal, para siswa kembali lagi ke sekolah pukul tiga sore untuk mengikuti Makrab. Seluruh siswa baru wajib hadir di acara ini. Senior serta beberapa alumni sekolah akan menjadi panitia acara begitu katanya. Tenda-tenda sudah didirikan di halaman depan sekolah. Beberapa siswa baru, senior dan alumnus sekolah pun sudah mulai meramaikan tempat ini.
Apel sore dilakukan sebelum memulai acara. Semua siswa akan tidur di tenda yang sudah disediakan. Satu tenda ada empat orang. Setelah penyuluhan tentang kegiatan yang akan dilakukan selama Makrab, semua siswa kembali ke tenda masing-masing untuk persiapan istirahat, salat dan makan. Tendaku ada paling belakang, bersama Kiki, Uwi, dan Lindi.
"Eh, nanti hati-hati kalau pas jurit malam," bisik Lindi saat kami merapikan barang yang telah dibawa dari rumah.
"Kenapa?" tanya Kiki mengeluarkan mukena.
"Biasanya ada kejadian-kejadian aneh loh, " tambah Uwi.
"Ini lagi, malah nggosipin setan. Nanti keluar beneran gimana, hayo?" Aku menyahut sedikit menakut-nakuti. Padahal aku sudah merasakan akan ada sesuatu yang terjadi nanti malam. Mereka bertiga bergidik ngeri, lalu keluar dari tenda mengikutiku yang sudah memeluk mukena di dekapan. Lebih baik sholat daripada menggosip tentang hantu. Bakal muncul nanti.
Tiba saat jurit malam. Agenda ini tidak pernah absen dari tiap kegiatan sekolah seperti PERSAMI dan Makrab. Ada game yang wajib diikuti siswa baru. Setiap kelompok diisi dua orang. Tiap lima menit sekali, satu per satu kelompok masuk ke jalur yang sudah ditentukan sekolah untuk mengambil clue di tiap pos. Ada sekitar lima pos hingga sampai finish. Tiap pos disediakan lilin, untuk menerangi perjalanan mereka. Lilin itu sebesar lilin ulang tahun yang berukuran kecil. Aku dan Dion satu kelompok. Buku sudah di tangan untuk mencatat clue yang berhasil kami temukan.
"Tha ...." sapa Dion. Menuju Pos 1 adalah hal termudah karena belum begitu jauh dari garis start. Keadaan jalan juga masih cukup terang.
"Hm ...."
"Menurut elu, setan di sekolah ini banyak nggak, Tha?"
Aku melirik tajam ke arah Dion sambil mendengus kesal. "Ngapain sih bahas kaya gitu sekarang, nggak pas banget, b**o!" omelku kesal.
Dion garuk-garuk kepala yang sudah pasti tidak gatal, sambil cengengesan dengan wajah polos. Sampai Pos 3, lilin habis. Aku mencari clue di meja. Sementara Dion mencari lilin dan korek api yang memang disediakan di tiap pos.
"Koreknya mana ya, Tha?" tanya Dion menggeledah semua tempat. Aku hanya melirik, namun masih fokus mencatat. Hingga saat Dion berseru, "Nah, ini dia. Makasih ya."
Tentu aku terkejut hingga menelan saliva berulang kali saat melihat seseorang yang berbaik hati memberikan korek api itu ke Dion. Aku menendang kaki Dion, melotot ke arahnya. Dion yang baru menyadari keganjilan ini, lantas menoleh ke arah sosok di belakangnya. Kami berteriak. Aku menarik tangan Dion sambil berlari menjauh.
"Tadi siapa, Tha?"
"b**o! Pake nanya lagi siapa! Gue tabok deh ni anak!" omelku dengan terus berlari, menarik Dion serta sampai di Pos 4.
"Buruan cari clue-nya terus cabut!" suruh Dion berkacak pinggang sambil mengawasi sekitar. Aku dengan gugup mencari clue yang tersembunyi. Saat aku merogoh laci meja, aku terperenyak. Ada benda dingin kenyal berbentuk seperti telapak tangan. Wajahku pasti pucat. Karena apa yang kulihat dan kutemukan sekarang benar-benar di liar nalar manusia. Aku mundur beberapa langkah lalu menarik lengan baju Dion yang ikut menegang.
"Apaan, Tha?" tanya Dion sambil berbisik.
"Mending cabut aja deh!" ajakku meninggalkan Pos 4 tanpa hasil apa pun. Kamu terus berlari sampai Pos 5. Bukannya berhenti, kami malah makin mempercepat lari diiringi teriakan heboh kamu berdua. "Setaaan!"
Di Pos 5 tampak jelas seorang wanita berdiri di meja dekat lilin. Rambutnya tergerai menutupi wajah. Bajunya putih kusam, seperti tertimbun tanah dalam kurun lama. Satu yang pasti, dia ... Tidak punya kaki. Hanya berdiri melayang tak bergerak sedikit pun.
Sampai finish Dion ditarik oleh senior, sedangkan aku jatuh dalam dekapan Radit secara tidak sengaja. Entah dari mana dia tiba-tiba ada di depanku.
"Ada apa?" tanya Radit penasaran. Kak Arden mendekat, menatapku serius. Tak lama, aku melihat ke arah koridor yang gelap di sana. Seolah tahu sumber masalahnya. Kak Arden membelai kepalaku. Radit melepaskan pelukan itu dan Kak Arden yang kini mengambil alih dengan lirikan tajam. Dan aku melihatnya. Lucu sekali ekspresi kakakku ini.
"Iya, Den. Kan kagak sengaja, muka lu gitu amat," tukas Radit salah tingkah karena mendapat tatapan sinis kakakku. Acara uji nyali malam berakhir pukul satu dini hari. Karena kejadian tadi, acara dihentikan dan semua beristirahat di tenda masing-masing.
Pukul tiga dini hari, Aku tampak gelisah. Tidur miring kanan, lalu pindah kiri sudah berkali-kali ku lakukan namun tidak juga menemukan posisi yang nyaman.
"Argh!" umpatku lalu beranjak dan keluar dari tenda. Keadaan di luar sungguh sunyi, tetapi perhatian ku teralih pada sebuah aktivitas aneh di dekat tiang bendera.
"Siapa mereka?" Pertanyaan yang sebetulnya kubtujukan pada diri sendiri itu membuat langkahku mendekat ke segerombolan orang-orang aneh di sana. Sekelompok pria berpenampilan aneh yang bukan warga asli Indonesia. Bule. Begitulah orang-orang biasa menyebutnya. Aku jongkok dan bersembunyi di balik tenda yang paling dekat tiang bendera tadi.
"Setan apa orang, ya?" kembali aku menggumam yang sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. Tiba-tiba mulutku dibekap. Desisan pelan terdengar di belakang. Saat aku melirik ke belakang, ternyata Radit yang ada di belakangku.
"Mereka makhluk halus, tapi biar aja, memang udah biasa kayak gini," tutur Radit dengan terus mengawasi keadaan sekitar.
"Kamu? Radit apa setan?" tanyaku menyelidik.
Mendengar pertanyaanku barusan, Radit mengernyitkan kening.
"Kenapa kamu juga anggap aku setan? Aku manusia, hellooo..." gerutunya kesal sambil bergaya sedikit alay. Aku tertawa tertahan menutup mulut, dan yakin kalau dia memang Radit asli.
"Habisnya tiba-tiba muncul. Kaya setan aja!" hardikku menatap kembali ke tempat semula.
"Kamu pikir, Kamu nggak mirip setan? Malam-malam berkeliaran," sahut Radit jengkel.
Tak menanggapi perkataan Radit tadi, Aku malah sedikit memekik karena gerombolan tentara bule tadi sudah raib.
" Yuk, mending temanin cari makan aja," ajak Radit langsung menarik tanganku begitu saja. Dan aku hanya pasrah walau dengan mulut yang terus mengoceh sebal atas sikapnya yang terkadang seenaknya.
Kami sampai di gerbang depan sekolah. Saat Radit akan menaiki pagar, aku menahan kaki Radit sambil berbisik." Heh! Ngapain sih?" karena peraturan dari senior tadi, melarang kami keluar sekolah tanpa ijin.
"Beli nasi goreng di depan tuh, tunggu sini bentar," suruh Radit lalu meneruskan melompati pagar. Aku menggeleng pelan, malah mengikuti jejak Radit. Tapi dia justru melihatku aneh.
"Kenapa sih?"
"Lu cewek apa cowok sih, Tha?" tanya Radit sambil melihat tingginya gerbang dengan tatapan takjub. Kini kami sudah berada di luar pagar sekolah.
"Bawel! Yuk makan. Aku juga laper," ajakku yang bergantian menarik tangan Radit. Kami makan nasi goreng yang ada di depan sekolah. Letak sekolah memang dekat pusat kota. Jadi walau sudah malam begini, tidak akan sulit mencari penjual makanan. Dan di jalan raya ini masih banyak aktivitas manusia, walau tidak sebanyak saat siang. Selesai makan kembali kami melompati pagar bergantian. Saat sudah sampai lingkungan sekolah, terdengar suara berdebum. Seperti kursi yang terlempar ke tembok. Radit dan Aku menatap sekolah sebelah. Sekolah kami memang bersebelahan dengan sebuah SMP Negeri. Dan aku yakin kalau suara tadi berasal dari sekolah SMP itu. Dan sepertinya Radit juga berpikir hal yang sama. Karena dia juga menatap ke arah yang ku tatap.
"Apaan tuh?" tanya Radit sambil menatap ke sekolah sebelah. Beberapa ruang kelas terlihat jelas dari tempat kami berdiri. Ada sebuah kelas yang lampunya masih menyala, dan ada beberapa bayangan yang tertangkap di ruang kelas paling dekat jalan.
"Dipikirin amat sih, Dit. Kali aja ada kegiatan sekolah juga. Udah yuk, balik ke tenda. Udah mau subuh nih!" ajakku berjalan lebih dahulu. Aku tidak ingin melihat hal aneh lagi sekarang. Aku lelah. Setelah kami sedikit menjauh dari gerbang, lampu di kelas sekolah sebelah tiba-tiba mati. Walau kami tidak melihat secara langsung. Tapi dari ujung ekor mata, perubahan itu terlihat jelas.
Suara berdebum keras makin terdengar. Seperti ada keributan di sana. Hanya saja kami mencoba untuk tidak memedulikannya, dan terus berjalan ke tenda.
"Ya udah, kamu istirahat, ya. Jangan kelayapan lagi. Ingat!" saran Radit yang berupa ancaman.
"Siap, Bos!"
_______
Keesokan harinya acara Makrab hanya diisi kegiatan olahraga di pagi harinya, dan penutupan setelahnya. Lalu kami kembali ke rumah masing-masing. Kegiatan tadi hanya berlangsung selama sehari semalam. Namun cukup berkesan bagiku.