"Karena bagiku, semuanya tampak palsu. Kecuali kamu"
******
"Ini dimana Dhim?", tanya Aluna saat Dhimas membawanya ke suatu tebing dengan sebuah pohon rindang dan batang pohon yang sepertinya memang ditebang untuk dijadikan tempat duduk.
"Ini namanya Tebing Cinta, Lun. Sudah lama aku ingin kesini, tapi aku tidak punya teman yang cocok untukku ajak. Dan kupikir kamulah yang cocok untuk kuajak kesini",jawab Dhimas yang masih fokus memarkirkan mobilnya dengan tenang.
Aku? Kenapa aku? Bukankah dia punya kekasih?
Tanpa sadar Aluna terhenyak menatap Dhimas dari samping. Dhimas yang mengetahui Aluna tengah menatapnya dengan bingung melemparkan senyumannya.
"Ayo turun, akan lebih enak ngobrol di bawah pohon rindang itu",ajaknya lalu keluar dari mobil dan diikuti oleh Aluna.
Keduanya berjalan selaras menuju batang pohon yang melintang dibawah pohon tersebut. Aluna memperhatikan Dhimas yang memejamkan mata seraya menghirup udara segar disana. Tampak sangat menikmati. Yaa, Aluna akui tempat itu memang menyejukan dan bisa membuat siapapun yang datang kesana melepas penat.
"Segar sekali udaranya",gumam Dhimas.
Aluna salah tingkah ketika Dhimas menoleh ke arahnya dengan tiba-tiba dengan senyumnya yang sempurna.
"Kenapa?",tanya Aluna.
"Tidak apa-apa. Kamu suka tempat ini?",tanya Dhimas.
Aluna mengangguk kaku.
"Suka",ucapnya.
Dhimas kembali tersenyum. "Syukurlah kalau kamu suka",ujarnya.
"Kenapa kamu mengajak aku ke tempat ini?",tanya Aluna penasaran.
"Tadi aku sudah menyebut nama tebing ini bukan? Namanya adalah Tebing Cinta. Sesuai namanya, biasanya orang-orang yang datang kesini adalah sepasang kekasih yang ingin kisah cintanya berakhir bahagia",jalasnya.
Tapi itu bukan jawaban dari pertanyaanku, pikir Aluna.
"Lalu kenapa kamu tidak mengajak kekasihmu saja? Bukankah kamu punya kekasih yang cantik?", tanya Aluna.
"Ya.. dia memang kekasihku. Dia memang cantik, tapi entahlah, aku merasa kehidupan kami tidak bisa berjalan seiring. Dia tidak suka tempat-tempat seperti ini, ia lebih suka kuajak ke tempat yang ramai. Dan aku tidak terlalu menyukai tempat-tempat seperti itu", jawabnya.
"Lalu kenapa aku?", tanya Aluna.
Dhimas menatapnya lalu mengangkat bahunya.
"Entahlah, aku juga tidak tau kenapa. Tapi kamu berbeda Aluna",jawabnya.
Aluna menatap Dhimas mendengar jawaban pria itu. Lelaki itu terlihat merenung dengan rambut yang tertiup angin membuatnya berantakan tetapi justru semakin terlihat tampan. Sontak wajah Aluna merona menyadari dihadapannya tengah duduk seseorang yang sudah cukup lama ia perhatikan. Rasanya seperti mimpi.
"Apanya yang terlihat berbeda?", tanya Aluna mengejar jawaban detail dari Dhimas.
Dhimas kembali memperhatikan penampilan Aluna dengan lebih teliti. Lelaki itu terkekeh.
"Kamu itu polos dan lugu. Hanya kamu yang benar-benar tampak tulus dari semua orang-orang di kampus. Dan ternyata pemikiranku benar. Kamu memang lugu, polos dan tulus. Aku lelah dengan orang-orang yang hobinya membual. Aku tidak mau mengajak orang seperti itu ke tempat seindah ini. Karena bagiku semuanya palsu, kecuali kamu",jelasnya.
Entah kenapa Aluna merasa diperlakukan dengan sangat baik dan istimewa oleh Dhimas. Hatinya bergetar ketika lelaki dihadapannya mengucapkan kalimat yang membuatnya tidak merasa buruk.
"Terima kasih sudah mengajakku kesini, Dhim",ungkapnya.
"My pleasure, Luna. Aku senang bisa berteman dengan kamu. Aku harap kita bisa menjadi sahabat baik",balas Dhimas.
Tentu saja, 'sahabat'. Apa yang kau harapkan Aluna? Pikir Aluna.
"I hope so",ucap Aluna yang dibalas dengan senyuman Dhimas.
Keduanya larut dalam obrolan yang panjang, mereka berbagi cerita dan canda tawa dengan disaksikan oleh alam yang indah. Rasanya semua tampak indah bagi Aluna. Ia tak menyangka bisa sedekat ini dengan seseorang walaupun hanya sebatas teman atau sahabat.
"Luna, kamu gak kedinginan? Kamu cuma pakai kaos itu saja dan sejak tadi anginnya semakin kencang",tanya Dhimas.
"Tidak apa-apa, aku lupa membawa jaket tadi",jawab Aluna.
"Sebentar tunggu disini, aku punya satu jaket lagi di bagasi",ujar Dhimas yang kemudian beranjak menuju mobilnya dan kembali dengan sebuah jaket denim yang Aluna ketahui jaket itu sering dipakai oleh Dhimas di kampusnya.
"Pakai ini, aku tidak mau kamu sakit karena keanginan",suruhnya.
"Terima kasih Dhim",ucap Aluna menerima jaket itu dan memakainya.
"Good girl", balas Dhimas.
Mereka kembali diam menatap pemandangan dihadapannya. Hari mulai senja, warna langit sudah berubah menjadi jingga. Warna yang bisa membuat semua orang terpesona akan keindahannya.
"Indah ya?",tanya Dhimas tanpa menoleh.
"Hmm.. indah, aku selalu suka senja. Biasanya aku selalu menatap senja dari kamarku. Tapi ternyata disini jauh lebih indah",jawab Aluna.
"Ternyata kamu anak indie ya, senja kopi senja kopi hahaha", ujar Dhimas dengan tawa.
Mau tak mau Aluna ikut tertawa mendengar suara tawa Dhimas yang menular.
"Aku gak ngopi by the way",ujar Aluna ketika tawa mereka reda.
"Oh ya? Kenapa? Kopi itu enak loh.. jadi kamu sukanya apa?", saut Dhimas.
"Teh dan s**u", jawab Aluna.
Dhimas kembali tergelak "dasar bocah",ledek Dhimas.
"Biarin weee",balas Aluna seraya menjulurkan lidah.
Dhimas mengusap kepala Aluna.
"Ternyata kamu perempuan yang menarik, Luna. Aku tidak menyesal mengajakmu kenalan", ucapnya membuat Aluna merona.
"Benarkah?",tanyanya.
Dhimas mengangguk.
"Ya, aku rasa kamu harus belajar percaya diri di kampus. Berani berbicara dan tidak terlalu pendiam seperti biasanya",saran Dhimas.
Aluna sedih mengingat kehidupan di kampusnya. Ia menghela nafas frustasi.
"Sepertinya aku tidak bisa, kamu lihat sendirikan mereka mem-bully ku seperti apa? Aku tidak ingin semakin di bully oleh mereka",jelas Aluna.
"Itukan dulu. Kamu belum punya teman. Tapi sekarang kamu punya aku",ungkap Dhimas.
Kamu punya aku? Ulang Aluna dalam hatinya.
"Dan itu akan menjadikan mereka semakin mem-bully ku, Dhim. Mereka akan berpikir aku gadis murahan karena dekat denganmu"
"Kamu bukan gadis murahan dan tidak akan pernah",balas Dhimas dengan tegas.
"Nyatanya mereka akan mengatakan hal itu jika aku dekat denganmu"
"Lalu kita harus berteman secara backstreet?",tanya Dhimas tidak terima.
"Mau bagaimana lagi",jawab Aluna lemah.
Dhimas menatapnya dengan tatapan yang aneh.
Tatapan apa itu? Pikir Aluna.
"Nanti kita bahas soal itu lagi, sekarang kita masuk mobil. Kita turun lalu cari makan", ucap Dhimas menarik tangan Aluna dengan erat.
Aluna yang tidak menyangka akan digenggam seerat itu oleh Dhimas merasakan debaran di dadanya. Ini benar-benar yang pertama untuknya.
Akankah ia bisa menjaga perasaannya untuk tetap melihat Dhimas sebagai sahabat? Bisakah ia? Entahlah, yang jelas saat ini kupu-kupu tengah bersarang diperutnya.
******
"Sudah sampai, masuk lalu istirahatlah", ucap Dhimas saat memberhentikan mobilnya di depan rumah Aluna.
"Kamu tidak masuk dulu?", tanya Aluna.
"Keluargamu di dalam?", tanya Dhimas.
"Mereka menginap, jadi aku sendiri di rumah",jawab Alleta dengan polos.
"Kalau aku masuk, kamu tidak takut aku berbuat macam-macam sama kamu?",tanya Dhimas yang tiba-tiba menunjukan senyum devil-nya.
"Hah?", Aluna terperangah mendengar pertanyaan Dhimas, sontak lelaki dihadapannya terbahak melihat ekspresi Aluna yang lucu.
"Aku bercanda, kapan-kapan saja aku main ke rumahmu. Istirahatlah, kamu tampak lelah. Selamat malam", ucap Dhimas.
Tak diduga oleh Aluna, Dhimas mengecup pipinya.
"Terima kasih untuk hari ini, teman baruku".
Aluna yang membeku hanya bisa mengangguk dan segera turun dari mobil Dhimas sebelum ia pingsan karena jantungan. Dhimas membunyikan klakson lalu melajukan mobilnya dengan Aluna yang masih gemetaran pasca kecupan ringan di pipi kanannya. Oh, Aluna yang malang, sepertinya akan sulit mengatur perasaannya kepada Dhimas.
*****