Seseorang mengetuk pelan dari luar. Ketukannya terdengar hati-hati sekali. Aku terbangun dan bangkit sambil menahan napas. Waktu menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Hening sebentar, lalu terdengar suara ketukan lagi. Aku sedikit cemas lantaran peristiwa beberapa malam yang lalu.
Malam itu seseorang juga mengetuk pintu rumahku, kupikir dia kembali. Ternyata itu Nando, anak Bu Narti. Dia mabuk dan hampir melakukan hal yang tidak pantas padaku. Untung saja ada Nina yang kebetulan datang mengantarkan makanan. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi.
Aku menjinjit langkah pelan. Kemudian menengok sedikit dari balik kaca. Hatiku buncah, kali ini benar-benar dia. Pintu mulai mengayun pelan. Aku baru saja akan bersuara, tapi dia langsung menarikku ke dalam pelukannya.
“Maafkan aku....” bisiknya.
Aku melepas pelukannya. Menatap matanya, lalu menggeleng pelan. “Yang penting sekarang kamu udah kembali,” jawabku. “Selama kamu tetap kembali, aku akan selalu baik-baik aja,” kataku serak.
Dia kembali memelukku lebih erat. Kubenamkan wajahku di dadanya. Menumpahkan semua rindu yang tertahan dalam bisu. Dia merebahkan wajahnya di pundakku. Terasa basah, dia menangis.
_
Aku menatap wajahnya lekat-lekat. Rambutnya kini sudah panjang, kumis dan janggutnya tumbuh lebat tak beraturan. Wajahnya kuyu dengan dagu yang semakin meruncing. Lelah dan penat tergambar jelas dari raut wajahnya.
“Maafin aku Alia! Maafin aku karena nggak bisa ngasih kabar.” sudah tak terhitung kalimat itu diulangnya.
Aku hanya diam sambil terus menggunting rambutnya. Kubersihkan sisa-sisa rambut yang melekat, lalu beranjak duduk di depannya. “Aku mengerti dan yang paling penting adalah kamu sudah kembali,” jawabku.
“Setiap hari aku cemas dan takut,” ucapnya.
Aku menatapnya heran. “Takut?”
Dia menatapku sekilas, kemudian langsung menundukkan wajah. “ Aku takut kalau kamu nggak tahan lagi dan memilih pergi.”
Aku tersenyum tipis. “Aku juga takut dan sempat berpikir kalau kamu nggak akan kembali lagi,” jawabku.
“Ini....” dia mengeluarkan sejumlah uang kertas remuk yang tidak tersusun. “Aku nggak tau apakah ini cukup untuk membayar kontrakan dan biaya hidup kita,” katanya seraya menyerahkan uang itu padaku.
Aku tersenyum, lalu mengelus pipinya pelan. “Ini udah cukup,” jawabku sambil merapikan pisau cukurnya. “Jadi di mana kamu selama ini?”
“Aku bekerja di kapal angkutan barang. Kapalnya mengangkut muatan dari Tanjung Priuk menuju Teluk Bayur, Padang.”
“Padang?”
“Iya, dan aku sempat ketemu sama Ali....” dia terlihat ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Kemudian, dia mengeluarkan sebuah amplop lusuh dari kantong celananya, “Ini surat darinya untuk kamu.”
Aku mengambil surat itu dan enggan berkomentar. Kuremas dan kulempar surat itu ke bawah kolong tempat tidur. Untuk sesaat perasaanku kembali berkecamuk. Segala peristiwa di masa lalu kembali terlintas mengganggu pikiranku.
“Kenapa nggak kamu baca?” tanyanya.
“Aku nggak mau baca surat itu sekarang,” jawabku.
Dia mengangguk tanda mengerti. “Lalu sekarang kamu mau apa?”
“Kamu!”
Namanya Hasbi, tanpa nama panjang. Aku biasa memanggilnya Abi. Perawakannya tinggi, berhidung mancung, dan kulit berwarna sawo matang. Parasnya biasa saja, tapi punya senyum manis dengan lesung pipi di sebelah kiri. Di buku nikah tercatat bahwa dia setahun lebih tua dariku. Tapi sebenarnya usia kami hanya berbeda satu bulan. Dia lahir di bulan desember, sementara aku bulan januari di tahun berikutnya.
_
Abi sudah tertidur pulas, dia terlihat begitu kelelahan. Sementara, aku masih belum bisa memejamkan mata. Kusentuh alisnya dengan telunjukku pelan. Kening Abi mengerut, aku tersenyum melihat raut wajahnya itu. Aku masih belum puas melepas rindu. Aku masih ingin berlama-lama memandang wajahnya.
Tiba-tiba Abi bangun dan menatapku. Dia tersenyum, lalu mengecup keningku dengan lembut. “Tidurlah....” katanya.
Aku menempelkan wajahku di dadanya, terasa hangat dan nyaman. Kupejamkan mata dengan senyum yang masih mengembang. Segala rasa gundah dan gelisah hilang sudah. Aku merasa damai malam ini.
“Alia....” Abi bersuara dengan mata terpejam.
“Apa?”
“Aku pasti akan buat kamu bahagia.”
Hening. Aku tidak menjawab perkataannya itu. Pandanganku buram karena genangan air mata. Aku tidak sedih, ini adalah tangis bahagia. Aku memeluknya erat. lalu berbisik pelan.
“Aku sudah bahagia.”
Kalau melihat Abi sepintas, mungkin memang terlihat sedikit menyeramkan. Dia terlihat sangar dengan tato berbagai motif yang tersebar di sekujur tubuhnya. Dulu aku juga beranggapan sama. Bahkan aku sempat merasa paranoid padanya. Tapi setelah mengenalnya lebih dekat, rasa takut itu berganti kagum. Abi memiliki watak dan perilaku yang berbanding terbalik dengan penampilan luarnya. Dia memiliki hati yang lembut dan juga sering bertingkah jenaka.
_
Pagi ini terasa istimewa. Sarapan berdua bersama Abi, walau hanya dengan nasi putih dan telur ceplok yang juga dibagi dua. Meski dengan menu seadanya, Abi tetap memuji masakanku dan menyantapnya dengan lahap. Aku hanya bisa tersipu, Abi memang piawai menyenangkan hatiku.
Walau hidup dalam serba keterbatasan, aku tetap bahagia hidup bersama Abi. Dulu aku pernah mendengar cerita bahwa enaknya berumah tangga itu hanya sebentar saja. Apalagi kalau hidup susah, tidak akan ada lagi manis-manisnya. Tetapi aku tidak merasa demikian. Pekan depan genap satu tahun usia pernikahan kami. Nyatanya hingga detik ini rasa cintaku masih sama, bahkan lebih besar dari sebelumnya.
Dulu aku juga sempat dipengaruhi oleh Mbok Nunun, salah satu tetanggaku. Katanya lebih baik aku pergi saja dan mencari lelaki yang lebih baik, mumpung aku masih muda dan juga belum mempunyai anak. Menurutnya lebih baik aku meninggalkan Abi daripada hidup susah, ditinggal terus dan sering makan hati.
Saat itu aku hanya tersenyum mendengar semua ocehannya. Kalaulah tidak bisa menahan diri, mungkin aku sudah menjambak rambutnya. Menarik bibirnya, lalu meremasnya sekuat tenaga. Tapi untung kadar kewarasanku masih stabil saat itu.
“Ada apa senyum-senyum sendiri?” Abi membuyarkan lamunanku.
“Rahasia,” jawabku.
“Jadi sekarang mau main rahasia-rahasiaan sama aku?” Abi berpura-pura cemberut.
Aku mendesis pelan. “Tiba-tiba aku keinget sama salah satu mantan aku,” jawabku iseng, sengaja ingin menggodanya.
“Oh, kamu ingat sama mantan kamu yang suka ngadu sama mamanya itu? Atau... sama mantan kamu yang minjem duit kamu terus kabur itu?”
Abi terus menggodaku dan tertawa terbahak-bahak. Aku mendengkus kesal, lalu menjitak kepalanya. Abi bangkit dan menyerang balik. Dia mengejarku, kami berlari-larian memutari meja makan. Sampai akhirnya Abi menangkapku dan menggelitikiku tanpa ampun. Mataku berair karena menahan rasa geli. Sekarang giliranku yang balas menyerang. Suasana semakin ricuh, perang terus berlanjut. Suara derai tawa pun menggema memenuhi ruang kecil yang kumuh.
_
Badanku terasa segar setelah selesai mandi. Aku ingin mengajak Abi jalan keluar mumpung cuaca sore ini cerah. Tapi dari tadi kuperhatikan Abi terlihat gelisah. Dia terus melirik jam dinding dan kadang menggigit kuku jari tangannya. Saat ini dia menatap keluar jendela sambil berkacak pinggang.
Tatapanku beralih pada ransel lusuh yang tergeletak dekat pintu. “Abi, itu apa?” tanyaku sambil menunjuk ransel itu. “Jangan bilang kalau kamu akan pergi lagi?” dadaku mulai terasa sesak.
“Alia....” Abi coba memelukku. Tapi aku menepis tangannya dan melangkah mundur.
“Kamu baru aja pulang semalam dan sekarang kamu mau pergi lagi?” aku menggeleng tak percaya.
Abi menarikku kepelukannya. Meski sempat berontak, aku akhirnya mengalah dan memilih mendekapnya erat. Aku menangis terisak dan sesekali memukul pundaknya. Aku tak ingin dia pergi lagi. Aku masih ingin bersamanya lebih lama.
“Kali ini nggak akan lama,” bisik Abi.
“Bohong! kamu selalu bilang seperti itu, tapi nyatanya....”
“Maafin aku.”
Abi melepas pelukannnya dan melangkah pergi. Aku mematung lemas menatap kepergiannya. Air mataku masih mengalir membasahi pipi. Jemariku mengawang hendak menggapainya. Bahagia kembali disapu pilu, menggerus hati dan perasaan untuk larut bersamanya. Mengapa begitu sulit untuk bersama saat sudah memiliki dia seutuhnya?
_