Festival Siti Nurbaya

1270 Words
Sejak menyandang status sebagai kekasih Abi, hari-hariku mulai berubah. Dia telah mendekor ulang dan memberi warna baru dalam hidupku. Abi selalu mengejutkanku dengan cintanya. Ada saja tingkah dan ulahnya yang membuatku terus tersipu malu. Selain lucu dan menghibur, tingkah Abi juga kadang membuatku cemas. Pernah suatu ketika dia masuk ke kelasku dan mengaku sebagai asisten dosen. Tentu saja kehadirannya membuat semua mahasiswa menggeleng tak percaya. Abi datang dengan gaya urak-urakan lengkap dengan jaket levis keramatnya. Dengan percaya diri Abi memberikan kuliah pendek yang diberi judul “Filosofi Cinta”. Namun siapa sangka, semua warga kelas malah tertarik dengan omong kosong Abi. Suasana kelas yang biasanya tegang berubah ceria. Kegaduhan itu baru terhenti saat asisten dosen yang asli masuk dan mengusir Abi keluar. Abi juga sering menyamar sebagai mahasiswa dan ikut belajar di kelas bersamaku. Tapi bukannya cari aman, Abi malah ikut-ikutan bertanya dan menjawab pertanyaan dosen. Abi sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan kritis yang bahkan tidak pernah terlintas di benakku yang notabene adalah seorang mahasiswa. _ Hari ini adalah hari pertama pembukaan Festival Siti Nurbaya. Sebuah event tahunan yang mengusung kearifan lokal dengan tujuan untuk memperkenalkan dan melestarikan budaya Minangkabau. Akan ada karnaval dan perahu hias, lomba salaju sampan, lomba maelo pukek yang dilakukan secara berkelompok, lomba panjat pinang, lomba permainan anak nagari seperti egrang atau jangkungan, sepak rago, tarompah tampuruang, dan banyak jenis lomba lainnya. Acara pembukaan sendiri diselenggarakan di Jembatan Siti Nurbaya. Aku dan Abi sudah berada di tengah-tengah histeria pembukaan acara. Abi begitu bersemangat menyaksikan arak-arakan karnaval yang menampilkan kekayaan budaya Minangkabau. Aku bisa melihat binar kagum di matanya. Sesekali mulutnya menganga dan ikut bertepuk tangan “Acaranya keren, kan?” Abi tersenyum padaku. Sebenarnya tahun lalu aku juga sudah menyaksikan event ini bersama Ali. Tapi untuk menyenangkan hati Abi, aku sedikit berbohong padanya. “Iya, ini pertama kalinya aku melihat secara langsung.” Abi memukul kepalaku pelan. “Kamu beneran orang Padang nggak, sih?” “Ya... dulu itu nggak ada teman buat datang kesini.” Aku mendengkus seraya mengusap kepalaku. “Kamu mau ikut lomba yang mana?” tanya Abi Aku menunjuk wajahku sendiri dan menggeleng cepat. “Nggak, aku nggak mau ikutan.” “Lho... kok gitu? Ada banyak lomba buat perempuan. Lomba menggiling cabe secara tradisional, memakai baju kurung, memasak lemang, masa iya kamu nggak tertarik?” tanya Abi. “Pokoknya aku nggak ikutan,” jawabku. “Dasar, nggak cinta sama budaya sendiri,” sindir Abi. “Emang kamu sendiri ikutan?” tanyaku. Abi mengacungkan jempolnya. “Aku ikut lomba lomba salaju sampan,” Abi menepuk-nepuk dadanya. “Paling juga nggak akan menang,” ejekku. “Kita lihat aja nanti,” Abi bergumam dan meninju telapak tangannya sendiri. _ Lomba selaju sampan diadakan di Sungai Batang Arau. Yang unik dari lomba balap sampan tradisional ini adalah dalam tata cara penentuan pemenangnya. Pemenang tidak hanya tim yang duluan mencapai garis finish, namun pemenang ditentukan oleh tim yang memukul labu-labu lebih dulu, yaitu sejenis bola dari keranjang yang digantung di garis finish.  Penonton sudah memenuhi bantaran kanan dan kiri Sungai Batang Arau. Mereka bersorak menyemangati tim jagoan masing-masing. Aku menerobos kerumunan penonton hingga barisan paling depan. Di bawah sana, Abi sudah bergabung dengan salah satu tim yang memakai kostum berwarna merah. Abi melambaikan tangannya begitu melihatku. Kubalas lambaiannya itu dengan hati cemas. Aku sendiri ikut deg-degan menjelang lomba dimulai. Saat ini Abi terlihat sedang berkoordinasi dengan timnya. Kumpulan pria berotot kekar itu tampaknya sudah siap untuk mendayung sampan. Perlombaan dimulai. Sampan-sampan tradisional itu mulai bergerak. Penonton kian riuh menyemangati tim jagoan mereka. Para pria mendayung sampan sekuat tenaga. Saat ini tim Abi terus melaju meninggalkan tim lain di belakangnya. Persaingan semakin ketat, semua tim saling pacu untuk menjadi pemenangnya. Aku berteriak girang saat tim Abi keluar sebagai pemenang. Abi berhasil memukul labu-labu lebih cepat dari lawannya. Sorak sorai penonton kian riuh. Tim Abi akan melaju ke babak selanjutnya. Aku segera berlari menemui Abi dengan senyum dan rasa bangga yang membuncah. Abi berdiri sambil berkacak pinggang. “Aku berhasil, kan,” katanya. “Iya... selamat deh,” ucapku. “Tapi ini belum final.” aku mendelik dan mencibir padanya. “Aku dan timku yang akan jadi juaranya,” Abi berkata yakin. _ Pertandingan selaju sampan terus berlanjut. Benar saja, tim Abi terus memenangi babak demi babak, hingga akhirnya melaju ke babak final. Aku harap tim Abi bisa menang dan keluar sebagai juara. Namun aku sedikit cemas setelah mengetahui lawan Abi di final. Mereka adalah tim atlit salaju sampan asal Pesisir Selatan. Mereka dikenal sangat tangguh dan memperoleh predikat sebagai juara bertahan. Suasana pertandingan final semakin meriah. Semua tidak sabar menunggu pemenangnya. Peserta yang sudah kalah juga turut menyemangati tim yang akan bertarung. Tim lawan mengenakan kostum berwarna kuning. Aku sedikit patah semangat menyaksikan mereka yang terlihat begitu mengintimidasi. Belum lagi bisikan-bisikan penonton yang mengatakan  bahwa tim itu memang tidak bisa terkalahkan.    Pertandingan dimulai. Kedua tim sama-sama mengerahkan performa terbaiknya. Aku tak henti menyemangati Abi meski suaraku tenggelam dalam riuh sorak penonton yang lain. Aku merasa tegang melihat sampan yang saling pacu. Untuk sesaat tim Abi memimpin, tapi kemudian tim lawan kembali memacunya. Garis finish semakin dekat, sementara tim Abi sedikit tertinggal di belakang. Sepertinya mereka sudah kelelahan karena hampir seharian mendayung sampan. Aku menghela napas, sepertinya Abi harus puas sebagai runner up. Sampan lawan sudah tiba di garis finish dan bersiap untuk memukul labu-labu. Tapi tiba-tiba saja pemain yang bertugas memukul labu itu terjungkal jatuh ke sungai. Penonton berteriak histeris. Bersamaan dengan itu sampan Abi melaju dan dia langsung memukul labu-labu dengan tepat sasaran. Tim Abi sukses keluar sebagai juara. Aku membeku sejenak kemudian berteriak girang. Setelah puas bersorak, aku menangis.  “Kok, kamunya malah nangis?” Abi langsung menghampiriku dan menatap heran. Aku terus merengek dan memukul-mukul pundaknya. “Aku nangis karena kamu menang,” jawabku. “Jadi kamu sedih karena aku menang?” “Bukan... aku senang, makanya aku nangis.” “Hahaha.” Abi tertawa lalu mengacak-acak rambutku. Hari ini sebuah kenangan manis kembali terukir. Festival Siti Nurbaya tahun ini akan menjadi bagian dari hikayat cintaku dan Abi. Hari ini di tengah keramaian Jembatan Siti Nurbaya, aku mengukuhkan hatiku bahwa dia memang pantas untuk dimiliki. Bahwa hanya dia satu-satunya dan untuk selama-lamanyanya. _ Keceriaanku selepas pulang dari Festival Siti Nurbaya rusak karena kabar mengejutkan dari Ali. Dia mengatakan bahwa Ayah marah besar padaku. Aku lupa bahwa hari ini Ayah akan memperkenalkanku dengan anak temannya yang datang dari Jakarta. Aku benar-benar lupa dan sebenarnya memang tidak tertarik dengan pertemuan itu. “Kamu pasti pergi sama Abi lagi?” selidik Ali. “Iya.” aku menjawab lesu. “Iya...?” Ali menghela napas panjang. “Kamu itu memang nggak bisa dibilangin, nanti kalau ayah tau bagaimana?” “Kalau Ayah tau, berarti kamu yang ngasih tau.” “Ayah itu nggak suka kamu pacaran sama anak seperti Abi.” Ali coba mengingatkan. “Bawel... urusan hati nggak bisa dipaksa. Aku nggak bisa ngikutin kemauan Ayah buat putus sama Abi. Sekarang ini udah modern dan aku bukan Siti Nurbaya,” jawabku ketus. “Itu karena kamu belum ketemu sama anak teman Ayah yang dari Jakarta itu. Dilihat dari segi mana pun dia jauh lebih baik daripada Abi. Tampan, punya kepribadian baik, berpendidikan, mapan lagi, pokoknya the best lah,” Ali menjelaskan panjang lebar. “Ya udah, ambil aja dia buat kamu. Aku rela kok.” aku mencibir lalu segera berlari masuk ke kamar. Ali yang tidak terima langsung mengejar dan mengomel di balik pintu. Sementara aku bersandar di belakangnya seraya memejamkan mata sejenak. Berita yang disampaikan Ali merusak kesenanganku hari ini. Kuhela napas sejenak lalu menghempaskan tubuhku ke ranjang. Hari ini benar-benar menyenangkan sekaligus juga melelahkan. _
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD