Valery berusaha tersenyum ketika bersalaman dengan jajaran direksi, meskipun kini ia tengah gugup karena terus ditatap tajam oleh Chris dari kejauhan.
Pria itu berdiri disudut sana layaknya patung dewa yunani, tampan dan penuh wibawa. Namun dapat membuat kedua kaki Valery terasa lemas, karena tatapannya yanh seolah menelanjangi dirinya. Belum lagi, Alan yang terus berada disisinya.
"Kau mau kuambilkan minum? Dahimu berkeringat" ujar Alan seraya mengambil sapu tangan dari dalam sakunya namun ditolak dengan halus oleh Valery.
"Tidak usah, aku bisa mengambil sendiri Alan, terima kasih." Balas Valery dengan sopan dan segera berlari kebelakang, merapihkan pakaian dan wajahnya yang kini sudah pasti penuh dengan keringat dingin.
Ia menghembuskan nafas, berpegangan pada pagar seraya mengatur nafasnya. Hari ini sungguh sial, mengapa Alan tidak bilang bahwa Chris akan datang? Mengapa pula ia tak bertanya sebelumnya? Valery memegang dahinya, setelah ini pria itu akan murka, terlihat dari raut wajahnya yang jelas-jelas mengibarkan bendera perang.
"Val...?"
Valery terkejut, ia menoleh kebelakang dan mendapati Alan. Ia menggembuskan nafas lega, ia pikir Chris yang menyusulnya.
"Bisa kita pulang sekarang? Aunty Carol menunggu mobilnya" ujar Alan.
Thank god, akhirnya aku bisa pergi dari sini. Batin Valery.
"Baik, ayolah cepat!" Ucap Valery seraya menarik tangan Alan menuju keluar rumah sakit.
"Tidakkah seharusnya kita berpamitan?"
"Sudahlah, itu tidak perlu" ujar Valery, mereka berdua keluar dari bangunan tersebut menuju parkiran. Tanpa mereka sadari ada sepasang mata elang yang mengawasi mereka sedari tadi.
...
Valery dan Alan memasuki pelataran rumah, disana sudah menanti Aunty Carol yang telah rapi. Sepertinya wanita itu hendak berpergian.
"Sepertinya terburu-buru Aun..." ujar Alan.
"Ya, malam ini ada pemotretan dipusat kota"
"...kau baik-baik dirumah ya, sampai jumpa diacara pembukaan rumah sakitmu besok malam" kata Carol seraya memeluk Alan.
Valery dari kejauhan hanya bisa tersenyum melihat kepergian Carol, wanita itu sedikitpun tak pernah melirik kearahnya.
"Val....?" Panggil Alan mengejutkan dirinya.
"Ah, ya Alan?"
"Aku akan pergi sebentar, ada urusan mendadak" kata Alan menghampiri Valery dengan kedua tangan berada didalam saku.
"Oh, ya tentu. Kau pergi dengan apa?" Tanya Valery.
"Aku akan naik taksi, kau jaga rumah oke?"
"Hm, baiklah" balas Valery dengan senyuman.
Ia memasuki rumah ketika Alan pergi, menutup pintu kembali dan menuju kamarnya. Hari ini sangatlah lelah, entah karena lelah hati dan perasaan atau hanya tubuhnya.
Valery berbaring diatas ranjang, ingin sekali ia tidur mengistirahatkan tubuhnya. Ia memejamkan kedua matanya, terlelap begitu bantal yang ia tiduri menjadi sangat nyaman dan berhasil membawanya kealam mimpi.
...
Valery membuka kedua matanya, ruangannya hampir gelap pertanda malam tiba. Ia merenggangkan tubuhnya seraya menguap, mungkin terlalu lama ia tertidur sampai tidak sadar jika hari sudah malam. Valery menyalakam lampu yang berada diatas nakas samping tempat tidurnya.
Namun ia sedikit terkejut ketika melihat seseorang yang duduk disudut ruangan seraya menyilangkan kaki.
"Chris?" Cicit Valery, sontak membuatnya terduduk diatas ranjang.
Pria itu hanya diam, membuat Valery salah tingkah bingung ingin berkata apa. Mengingat kejadian tadi pagi dan ia begitu merutuki kebodohannya sendiri.
"Kau disana sejak kapan?" Tanya gadis itu sambil menggigit bibir bawahnya. Takut, tentu saja. Ia hafal betul watak pria itu. Chris tidak akan berhenti marah jika sesuatu tak membuat dirinya merasa puas.
Terdengar hembusan nafas pria itu, Chris berdiri dari duduknya dan menuju Valery. Membuat jantung gadis itu berdetak lebih kencang, Chris berjongkok dipinggir ranjang, mengelus pelan dahi dan rambut Valery dengan wajah tanpa ekspresi. Membuat Valery kian takut dan hanya bisa terdiam.
"Apa Alan telah banyak menyentuh bonekaku ini, Valery?" Tanya pria itu dengan suara seraknya, bagai tamparan keras pertanyaan Chris barusan begitu menyakiti hatinya.
Valery duduk dimeja selama berjam-jam, riasan wajah minimalis, rambut hitam nan legamnya ia gelung keatas dengan sedikit helaian disamping telinga dan pelipisnya. Alis mata yang dibuat setajam mungkin dipadukan dengan lipstik berwarna peach alami makin mempercantik penampilannya. Ditambah dengan sentuhan dipipi tirusnya membuat wajahnya makin merona.
Gadis itu berdiri, dibantu oleh seseorang khusus untuk membantunya merias diri. Memakai gaun berwarna hitam yang sangat pas ditubuhnya, gaun berkilap berlengan panjang itu terbuka dibagian belakang punggung, memperlihatkan kulit mulus gadis itu. Ditambah lagi bagian paha yang sedikit terbuka, memperlihatkan kaki jenjang Valery yang dihiasi dengan heels tinggi merk ternama.
Valery menatap dirinya dari pantulan cermin, benarkah yang berdiri disana itu adalah dirinya? Sangat cantik dan begitu menantang, mungkin jika ia memilih dunia modeling daripada kedoteran Valery dapat menyaingi Aunty Carol, gadis itu tersenyum sinis. Senyum yang begitu cantik namun terlihat mematikan.
"Kau sudah siap?" Tanya seseorang dibalik pintu, Alan telah siap dengan tuxedonya yang membuat pria itu makin terlihat tampan.
"Aku siap" ujar Valery semangat, ia meraih lengan Alan dan keluar dari kamarnya bergandengan.
...
Mobil mengarah kesebuah hotel ternama kota New York, malam ini adalah perayaan pembukaan rumah sakit milik Alan. Dan tentu saja Valery akan mendampingi Alan karena ia akan menjadi salah satu anggota Alan nantinya. Hal yang tentu saja tidak akan Valery lewatkan, langsung mendapat pekerjaan saat dirinya selesai dengan studinya nanti.
Mereka berdua keluar dari dalam mobil, Alan membukakan pintu mobil layaknya sang pangeran menjemput permaisurinya. Valery melenggang indah dengan Alan disampingnya, pintu aula besar didalam gedung hotel tersebut terbuka.
Menampilkan dirinya dan Alan yang berjalan menginjak karpet merah dengan serasinya, awak media mengambil gambar mereka dan Alan membalasnya sangat ramah. Valery yakin sekali berita kedekatannya dengan pengusaha dan dokter muda ini akan menjadi sorotan media, well Valery tidak dapat menyangkalnya, lagipula ini dapat menunjang karirnya kelak.
Valery dan Alan terlihat sangat mesra, tanpa sadar ada sepasang mata yang sedang panas menatap mereka berdua. Seperti merasa diperhatikan, Valery mengencangkan rangkulan Alan dipinggulnya. Membuat Alan menatap kedua matanya langsung dan Valery tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, ia segera mengecup bibir Alan tepat dihadapan seluruh awak media yang tengah memotret mereka.
Well... this is for you Uncle.
Because i'm not you little doll.
Valery tertawa dalam hati, tanpa memperdulikan seluruh tatapan semua orang. Mungkin semua orang turut bahagia atas hubungan anak muda tersebut, namun tidak dengan Chris.
Matanya memerah menahan amarah, tanpa sadar jika jemarinya kini tengah meremukan gelas sampanye yang sedari tadi ia genggam.
Chris mendengus kesal, ia melepaskan jeratan tangan Carol dan membenahi tuxedonya. Menuju belakang bangunan tak ingin melihat pemandangan yang mampu membuat hatinya memanas, sementara Carol hanya menyunggingkan senyum dan kembali bercengkrama dengan teman-teman sosialitanya. Membuat gosip bahwa keponakannya itu tengah menjalin kasih dengan Alan, sungguh ironi...
Valery menyudahi ciumannya, entah mengapa dadanya terasa sesak kini.
Ia menatap Alan, pria itu bukan pria yang biasa ia cumbu. Memang seharusnya seperti itu, tapi mengapa Valery seolah tak mengijinkan dirinya sendiri menyentuh pria lain. Otaknya berputar dengan keras, Alan yang seakan mengerti kebingungan pria itu menarik Valery dari rombongan awak media.
Menuju toilet belakang karena sepertinya gadis itu tengah linglung.
Alan mendudukan Valery dikursi pantry belakang, sementara dirinya mondar-mandir seraya mengelus dagunya.
"Untuk apa ciuman tadi Valery?" Tanya Alan yang tengah membelakangi Valery.