"Huft!"
Lelaki itu membuang napas kasar. Bagaimana tidak, hari keramat ini akhirnya terjadi.
"Tenang sayang, ayah orangnya open minded kok, apalagi sama yang tampan-tampan." Terang seorang gadis manis dengan tahi lalat bertengger indah di bibir itu seraya mengencangkan dasi di lingkar leher laki laki kesayangan di hadapannya.
***
Krik krik krik!
Tiga kepala di ruangan itu berusaha membentuk sebuah persekutuan. Sayang, sepertinya beberapa titik tidak mendapatkan temu yang sepantasnya. Sedari tadi, tidak ada yang ingin memulai kata, hanya sibuk menganalisa lawan dari rambut sampai kuku kaki, dari kuku kaki sampai rambut. Menetapkan penilaian sepihak alias mencari titik kelemahan berdasarkan ilusi semata.
"Hmm ...!"
Lea berdeham. Gerah sendiri melihat sang ayah yang seolah menginterogasi tersangka kejahatan dan sang kekasih yang ciut macam ban kehilangan napas kehidupan.
"Sssstt ..." Bibir tipis itu memiringkan diri. Memberi kode menyerang lebih dahulu.
Si lelaki menggigit bibir, memejam, lantas menggeleng cepat mengumpulkan kembali sisa sisa harga diri yang berserakan bahkan sebelum digunakan. "Saya Dewa, Om." Sapanya seraya menyodorkan tangan.
Krek! Krek!
"Ayah!" dengus Lea yang kemudian menarik paksa tangan kekar itu dari arena pertarungan.
"Mau apa ke sini?" tohok pria paruh baya yang nyaris menginjak kepala lima itu tanpa ekspresi.
"Ini, Pa ..."
"Saya bukan papa kamu ..."
"Eh, maaf, Om ..."
Ekor mata si Om menggeliat. Sensor di dalam rongga hidungnya menandak-nandak, merasakan kehadiran sesuatu yang begitu membuai, namun demi tetap mempertahankan wibawa tentara, bergeming sama sekali.
"Waaah, martabak, Yah. Ayah kan paling suka ..." Sosor Lea tak tahu tempat diiringi tatapan elang.
"Hush, sana ke dapur, bikinin ayah teh yang baru. Seret ini." Suruh sang ayah sambil mengurut urut kerongkongan.
***
"Loh, Mas Dewa ..." sela Lea yang lantas menghakimi sofa di seberangnya yang menyembulkan garis putus putus.
"Siapa? Laki laki yang baru belajar ngomong tadi?" sambut sang ayah segera setelah merebut pesanannya dari tangan si buah hati.
"Ayaaaaaah ..."
Lea akhirnya meleyot manja di lengan sang ayah.
"Apa?"
"Tunggu, deh, kayaknya ada yang nggak beres ..." Lea akhirnya bergerilya, mengikuti syaraf pelacak di dalam dua rongga.
Sensor di tepian daun telinga sang ayah juga mengirimkan pesan SOS sehingga keduanya berakhir memeluk dan memperebutkan sebuah tong sampah di bawah wastafel.
Perang urat syaraf itu berlangsung beberapa menit. Mulai dari saling melotot, menggertakkan gigi, istirahat sejenak sambil melihat celah lawan, lantas kembali ke gelanggang.
"Ini ada apa, Non, Tuan?" Kedatangan si bibi yang polos tiada terkira akhirnya menjadi peluit panjang tanda berakhirnya pertandingan.
Ayah dan anak itu bangkit, sama-sama mengibas ngibas pakaian yang sedang dikenakan, lalu berlagak akan mencolok mata masing masing sebagai gencatan senjata.
"Waaa, giliran ada yang enak-enak, bibi ndag pernah dibawa, ya?" soraknya sengaja setelah mendapati sebuah kotak menyapa 'selamat menikmati'. Membuat dua pasang kaki yang tadi ia lerai terbang ke kamar masing masing demi menyelamatkan diri dari pusaran omelan yang lebih horor daripada sinetron azab.
***
Slurrrrrp.
Air muka lelaki itu baru saja kembali ke suhu semula. Pasalnya beberapa saat lalu, aaarrrggghhhh ... mau dijelaskan pun rasanya seperti mengumumkan diri sebagai pecundang.
Sial! Sial!
"Sayang, maaf ..." Seorang wanita sekonyong-konyong datang menghenyakkan p****t di sebelahnya.
Nyaris saja si lelaki menderita kekalahan kedua karena bibirnya yang menolak bekerja sama. Perang ini setidaknya harus memberikan efek bagi kedua belah pihak, enak saja kalau hanya dirinya sendiri yang mengalami pergolakan.
Hening.
"Yaaang ... maaaaaf." Lea mengguncang lengan sang kekasih lembut.
Dewa kontan melengos melawan arah.
Sigap, Lea beralih. Menggembungkan pipi ke arah yang sama.
Lagi, Dewa melengos ke arah sebaliknya.
Lea reflek mengulum bibir, mengguncang guncang pundak Dewa yang sepertinya butuh tumpangan.
Begitu saja berulang-ulang, hingga semua pengunjung dan karyawan di kafe pada jam sibuk itu sejenak menghibur diri dengan FTV romantis di depan mereka.
Ada yang menggigit tepian baju merasa dunia tak adil.
Ada yang tersenyum dengan sapuan cappucino masih menempel di bawah rongga hidung.
Ada yang salah meletakkan pesanan.
Ada yang melupakan antrian pelanggan yang mengular.
Tak ketinggalan, beberapa gerombolan (patah hati) yang jelas sekali terlihat dari kelopak hitam panda yang dirawat sedemikian rupa hingga sekilas jika diperhatikan mirip dengan make up spesial halloween.
"Cium ... cium ..."
Prok prok prok prok!
Sepasang merpati yang tengah dilamun ombak merah muda itu menyeringai. Sudut bibir melebar, tertarik ke atas hingga menampakkan gigi. Pipi terangkat. Kelopak bawah mata berkerut.
Beberapa mulut membulat sempurna, macam menunggu assist berbuah gol.
Tapi ...
Yaaah, penonton kecewa.
Sebuah karpet merah dibentangkan, sepasang tangan melambai, melewati kasir dengan senyum smirk.
Blitz kamera paparazi menghujani.
Endingnya, tawa menyembul di antara hangatnya pelukan.
***
"Halo, Pak. Iya, Pak ..." sosok dengan setelan serba hitam itu tercekat. Tenggorokannya mengambil keputusan besar untuk menyelamatkan aliran oksigen yang ...
"Sial!" hampir saja dibantingnya smartphone titipan itu kalau saja lupa harga dan pemberinya.