Chapter 10 - Abraham vs Benjamin

1781 Words
= Taman kota. CA, Amerika. Jam 19.00. Sekitar 15 jam setelah insiden telepon di pagi buta = Suasana malam itu terlihat cukup sepi, juga lengang. Tapi tidak lama kemudian, lintasan olahraga itu mulai didatangi orang satu demi satu. Dalam sekejap, suasana mulai terasa cukup ramai tapi tidak sesak. Masing-masingnya mengenakan pakaian sesuai tujuannya. Ada yang cuek dengan tujuan murni berolahraga, tapi ada juga yang sengaja berpenampilan berbeda untuk menarik perhatian. Banyak yang datang ke taman untuk mencari teman kencan. Entah untuk satu malam atau jika beruntung, mungkin bisa lebih lama. Ini adalah malam terakhir mereka bisa bersenang-senang, sebelum kesibukan di hari senin dimulai kembali. Beberapa wanita muda menoleh saat seseorang dengan perawakan tinggi besar melintasi jalan setapak itu cepat. Senyum yang telah terpatri di bibir mereka harus ditelan kekecewaan, saat orang itu sama sekali tidak menoleh dan meneruskan lari-lari kecilnya ke arah salah satu bangku yang cukup teduh di pojokan. Hampir tidak ada orang di area itu, dan hanya ada satu orang yang tampak duduk sambil menunduk. Satu-satunya penerangan hanyalah lampu taman yang sedikit jauh, membuat lokasi itu sedikit remang-remang. Orang yang memakai topi dan bermasker itu menggosok-gosok tangannya yang bersarung dengan gugup. Ia baru mengangkat kepalanya, saat matanya melihat sepasang sepatu boots berwarna gelap berhenti di depannya. Pandangannya sejenak terpana dan kedua matanya mulai berair. Pria itu segera bangkit dari duduknya, dan langsung memeluk orang yang baru datang itu. "Abe!" Menggertakan giginya, tubuh Bram terasa kaku di pelukan Ben. Menyadari kemarahan saudaranya, pria itu semakin mempererat pelukannya dan menenggelamkan wajah ke bahu kembarannya. "Abe... Maafkan aku... Tolong maafkan aku, tapi aku benar-benar takut Abe! Aku takut...!" Merasakan getaran tubuh Ben yang tidak terkontrol, tanpa sadar Bram mengangkat tangannya dan menepuk punggung pria itu. Menenangkannya. Karena meski membenci orang ini, tapi ia mengingat pengalamannya dulu saat bertemu dengan Francis. Kejadiannya persis sama, meski di tempat yang berbeda. Ingatannya itu membuat kemarahannya sedikit menyurut karena bagaimana pun, pria ini memang adalah saudaranya. Wajah dan tubuh mereka yang seperti cermin, adalah bukti yang tidak terbantahkan. Setelah beberapa saat, barulah keduanya duduk di bangku yang panjang itu. Merogoh sakunya, Bram mengeluarkan kotak rokoknya. Pria itu mengambil sebatang dan menyulutnya. "Bo- Boleh aku memintanya?" Memandang Ben, rasa kasihan Bram perlahan muncul. Pria di depannya ini sangat berbeda jauh dengan pria yang diingatnya hampir tiga tahun lalu. Saat ia memberikan hadiah perpisahan berupa tamparan penuh cinta di pipinya, Benjamin Collins adalah seorang pria rupawan dan juga bertubuh bugar. Hampir tidak ada kerutan di wajahnya dan siapa pun yang melihatnya, serta merta akan langsung terpesona pada pria itu. Meski identik tapi aura yang dikeluarkan mereka berbeda jauh. Keduanya jelas dua orang yang berbeda. Benjamin memberikan aura positif dan percaya diri tinggi. Lidahnya lentur, dan senyumnya membawa maut. Hal ini membuatnya tidak sulit berbaur dengan sekitarnya dan berhasil menjadikannya anak kesayangan ayah mereka. Sebaliknya Abraham adalah sosok canggung dan juga kutu buku. Ia lebih suka menghabiskan waktunya di perpustakaan atau di rumah, berkutat dengan komputernya. Keduanya kembar identik, tapi tidak seorang pun menyadarinya. Satu berpenampilan seperti selebriti dan seolah meneriakkan status sosialnya yang tinggi. Tapi lainnya justru terlihat biasa saja, cenderung gembel. Pakaian yang dikenakannya tampak seolah ia berasal dari kalangan menengah. Awalnya sang ayah bingung menentukan pewarisnya, tapi melihat sosok Ben yang karismatik membuatnya melupakan posisi Bram sebagai anak tertua. Kelebihan yang ada di anak keduanya, menjadikannya buta untuk melihat hal positif dari anak pertamanya yang sebenarnya jauh lebih banyak. Di balik kacamatanya, Abraham adalah anak yang pintar. Jauh lebih pintar dibanding Benjamin. Justru karena mengetahui kelebihan kakaknya itulah, Ben menggunakan cara-cara lain untuk dapat memikat orang demi keuntungannya sendiri. Ia bukannya tidak punya otak, hanya saja memilih menggunakan kecerdasannya dengan cara yang salah. Karena ia tahu, ia akan kalah bila bersaing jujur dengan kembarannya. Sejak kecil, Abraham mengalah pada adiknya. Kesalahan yang dilakukan adiknya, selalu ditimpakan padanya. Beberapa kali, ia terkena tonjokan dari ayahnya karena ketololan Benjamin. Setiap membela diri, pipinya justru semakin bonyok. Hal ini akhirnya membuatnya memilih diam dan menerima perlakuan tidak adil itu. Sampai di suatu sore berhujan deras, akhirnya ia merasa sangat muak dengan kelakuan mereka semua. "Abe?" Pertanyaan pelan itu menyadarkan Bram dari masa lalunya. Melihat kotak rokoknya yang telah terbuka, ia memberikan sebatang pada saudaranya dan membantu menyulutnya. Menatap Ben beberapa saat, pria itu menolehkan kepalanya dan menghisap rokoknya sendiri dalam-dalam. Mengeluarkan asapnya pelan, ia melirik ke arah adiknya. Hanya dalam waktu 3 tahun, wajah Ben terlihat tirus dan sedikit berkeriput. Kantong matanya terlihat jelas dan menghitam. Meski masih terlihat tampan, tapi auranya sudah mulai menghilang. Tubuhnya pun tampak kurus. Menjentikkan rokoknya, pria itu bertanya tanpa menoleh. "Apa yang kau inginkan, Ben?" Kepala Ben menunduk dan kedua tangannya berada di antara pahanya. Suaranya terdengar gemetar saat ia bicara. "Ada yang ingin memb*nuhku, Abe. Aku-" Tanpa diduga, Bram berdiri dan dengan kasar menginjak rokok yang dilemparnya hingga hancur. "Aku tidak mau mendengarkan omong kosongmu lagi, Ben. Kau telah membuang waktuku!" Panik, Ben segera mencengkeram lengan Bram. Mencegahnya untuk pergi. Rokoknya yang baru setengah terlupakan, ketika ia tidak sengaja menjatuhkannya. "Abe! Abe, please! Dengarkan aku dulu, aku-" Menghempaskan lengan kurus Ben, Bram menatap saudaranya tajam. Dagunya menengadah. "Belum cukup aku membantumu selama 2 tahun, Ben? Kau telah menjadikanku sebagai kacung kampretmu. Selain membuatku menjadi bodyguard pribadimu, aku juga tameng atas ketidakmampuanmu mengatur perusahaan! Jangan jadikan alasan ada seseorang yang menyakitimu untuk mengikatku, brother. Karena aku tidak akan termakan kebohonganmu lagi!" Berbalik, Bram baru akan melangkah saat Ben tiba-tiba bersimpuh di belakangnya. Pria kurus itu memeluk kedua lututnya yang berbalut celana jins. "Abe! Aku tahu aku salah! Tapi aku serius waktu itu, dan ancaman itu benar-benar terjadi sekarang, Abe! Tolonglah aku, Abe...! Please... Aku benar-benar tidak tahu harus meminta bantuan siapa lagi..." Berdiri diam, Bram akhirnya menggeram. "Bangun, Ben. Aku tidak suka melihatmu seperti ini!" Terasa kepala Ben menggeleng cepat di kakinya. "Tidak! Aku tidak mau! Aku akan tetap begini sampai-" Perkataan pria itu terhenti saat kerah bajunya ditarik kuat, membuatnya terpaksa berdiri sempoyongan. Penuh kemarahan, Bram mendorong tubuh saudaranya hingga pria itu terpelanting kencang ke kursi panjang tempat mereka duduk tadi. Untungnya suasana sekitar mulai sepi dan lokasinya mereka pun cukup gelap, membuat kejadian itu tidak terperhatikan oleh pengunjung di sana. "Jangan jadi orang cengeng, Ben! Kau seorang pria, bukan? Jadilah pria sejati, dan hadapi masalahmu dengan jantan! Jangan pernah kau melemparkan kotoranmu pada orang lain, brother. Sudah lupakah kau akan kata-kata kakek? Jangan pernah mempermalukan keluarga besar St. Collins!" Ben yang berusaha untuk duduk, wajahnya bersimbah air mata. Kemarahannya mulai bangkit. "Kau bisa bilang begitu karena kau tidak di sana, Abe! Kaulah yang lari dari kewajiban! Aku hanya meminta bantuanmu sedikit, dan kau sudah marah seperti ini! Seharusnya-" Suara tamparan yang keras menggaung di taman itu. Beberapa orang tampak menoleh tapi melihat tidak ada keributan apapun, mereka semua kembali ke kegiatan masing-masing. Berusaha mengendalikan dirinya, suara Bram terdengar sangat rendah saat ia berbicara. Telunjuknya terarah pada saudaranya yang masih terduduk di bangku. "Jangan mencoba playing victim denganku, dude. Kau sangat tahu kenapa aku pergi. Kau juga tahu namaku bukan Collins lagi. Jadi jangan pernah kau menyalahkan aku atas statusmu sekarang, karena kau pun telah menikmati priviledge itu bertahun-tahun! Tanpa pernah mempedulikan aku atau pun orang yang telah melahirkanmu! Jadi jangan berani-berani melakukannya lagi, atau aku sendiri yang akan memb*nuhmu!" Gemetar ketakutan, Ben memegang pipinya yang mulai membengkak karena tempelengan kakaknya. Melihat Bram yang benar-benar akan pergi dari sana, akhirnya pria itu menggunakan senjata terakhirnya. "Aku akan membantumu menikahinya." Kata-kata pelan itu berhasil menghentikan langkah kaki Bram. Kepalanya sedikit menoleh. Sosoknya seperti siluet dalam kegelapan malam. "Apa kau bilang?" Akhirnya Ben berdiri dari duduknya. Suaranya terdengar lebih mantap. "Anna Reyes. Aku akan membuatmu menikahinya. Asal kau mau membantuku menemukan orang yang mau memb*nuhku selama ini." Perlahan, tubuh besar Bram berbalik. Sorotnya tajam saat ia memandang pria di depannya. Tatapannya kali ini bukan kemarahan, melainkan mel*cehkan. Kepalanya terlihat menggeleng tidak percaya. "Kau sadar ucapanmu, dude? Kau mau memberikan orang yang kau sukai, demi mendapatkan tujuanmu?" Menjilat bibirnya, Ben mengangguk. Hatinya sebenarnya cukup sakit, tapi ia tidak punya pilihan. Lebih baik ia patah hati, dibanding kehilangan nyawa sia-sia. "Aku tidak punya pilihan lain. Bagaimana? Kau setuju?" Menimang-nimang sejenak, Bram bertanya pelan. "Sejauh mana hubungan kalian?" Menarik nafasnya, Ben menjawab. "Sudah cukup baik, tapi memang belum mengarah kemana pun. Saat ini, aku cukup dekat dengannya dan baru akan mengajaknya kencan, saat ancaman itu datang. Aku langsung menghubungimu saat itu juga." Mengepalkan tangannya erat-erat, kembali Bram bertanya. Nadanya dingin. "Kau sudah menc*umnya?" Kedua mata gelap Ben membelalak tidak percaya. "Kau dengar kata-kataku tadi? Aku BARU akan berkencan dengannya, bro! Aku belum melakukan apapun padanya!" Mengerjapkan matanya, Bram memasukkan kedua tangan ke saku jaketnya. Ia cukup malu, dan mengalihkan pandang ke sekitarnya. Setiap berurusan dengan wanita itu, daya tangkapnya seperti berkurang setengah. Sepertinya ia akan menjilat ludahnya sendiri, dengan melakukan pemeriksaan menyeluruh pada wanita itu. Begitu banyak yang tidak ketahuinya, mulai membuatnya gila karena cemburu tidak beralasan. Selama ini, ia hanya tahu kalau Anna Reyes masih single dan tidak seorang pun yang dekat dengannya. Perkataan Ben tadi membuatnya merasa terancam. Dirinya menyadari, kalau ternyata masih mencintai wanita itu. Kali ini, Ben-lah yang mengepalkan kedua tangannya. "Kau sungguh menyukainya, ya?" Sejenak Bram tidak menjawab, tapi kemudian dia mengangguk. "Ya." Menghela nafasnya, Ben mengeraskan dirinya. Instingnya mengatakan kalau saudaranya telah jatuh cinta pada wanita itu. Mungkin ini karma baginya. Selama 36 tahun masa hidupnya, ia telah banyak bermain-main. Di saat ingin melabuhkan hatinya pada seseorang, ia sendiri harus melepasnya untuk orang lain. Sepertinya kata-kata wanita baik untuk pria yang juga baik-baik, adalah benar. Ia tidak tahu kapan dan bagaimana Bram bisa menyukai Anna, dan juga tidak pernah menanyakannya. Pria itu sangat tertutup tapi yang ia tahu pasti, kembarannya bukanlah orang br*ngsek seperti dirinya. Setidaknya setelah keluar dari rumah, ia tetap dapat hidup baik dan bahkan membangun perusahaannya sendiri. Selama hidupnya, Bram hidup dalam bayang-bayang dirinya. Dan itu bukan karena kakaknya tidak mampu, tapi karena ialah yang selalu menempatkan saudaranya dalam posisi itu. Meski tidak mengatakannya, tapi Ben tahu kembarannya membencinya karena itu. Setidaknya, ia masih memiliki hati nurani untuk menebus kesalahan masa lalunya. Meski dengan cara menghancurkan kebahagiaannya sendiri. "Aku mengetahui sesuatu yang membuatnya akan menikahimu dengan sukarela." Kedua alis tebal Bram berkerut dan di balik kacamatanya, mata gelapnya memancar tajam. "Apa maksudmu dengan 'membuatnya sukarela menikahiku', Ben?" "Kau tahu sendiri, kalau Anna tidak menyukaiku. Butuh waktu bertahun-tahun, baru aku bisa mendekatinya. Setelah mengobrol dengannya, dia ternyata menginginkan sesuatu yang dapat aku berikan padanya." Penasaran, tanpa sadar Bram semakin mendekat pada saudaranya. "Apa itu?" Negosiasi telah usai. "Aku akan mengatakannya asal kau janji membantuku. Ini murni bisnis, Abe. Kita akan membuat perjanjian khusus, yang membuat aku pun tidak bisa melanggarnya. Bagaimana?" Melihat ekspresi saudaranya yang terlihat serius, ia memutuskan untuk memberinya kesempatan terakhir. Mendengus, Bram menjawab ketus. "Aku mendengarkan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD