Meletakkan koper besar itu di bagasi, Bram membanting pintu bagasinya pelan. Mendengar bunyi klakson di sampingnya, pria itu melambaikan tangan. Tampak mobil Berger melewatinya. Setelah pembicaraan tadi, mereka sepakat untuk pulang dulu dan beristirahat. Lagipula, temannya itu sudah tampak kepayahan.
Sepertinya, hari senin besok akan menjadi hari yang akan sangat panjang.
"Ben? Kau sudah siap?"
Panggilan Anna menyadarkannya dan ia mengangguk. Baru saja akan melangkah ke pintu pengemudi, wanita itu langsung mendorongnya menjauh.
"Aku masih ingin hidup, Ben. Kau duduklah anteng di sana."
Terkekeh pelan, pria itu menurut dan duduk di kursinya. Ini kali pertamanya ia berada satu mobil dengan isterinya. Sejujurnya, ia cukup penasaran dengan keahlian mengemudi wanita ini meski sudah mengetahui mengenai kepiawaiannya membawa kendaraan, dari laporan yang diterimanya.
Menoleh ke samping, ia memperhatikan Anna mempersiapkan dirinya. Ia sedikit merasa bersalah dengan mengubek-ubek masa lalu wanita itu, tanpa seizinnya.
Tapi terlalu banyak hal yang ingin diketahuinya tentang isterinya sendiri, dan ia tidak punya waktu luang untuk menggalinya secara sportif sekarang. Belum lagi dari pembicaraannya dengan Berger tadi, upayanya mencari tahu tentang Anna tampaknya harus dihentikan sementara waktu. Ada hal yang jauh lebih penting.
"Kau sudah siap?"
Kepala Ben mengangguk dan ia tersenyum. Tampak wanita itu dengan mulus mengarahkan kendaraan ke jalanan dan dengan segera, menembus keramaian lalu lintas di hari minggu pagi itu.
Setelah beberapa saat, terdengar suara Anna bertanya pelan dari sampingnya.
"Apa yang kau ingat tentang apartemenmu, Ben?"
Berpikir sejenak, Bram akhirnya menjawab hati-hati. "Tidak banyak. Hampir tidak ada."
Sejujurnya jawaban itu memang benar. Bram memang belum pernah mendatangi apartemen Ben di kota.
Semenjak menikahi isterinya, cukup banyak hal yang membuatnya harus meninggalkan Amerika sementara waktu. Ia hanya beberapa kali menemui Anna dan sisanya, wanita itu lebih banyak bertemu dengan saudara kembarnya. Dan di bawah ancaman, lelaki itu pun tidak pernah tidur di apartemen sejak wanita itu resmi menjadi iparnya. Resmi bagi mereka berdua dan di atas kertas, tapi tanpa diketahui oleh yang bersangkutan.
Mengepalkan tangannya yang bersarung, Bram melirik Anna dan menelan ludahnya. Ia sangat bahagia dapat memiliki wanita ini, tapi juga takut untuk kehilangannya. Caranya dalam mendapatkan Anna bukanlah cara yang benar. Mereka telah menipunya. Ia telah menipu perempuan ini untuk menjadi miliknya.
Dari pengalamannya, hasil tipuan tidak pernah langgeng. Ia tahu akan menerima karmanya suatu saat nanti.
"Kau benar-benar belum mengingat apapun, Ben?"
Suara Anna yang halus membuyarkan lamunannya. Pria itu mengerjapkan kedua matanya yang memanas, saat memikirkan akan kehilangan wanita di sampingnya ini
Matanya memandang ke arah jalanan, dan ia berkata lirih. "Tidak. Tapi memang ada satu hal yang kuingat."
Mengubah persneling ke netral, Anna menarik rem tangan saat lampu merah di depan menyala. Ia menoleh ke arah Bram yang masih memandang ke depan.
"Oh ya? Apa yang kau ingat?"
Menatap wanita itu, mata gelap Bram bergerak penuh emosi. Tangan kirinya terangkat dan mengelus pipi Anna yang halus. Ia mengusapnya seolah wajah isterinya adalah sesuatu yang berharga dan mudah pecah.
Pandangan Anna tampak bingung saat melihat ekspresi suaminya yang baru pertama dilihatnya.
"Ben?"
"Saat bangun dari tidurku, aku hanya ingat satu hal Ann. Aku hanya tahu, kalau aku sangat mencintaimu."
***
= Flashback hampir 2 tahun yang lalu. Kantor CNC, kota CA. Amerika =
"Jadi ini ada hubungannya dengan St. Collins? Kau terpaksa meminta bantuanku, agar tidak ada yang bisa menyingkirkanmu? Dari kursimu sebagai CEO?"
Ben mengangguk. Ia merasa bersalah pada Bram. "Ya. Aku juga tidak mau papa sampai tahu masalah ini."
Tampak saudaranya menggeleng-geleng. "Kau benar-benar sudah gila, dude. Nyawamu terancam, dan yang kau pikirkan hanyalah penilaian orang tua itu?"
Tidak mau memperpanjang lagi, Ben mengambil sebuah berkas dan mendorongnya ke arah Bram.
"Mengenai Anna. Dia menginginkan ini."
Bram masih menggeleng tidak percaya, tapi tetap meraih berkas di meja. Dia membacanya cepat dan ketika selesai, alisnya yang tebal berkerut.
"Apa yang membuatnya menginginkan ini? Setahuku, tidak ada apa-apa di sana."
Badan Ben menyender di kursi besarnya. Ia tampak menggeleng.
"Aku tidak tahu. Dia tidak pernah menjelaskannya. Dia hanya bilang kalau lokasi itu masuk ke pelelangan, dia akan mencoba untuk ikut menawar harganya."
Menatap berkas di tangannya, Bram menutupnya keras. Ia melemparnya kasar ke atas meja kayu itu.
"Kau mau menipuku lagi, Ben?"
Tuduhan itu tampak membuat Ben terkejut. "Apa?"
Bram berdiri dari kursinya dan mulai memakai jaketnya. Topi baseball pun kembali bertengger di kepalanya dan menutupi rambut gelapnya. Ia juga mengenakan kacamata yang sempat dilepasnya tadi.
Terlalu malas mencukur jenggotnya, membuat Bram membiarkannya tumbuh lebat. Menjaga penampilan bukan prioritasnya, karena ia lebih banyak berkutat dengan laptop-nya atau pun ke lapangan melakukan pengawasan latihan para bodyguard-nya. Dengan penampilan seperti itu, tidak akan ada seorang pun yang sempat berfikir kalau ia adalah saudara kembar Benjamin Collins.
Ikut berdiri, Ben terlihat sedikit panik. "Kau mau kemana?"
"Pulang. Sepertinya percuma aku datang ke sini. Kau memang tidak pernah berubah. Kau dan orang itu, kalian benar-benar cocok satu sama lain. Rela mengorbankan keluarga, hanya demi STATUS!"
Hampir saja Bram berbalik, saat Ben tiba-tiba berseru. "Tunggu! Aku akan membuatmu percaya padaku!"
Kedua alis Bram naik ke atas. Rautnya terlihat meragukan saudaranya.
"Aku akan memanggilnya ke sini dan biar dia yang mengatakannya sendiri!"
Memasukkan tangan ke saku jinsnya, Bram mendengus. "Oke. Lakukanlah itu. Aku ingin mendengarnya."
Geram dengan kelakuan pria itu yang menyepelekannya, Ben menyambar telepon di meja dan menekan sejumlah nomor. Tampak ia menunggu sebentar sambil menatap tajam pria di depannya.
"Halo? Anna. Bisa kau ke ruanganku sebentar? Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu."
Mendengar jawaban dari seberangnya, Ben mengangguk. "Oke. Aku akan menunggumu."
Meletakkan gagang telepon di tempatnya, pria itu memandang Bram.
"Sekitar sepuluh menit lagi dia akan ke sini. Ada hal yang perlu dia selesaikan lebih dulu."
Kedua pria itu pun menunggu di ruangan. Dari sepuluh menit, menjadi lima belas menit. Dan dari dua puluh menit, waktu pun menunjukkan bahwa sudah hampir satu jam mereka menunggu.
Memukul tangan kursinya, Bram bangkit dengan marah. Ia menyambar jaket yang tadi telah dibukanya lagi dan memakainya geram. Pria itu melangkah cepat ke arah pintu.
"Abe! Abe! Tunggu dulu!"
Hampir saja pria itu mencapai pintu, saat terdengar ketukan pelan dari arah luar. Tubuh Bram membeku dan ia langsung menyingkir ke pojokan ruangan yang sedikit menyempit. Ia memberi tanda pada saudaranya.
"Masuk!"
Mengintip dari celah, Bram mengamati Anna memasuki ruangan dan tampaknya berhenti di depan meja Ben. Tapi setelahnya, ia hanya bisa mendengar suara mereka tanpa bisa melihatnya secara langsung.
"Maaf. Tapi tadi ada wartawan yang memaksa bertemu karena kasus dua hari yang lalu. Orang itu sangat pemaksa, membuatku terpaksa menggunakan sedikit kekerasan."
"Kau memukulnya?"
Tawa halus wanita itu terdengar mengalun ke telinga Bram. "Kau gila? Tentu saja tidak. Aku punya cara lain."
Terdengar suara kursi yang digeret tapi tiba-tiba gerakan itu terhenti.
"Kenapa?"
"Kau ada tamu, Ben?"
Sejenak ruangan sunyi, tapi suara pria itu terdengar lagi. "Ya. Tapi barusan dia pergi. Memangnya kenapa?"
"Hmm. Tidak. Aku seperti mencium bau seseorang di ruangan ini."
Kekehan Ben kali ini terdengar di ruangan itu. "Bau? Memangnya bau apa yang kau cium?"
"Bukan yang gimana-gimana sih. Cuma baunya memang bau lelaki. Seperti bau orang yang sering berada di lapangan. Kau tahu, seperti bau matahari."
Tawa Ben terdengar semakin keras dan Bram yang berada di pojokan, tampak langsung mengerutkan hidung dan mencium bau badannya sendiri. Benarkah dia sebau itu? Meski cukup jarang memakai minyak wangi, tapi ia berusaha selalu menjaga kebersihan dirinya.
Rasa tidak percaya diri mulai menggerogotinya. Tapi saat Anna berbicara lagi, hal yang dikatakan oleh wanita itu memunculkan semburat merah jambu di pipinya sendiri.
"Jangan tertawa kau, Ben! Aku lebih suka bau pria jantan, dibanding bau tipikal metros*ksual seperti dirimu."
Mendengar itu, tawa Ben mereda. Ia terdengar bertanya pelan. "Memangnya ada apa dengan bauku?"
Mendengus kasar, Anna mengalihkan pembicaraan. "Tadi kau memanggilku. Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Kau belum menjawab pertanyaanku."
"Seingatku, aku memang tidak berniat untuk menjawabnya. Kau memanggilku ke sini untuk menginterogasi preferensiku mengenai bau badan, atau ada hal lain yang lebih penting? Karena aku tidak punya waktu untuk meladenimu saat ini, Ben."
Mengangkat kedua tangannya, akhirnya pria itu menyerah. "Maaf. Maaf. Aku hanya bercanda tadi."
Kepala Anna mengangguk. "Permintaan maaf diterima. Jadi, apa yang ingin kau tanyakan?"
Mendorong berkas yang masih ada di meja, Ben menatap wanita di depannya. "Kau masih ingat ini?"
Meraih berkas itu dan membukanya, kembali kepala Anna mengangguk. Ia meletakkannya pelan di meja.
"Ya. Aku memang menginginkannya. Apakah sudah didaftarkan dalam lelang?"
"Sebelum itu aku ingin bertanya. Kenapa kau sangat menginginkannya?"
Mata kelabu Anna menatap Ben semakin tajam. "Apa urusannya denganmu?"
Menipiskan bibirnya, Ben menyender di kursinya. Ia menyadari waktunya sempit. Ia tahu Bram bukan orang yang sabar. Kalau ia tidak segera mengikat wanita ini, saudaranya akan benar-benar pergi dari negara ini. Dan ia tidak mau itu terjadi. Ia masih membutuhkan perlindungannya.
"Cukup banyak sebenarnya. Apa kau mau mengatakannya?"
Tampak Anna menghela nafasnya lelah. "Baiklah kalau kau memaksa. Sejujurnya, suatu saat aku ingin pindah ke Jerman dan membeli tanah di sana. Kebetulan lokasinya ada di daerah perbukitan dan karena akan masuk pelelangan, maka aku fikir harganya akan sedikit lebih miring dibanding harga pasaran."
Hati-hati, Ben bertanya. "Apa kau sudah tahu harga yang akan didaftarkan?"
"Belum. Memangnya berapa?"
Pria itu menyebutkan sejumlah angka yang membuat mata Anna hampir meloncat keluar dari tempatnya.
"SEMAHAL ITU!?"
Pria di depannya mengangguk. "Tanah itu tanah warisan. Pemilik lamanya meninggal dan diwariskan pada saudaranya. Tadinya di atasnya ada bangunan. Panti atau semacamnya. Tanah itu terpaksa diberikan sebagai jaminan, saat pemilik setelahnya dirawat sampai meninggal di RS St. Collins. Anaknya sama sekali tidak mau membayar biaya rumah sakit ibunya, dan memilih menyerahkan tanah itu sebagai p********n utang."
Memainkan jari-jari di pangkuannya, Ben melanjutkan. "CNC belum berencana membangun cabang di waktu dekat ini. Lagipula, riwayat tanah itu sedikit kurang baik untuk nama perusahaan. Jadi daripada dibiarkan terlantar, diputuskan untuk dilelang saja. Dari hasil appraisal, ternyata nilainya cukup besar."
Raut wanita itu terlihat sangat kecewa. Ia tidak menyangka nilainya akan sebesar itu. Kepalanya menunduk.
"Aku sebenarnya ada penawaran untukmu, Ann. Dengan tanah itu sebagai pembayarannya."
Mendengarnya, kepala wanita itu mendongak. Kedua alisnya berkerut saat menatap Ben skeptis.
Setelah diam sebentar, ia bertanya. "Memangnya, apa yang kau tawarkan?"
Mengusap bibirnya, Ben sedikit gugup. Ia belum membicarakannya pada saudaranya, tapi ide gila ini begitu saja terlontar dari mulutnya. Tidak mungkin menghindar lagi, ia mencoba peruntungannya.
"Kau tahu kan, beberapa waktu lalu ada surat ancaman untukku? Belum lagi hal-hal aneh yang terjadi di sekitarku. Ban mobilku dirobek. Kabel remku blong. Terakhir, ada seseorang masuk paksa ke apartemenku, sampai aku pindah ke tempat lain?"
Duduk wanita itu menegak. "Ya. Setahuku, kau juga menyewa bodyguard tambahan dari B2B-U."
Anggukan pelan terlihat dari pria itu. Ia menatap Anna dan berkata sangat hati-hati.
"Anna. Aku tahu kalau kau akan tersinggung, tapi aku benar-benar serius menawarkan ini padamu."
Kening wanita itu semakin berkerut curiga. "Ben? Apa sebenarnya yang akan kau tawarkan padaku?"
"Aku membutuhkan seseorang untuk melindungiku. Orang yang dapat berada di sampingku selama 24 jam. Seorang bodyguard pribadi, tapi tanpa menimbulkan kecurigaan banyak orang. Aku-"
Tarikan nafas kasar terdengar di ruangan itu saat Anna melanjutkan kata-kata Ben dengan nada tuduhan.
"Kau membutuhkan sebuah tameng, dengan tampilan seorang kekasih. Itu yang ingin kau katakan, kan? Dan kau mau membayarku dengan sebidang tanah tadi. Begitu?"
Kegugupan Ben semakin terlihat. "Y- Ya. Apakah-"
Suara kursi yang digeser kasar terdengar, saat wanita itu berdiri.
"Jadi itu tujuanmu mendekatiku selama ini? Untuk memanfaatkan latar belakangku? Daripada membuang waktu berusaha berteman denganku, lebih baik kau langsung membicarakan bisnis saja padaku Ben! Tapi sayangnya, aku tidak tertarik menjadi teman tidurmu dengan hanya bayaran tanah! Kau cari saja orang lain!"
Dengan marah, Anna keluar dari ruangan itu dan membanting pintunya kencang.
Memastikan wanita itu tidak kembali lagi, barulah Bram keluar dari persembunyiannya. Menatap Ben yang masih terduduk di balik mejanya, pria itu dapat membaca perasaan adiknya.
"Kau yakin akan melakukan ini? Kau masih bisa mundur, brother."
"Kalau aku mundur, kau tetap akan membantuku?"
Dengusan terdengar dari hidung Bram dan ia menatap ke arah lain.
"Kau punya banyak uang untuk membayar orang bertaruh nyawa untukmu, Ben."
"Tapi aku tidak bisa membayar orang untuk MENJADI diriku, Abe. Kau tahu itu."
Bram menoleh dan kembali memandang adiknya. "Kau sudah tahu bayaranku."
Muka Ben tampak memerah. Ia sudah menduga jawaban itu. "Beri aku waktu. Aku akan meyakinkannya."
Menyilangkan tangan di depan d*danya, Bram mengamati raut adiknya dengan kasihan.
"Sepenting itukah St. Collins, dibanding kebahagiaanmu? Tampaknya wanita itu cukup kecewa padamu."
Kembali menggeleng, Ben menatap marah. Ia berdiri dari duduknya dengan tangan terkepal.
"Beri aku waktu, Abe. Aku AKAN membuatnya menikahimu!"
Terdiam karena sikap adiknya yang keras, pria itu mengangguk. Ia menatap Ben untuk terakhir kalinya.
"Aku memberimu waktu 2 minggu. Jika dalam waktu itu tidak ada kabar, maka anggap saja kita tidak pernah bertemu. Jangan hubungi aku lagi. Ini terakhir kalinya aku mau berhubungan dengan St. Collins."
Berbalik, pria itu meninggalkan Ben yang masih berdiri di tempatnya. Kepala pria berjas itu menunduk, dan tampak setetes air mengaliri pipinya.
Mana yang harus dipilihnya? Cintanya? Nyawanya? Atau statusnya?
Tanpa harus berfikir keras pun, pria itu sudah mengetahui jawabannya. Dan ia membenci dirinya karena itu.